"Lalu
ia (raja) bersikap keras agar mereka menjadi jera. Dan barangsiapa yang
bersikap bijak….hendaklah ia sesekali bersikap keras meski kepada orang
yang ia kasihi"
Pernahkah kita memikirkan nasib kerupuk retur yang banyak dijual di warung-warung, akan dibuat apakah setelah ia sampai di tempat pabrik pembuatannya ?
Pernahkah kita memikirkan nasib kerupuk retur yang banyak dijual di warung-warung, akan dibuat apakah setelah ia sampai di tempat pabrik pembuatannya ?
Suatu hari ada seorang teman bercerita, ia
bertanya kepada tukang kerupuk keliling yang menyuplai kerupuk ke
warung-warung, kerupuk-kerupuk retur itu mau dijadikan apa ? maka tukang
kerupuk menjelaskan bahwa itu tergantung kondisi kerupuknya. Bila agak
lunak atau ulet maka cukup dicampur dengan kerupuk-kerupuk yang baru
digoreng, selanjutnya ia menjadi kering kembali. Tapi bila kondisinya
sudah lunak sekali, maka jalan satu-satunya adalah wajib digoreng
kembali.
Ternyata dari cara memperlakukan kerupuk yang
lunak ada satu pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Sejatinya,
kerupuk lunak adalah kerupuk dalam kondisi sakit. Musuh kerupuk
sebenarnya adalah udara bebas. Dan pada dasarnya ia tak boleh bertemu
udara bebas. Bila sesekali ia terkena udara bebas ia masih bisa tahan.
Namun saat intensitas pertemuannya dengan udara bebas meningkat, maka ia
menjadi lesu dan akhirnya berubah lunak. Dan pada saat itulah tak ada
lagi orang yang mau memakannya, sebab ia telah kehilangan manfaatnya.
Bukankah
seringkali kita dihadapkan pada kondisi perilaku yang sama seperti
kerupuk. Musuh kita adalah akhlak tercela, teman-teman tercela,
lingkungan tercela, pemikiran tercela, buku-buku tercela, media-media
tercela dan lain-lain yang sejatinya kita dilarang mendekatinya. Suatu
saat kita terjebak seperti nasib kerupuk, menjadi manusia yang sedang
sakit, bisa sedikit dan bisa juga sakit parah. Sesuai dengan tingkat
serangan musuh atau intensitas hubungan kita yang erat dengan sumber
penyakit.
Bila kita mencermati masalah hukuman dalam
Islam, niscaya kita dapati bahwa Islam sangat menitikberatkan pada
hukuman yang mampu menciptakan efek jera bagi pelakunya atau bagi orang
yang melihat hukuman itu diterapkan. oleh karena itu pada setiap
pelaksanaan hukuman maka kaum muslimin dibolehkan dan juga diharuskan
melihat prosesnya. Sudah pasti melihat pelaksanaan hukuman yang kadang
begitu berat akan meninggalkan kesan yang juga berat pada setiap jiwa
seorang muslim.
Kita juga akan mendapati adanya perbedaan
hukuman antara pencuri dan perampok misalnya, sebab kejahatan perampok
lebih berat daripada pencuri meski sama-sama mengambil hak orang lain.
Hukuman
bagi pezina yang sudah berkeluarga berbeda dengan pezina yang belum
berkeluarga. Demikian juga dengan hukuman atas kesalahan yang dilakukan
oleh budak akan berbeda dengan yang diterima oleh orang merdeka.
Semua
hukuman dalam Islam ada takarannya masing-masing. Semuanya didasarkan
atas siapa pelakunya dan bagaimana ia melakukannya serta kapan ia
melakukannya. Dan itulah keadilan hukum dalam agama Islam yang tidak
akan kita temui dalam agama manapun.
Dalam lingkungan
keluarga pun Islam sudah mengatur masalah hukuman ini dengan sangat
bijaknya. Anak kecil usia tujuh tahun sudah diperintahkan untuk
melakukan shalat. Dan perintah ini juga berlaku saat ia berusia sembilan
tahun. Namun saat ia enggan melaksakannya maka tidak sama cara
memperlakukannya.
Dan yang pasti, bila suatu saat kita
berbuat salah maka jangan salahkan siapapun kecuali diri kita sendiri
bila suatu saat kita harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Mungkin
suatu saat kita cuma perlu bergaul dengan orang-orang baik agar kita
mendapatkan kebaikannya sehingga diri kita menjadi baik kembali.
Dan
bila suatu saat kita harus di digoreng sebagaimana halnya kerupuk, maka
ketahuilah bahwa besar kemungkinan diri kita memang sudah sangat layak
untuk digoreng, agar semua penyakit-penyakit tercela itu luntur dan
menghilang dari diri kita, pikiran kita, jiwa kita, akhlak dan perilaku
kita.
Tak selamanya mendidik itu memberikan belas kasihan.
Sebab bila ia berlebihan maka akan menghasilkan jiwa-jiwa lemah tak
bertanggung jawab.
Dan tak selamanya mendidik itu bersikap
keras. Sebab bila ia berlebihan maka hanya menghasilkan jiwa-jiwa kasar
yang penuh dengan sikap balas dendam.
Benar sekali apa
yang dikatakan oleh Ibnu Zaidun, seorang penyair Arab dari negeri
Andalusia saat ia melihat ada seorang raja yang menghukum seseorang
meski orang itu adalah salah satu anggota keluarganya :
فقسا ليزدجروا ومن يك حازما...فليقس أحيانا على من يرحم
"Lalu
ia (raja) bersikap keras agar mereka menjadi jera. Dan barangsiapa yang
bersikap bijak….hendaklah ia sesekali bersikap keras meski kepada orang
yang ia kasihi"
Bintara, siang hari tanggal 11 Jumadil Ula 1434 H./ 23 Maret 2013 M.