Suatu hari di malam jum'at tiba-tiba ada sebuah
pesan broadcast di sebuah media sosial berisi tanggapan atas maraknya pelecehan
dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan agama
Islam. Pesan tersebut menyoroti kata-kata berisi candaan dan gurauan tentang
berhubungan suami istri di malam jum'at sebagai salah satu "sunnah
Rasul". Pesan itu menyatakan keberatannya atas
perhatian orang-orang yang
sangat terfokus dan berlebihan pada "sunnah Rasul" berupa hubungan
suami istri di malam jum'at. Sedang sunnah Rasul di malam jum'at sangatlah
banyak, tidak hanya terkait masalah yang satu itu.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjelaskan tentang kemuliaan hari jum'at di dalam Al-Qur'an[1], lalu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajurkan kita untuk membaca surat
Al-Kahfi[2], memperbanyak dzikir dan do'a[3], memperbanyak shalawat[4], memperbanyak
shalat sunnah[5], mandi besar[6], bersegera menuju masjid[7], merayakan hari
jum'at sebagai hari raya kecil dengan melakukan mandi, bersiwak, memakai pakaian
yang terbaik, memakai minyak wangi[8] ? dan itu semua adalah sunnah-sunnah
Rasulullah yang dianjurkan di hari jum'at.
Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam kitab Zaad al-Ma’ad[9] telah menemukan
sedikitnya 33 hal yang istimewa di hari Jum’at, bahkan Imam Jalaluddin
as-Suyuthi (w. 911 H) telah menemukan 101 keistimewaan yang ada pada hari
Jum’at.[10]
Bila
kita telaah dengan seksama, maka cara memuliakan keistimewaan hari jum'at
adalah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah seperti yang telah tersebut di
atas. Dan hampir tidak ada riwayat hadits yang secara tegas (sharih)
menganjurkan bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual di malam jum'at.
Kalaupun ada maka riwayat itu pun hanya riwayat yang lemah sebagaimana riwayat
Baihaqy dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :
"Apa
kalian tidak sanggup menggauli istri kalian pada setiap hari jum'at,
sesungguhnya padanya ada dua pahala, satu pahala mandinya dan satu pahala
memandikan istrinya (membuat istrinya mandi).[11]
Dalam
sanad hadits tersebut ada 3 perawi lemah yang sudah diketahui di kalangan Ulama
hadits yaitu Abu Utbah, Baqiyyah dan yazid bin Sinan.
Imam
As-Suyuthi dalam Nurul Lum'ah juga mengatakan hadits ini lemah, meski beliau
sendiri menjadikan hadits ini sebagai sandaran untuk mengistimewakan hari
jum'at dengan menggauli istri.[12]
Sedang
riwayat yang shahih namun tidak sharih (jelas) dalam masalah berhubungan suami
istri di hari jum'at adalah hadits tentang mandi hari jum'at dari sahabat Aus
bin Aus Ats-Tsaqafy bahwa Nabi SAW bersabda :
"Man
Ghasala wa ightasala..."[13]
Imam
Nawawy dalam Al-Majmu' berkata :
Hadits
ini hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan
lainnya dengan sanad hasan.
Para
ulama kemudian berbeda pendapat dalam masalah sunnah menggauli istri pada hari
jum'at karena tidak sharihnya lafal Ghasala. Ada 2 riwayat yang masyhur
(terkenal) di kalangan mereka bahwa lafal ghasala itu bisa dibaca ghasala dan
juga dibaca ghassala dengan tasydid. Lalu dua lafal yang berbeda itupun masing-masing
mengandung tiga arti yang berbeda, dimana salah satunya adalah jimak atau
berhubungan suami istri, karena ghasala dan ghassala itu memiliki arti
"menjadikan istrinya mandi", dan hal itu terjadi karena sang istri
sudah digauli oleh suaminya.[14]
Makna
ini diperkuat oleh hadits-hadits shahih lainnya yang menganjurkan mandi di hari
jum'at, karena di antara mereka ada juga yang menjadikan sunnah mandi hari
jum'at itu bermakna umum baik bagi laki-laki dan perempuan. Dan disunnahkannya
berhubungan suami istri sebelum pergi ke masjid juga karena untuk menentramkan
hati sang suami agar tidak ada godaan hati saat ia pergi ke masjid, sebab pada
masa itu wanita pun pergi untuk shalat jum'at, dan sampai sekarang pun wanita
tidak dilarang berjama'ah shalat jum'at bila memang tidak ada masalah.
Jadi
kesimpulannya adalah bahwa berhubungan suami istri pada hari jum'at baik malam
maupun paginya adalah sunnah yang masih diperdebatkan ulama, antara yang
menjadikannya bagian dari ibadah sunnah di hari jum'at dan yang tidak
menganggapnya demikian, sehingga sunnah tersebut masih kalah bersaing dengan
sunnah-sunnah lainnya yang sebagiannya sudah tersebut di atas dimana riwayatnya
kuat dan juga maknanya sharih.
Bila
kemudian tema yang sering beredar di telinga masyarakat adalah sunnah Rasul di
malam jum'at yang hanya terkait masalah hubungan suami istri sehingga menimbulkan
kesan seakan-akan tidak ada sunnah yang lebih mulia dari pada sekedar hubungan
suami istri, maka hal itu lumrah karena banyak masyarakat muslim yang
menganggap bahwa hubungan suami istri hanyalah sekedar pelampiasan nafsu seks,
sehingga tidak ada beda dengan binatang. Sehingga tidak mungkin Nabi yang mulia
menganjurkan sunnah hari jum'at hanya sekedar urusan nafsu.
Tapi
tahukah kita bahwa hubungan suami istri adalah salah satu sunnah yang merupakan
bagian mendasar terbentuknya elemen penting bangunan peradaban Islam. Maka marilah
sejenak kita simak dan telusuri beberapa bukti yang menguatkan itu semua.
Lihatlah
perhatian Nabi yang mendalam dalam urusan "cinta" antara suami istri
ini. Cinta itu mampu menolak perasaan gelisah dan gundah gulana yang mendera
seorang lelaki oleh sebab daya tarik wanita selain istrinya di luar rumah.
Bahkan
Imam Ibnu Qayyim menjelaskan dengan sangat gamblangnya tentang keutamaan
hubungan suami istri. Menurut beliau, hubungan suami istri dapat menjaga
kesehatan, menenangkan jiwa, dan yang paling utama, ia dapat mewujudkan tujuan yang
mana karena tujuan itulah hubungan suami istri ini disyari'atkan. Di antara
tujuan itu adalah :
Pertama,
menjaga keturunan, dan inilah tujuan mulia dimana hubungan suami istri tersebut
akan melanggengkan generasi sampai datangnya takdir kiamat.
Yang
kedua, mengeluarkan air mani yang menjadi berbahaya bagi badan saat ia tertahan
dan tidak dikeluarkan.
Dan
yang ketiga adalah menghilangkan kegelisahan dan mendapatkan kenikmatan. Dan
inilah satu-satunya kenikmatan yang masih akan terus berlanjut di surga sebab
di sana tidak ada lagi melanjutkan keturunan maupun menahan air mani.
Beliau
juga mengutip beberapa pendapat para dokter dimana mereka mengatakan bahwa
lelaki yang tidak mengeluarkan air maninya karena tidak berhubungan dengan
istrinya maka akan mengakibatkan munculnya berbagai macam penyakit, diantaranya
adalah rasa waswas, gila, kesurupan jin, dan yang paling berbahaya adalah
berubahnya air mani yang tertahan di dalam badan itu menjadi material beracun.
Sebagian
salaf berkata :
"ada
3 hal yang tidak boleh ditinggalkan, salah satunya adalah bercinta dengan istri,
sebab air sumur akan menjadi rusak bila tidak pernah ditimba"
Sebagian
yang lain berkata :
"Barang
siapa yang tidak bercinta dengan istrinya dalam waktu yang lama maka pikirannya
akan melemah, salurannya akan tersumbat, kemaluannya akan keriput, dan gerakan
badannya akan melemah"
Di
antara manfaat bercinta yang juga disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim adalah menundukkan
pandangan mata, menentramkan gejolak jiwa, dan mampu menahan diri dari
perbuatan yang haram.[15] Karena sebab inilah maka Nabi bersabda :
"Aku
telah dicintakan (oleh Allah) terhadap perkara duniamu berupa wanita dan
wewangian"[16]
Bahkan
dalam kitab Az-Zuhd Imam Ahmad, ada tambahan lafal dalam hadits di atas berupa
perkataan Nabi :
"Aku
bisa sabar dari makanan dan minuman, namun aku tidak bisa sabar dari mereka
(istri-istri beliau)."[17]
Maka
simaklah juga nasehat Nabi dalam hal memilih wanita yang akan dinikahi saat
beliau berkata kepada sahabat Jabir radhiallahu anhu :
"Kenapa
kamu tidak menikahi seorang perawan sehingga kamu bisa banyak bermain-main
dengannya dan ia juga bermain-main denganmu ?"[18]
Tidak
ada indikasi lain dalam nasehat beliau kepada Jabir kecuali dalam hal permainan
bercinta antara suami istri. Dan permainan bercinta itu tidak banyak terpenuhi
kecuali bila suami istri tersebut masih dalam usia muda. Sebab usia muda
adalah usia yang penuh dengan gairah dan gelora cinta. Maka dari itu beliau
menganjurkan agar umatnya menikah muda. Lihatlah ungkapan beliau saat berkata :
"Ya
ma'syaras Syabaab…" yang artinya "wahai para pemuda…"[19]
Salah
satu keunikan bahasa Arab adalah menyatunya antara kata dan makna. Beliau tidak
memberikan semangat menikah kepada orang yang telah uzur usianya, sebab dari
aspek bentuk kata pun mengandung makna yang telah tua, yaitu "Syuyukh",
sangat berbeda dengan kata "Syabaab" yang mengandung huruf
"alif" dimana ia menegaskan sesuatu dengan sifatnya yang tegak
berdiri, bukan huruf "wawu" yang nampak bungkuk. Seperti itulah
beliau selalu mengatur kata-katanya.
Setelah
apa yang kita tahu dari keutamaan bercinta dengan istri, maka mari kita
pikirkan sejenak kisah Nabi Muhammad SAW dengan istri beliau Zainab yang
diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah, sesungguhnya Nabi SAW memandang
seorang wanita kemudian beliau mendatangi Zainab yang saat itu sedang menyamak
kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, selanjutnya beliau keluar kepada
para sahabatnya dan berkata :
"Sungguh
wanita itu datang dalam rupa setan, dan ia kembali dalam rupa setan. Maka dari
itu apabila ada salah seorang dari kalian memandang seorang wanita, maka
hendaknya ia bergegas mendatangi istrinya (bercinta dengannya) sebab yang
demikian itu dapat menyingkirkan rasa yang ada dalam hatinya."[20]
Imam
An-Nawawy berkata tentang makna hadits ini bahwa disunnahkan bagi laki-laki
yang memandang seorang wanita lalu ia tertarik padanya supaya segera mendatangi
istrinya untuk bercinta agar dapat menghentikan gejolak syahwatnya lalu
tenteramlah jiwanya.[21]
Begitulah
seorang istri bila telah faham urusan agamanya, ia akan mengutamakan bercinta
dengan suaminya dari pada tetap sibuk dengan urusan menyamak kulit.
Selanjutnya
mari kita perhatikan alangkah indahnya ungkapan Al-Qur'an saat menggambarkan
keutamaan bercinta bagi suami istri dengan ungkapan "mawaddah".
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."[22]
Bahwa
pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dapat mencapai tujuan sakinah,
yaitu rasa ketentraman hati dan jiwa antara suami istri, serta tercapainya tujuan
lainnya yaitu mawaddah wa rahmah, perasaan cinta dan kasih sayang antara keduanya.
Perasaan cinta dan kasih sayang ini makin bertambah dengan hadirnya sang buah
hati, dan itu dihasilkan dengan bercinta. Maka dari itu kita dapati ada
sebagian ulama tafsir yang mengartikan "mawaddah" dengan nikah, seperti
Mujahid, Hasan Bashri dan Ikrimah, sebagaimana di antara mereka ada yang mengatakan
bahwa mawaddah wa rahmah itu akan hadir karena adanya pernikahan.
Dan
berikutnya adalah ungkapan Nabi SAW yang menegaskan bahwa bercinta dengan istri
adalah sebuah ibadah, sebab itulah ia berpahala. Sungguh mulia agama Islam saat
menjadikan aktivitas bercinta dengan istri adalah ibadah yang berpahala. Ia
menjadi sakral dan suci bila telah halal. Namun ia menjadi bencana saat
dilampiaskan melalui pintu zina. Karenanya, saat beliau ditanya oleh seorang
sahabat, apakah bercinta dengan istri itu berpahala ? maka beliau berkata :
"Apa
pendapat kalian bila syahwat itu dilampiaskan kepada yang haram, bukankah itu
berdosa ? demikian juga saat ia dilakukan kepada yang halal, maka ia berpahala."[23]
Sebagai
puncak dari keutamaan bercinta dengan istri adalah hadits nabi SAW yang
bercerita tentang Nabi pendahulunya yaitu Sulaiman alaihis salam. Dan inilah
inti dari tema bercinta yang harus kita ketahui bersama. Bahwa peradaban umat
manusia yang tunduk patuh kepada Allah adalah peradaban yang hanya diisi oleh
orang-orang yang senantiasa berjihad di jalan Allah dalam rangka menegakkan
syari'at-NYA.
Para
mujahid ini tidak akan lahir dari pasangan suami istri yang tidak memahami salah
satu bagian penting dalam agamanya, terutama dalam kehidupan rumah tangganya. Bahwa
rumah tangga mujahid adalah rumah tangga yang isi rumahnya penuh dengan
orang-orang yang taat dalam beragama dan mengerti betul tentang tujuan
pernikahan.
Oleh
karena itu, tidaklah akan lahir seorang mujahid kecuali bila orang tuanya
menginginkan mujahid itu lahir. Saat banyak mujahid yang lahir maka akan banyak
pula orang-orang yang hanya menghambakan diri dan menyembah pada Allah Azza wa
Jalla. Di sinilah maka Nabi SAW menegaskan :
"Menikahlah
kalian, sebab aku berbangga diri dengan jumlah kalian di hadapan umat lain."
Hadits
shahih dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari jalan Abu Umamah, juga
Abu Dawud no. Hadits 2050.
Sedang
pada riwayat Nasa'i dari jalan Ma'qal bin Yasar berbunyi :
"Nikahilah
wanita-wanita yang penuh cinta dan dapat berketurunan banyak, sebab aku
berbangga diri dengan jumlah kalian di hadapan umat lain." Dengan sanad
hasan, juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Lalu
apa cerita Nabi kita tentang Nabi Sulaiman a.s. itu ?
Imam
Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi SAW
bersabda :
"Sulaiman
bin Dawud berkata, ‘Demi Allah, malam ini aku akan berkeliling kepada seratus
wanita, setiap wanita melahirkan seorang anak laki-laki yang berperang di jalan
Allah.’ Malaikat berkata kepadanya, ‘Katakanlah, ‘Insya Allah’. Tetapi Sulaiman
tidak mengatakannya. Dia lupa. Dia berkeliling, tapi tidak ada istri yang
melahirkan kecuali seorang istri yang melahirkan setengah manusia.” Nabi bersabda,
“Seandainya Sulaiman berkata, ‘Insya Allah’ niscaya dia tidak mengingkari
sumpahnya (sumpahnya akan terpenuhi) dan keinginannya lebih mungkin untuk
tercapai."[24]
Dalam riwayat Bukhari yang lain, Nabi SAW
bersabda :
"Sulaiman
bin Dawud berkata, ‘Demi Allah, aku akan berkeliling malam ini kepada tujuh
puluh istri, masing-masing istri melahirkan seorang penunggang kuda yang
berjihad fi sabilillah.’ Temannya berkata kepadanya, ‘Insya Allah.’ Tetapi
Sulaiman tidak mengucapkannya, maka tidak seorangpun yang melahirkan kecuali
seorang saja melahirkan bayi yang jatuh salah satu sisinya."[25]
Dan
masih ingatkah kita dengan kisah cinta sahabat Abu Thalhah dan istrinya Ummu
Sulaim radhiyallahu anhuma saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata
pada keduanya :
"Ya
Allah berkahilah keduanya" atau "Semoga Allah memberkahi saat malam
kalian itu"[26]
Pada
saat itu salah seorang anak Abu Thalhah sedang sakit dan beliau harus
meninggalkan rumah. Dan di saat itulah anaknya meninggal. Ketika pulang beliau
bertanya pada Ummu Sulaim perihal anaknya. Maka Ummu Sulaim menjawab bahwa
anaknya baik-baik saja. Dan pada malam itu keduanya "berbulan madu",
sehingga pada esok harinya ditanya oleh Nabi :
"Apakah
kalian semalam berbulan madu ?"
Abu
Thalhah menjawab "Ya"
Barulah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdo'a seperti di atas.[27]
Selanjutnya
keduanya dianugerahi seorang anak, buah cinta mereka di malam itu yang diberi
nama Abdullah.
Imam
Nawawi berkata tentang Abdullah yang kemudian memiliki keturunan yang sangat
menakjubkan sebab do'a Nabi kepada dua orang tuanya yang pada malam itu
"berbulan madu" :
Dalam satu riwayat Imam Bukhari, Imam Ibnu
Uyainah berkata bahwa salah seorang Anshar berkata :
"Maka saya lihat ada sembilan orang
anak-anak yang semuanya Qurra' Al-Qur'an"[28]
Akhirnya, saat bercinta dengan istri maka
jangan lupakan niat melahirkan keturunan yang akan berjihad di jalan Allah,
sebab peradaban Islam hanya akan ditegakkan oleh orang-orang yang mau berjihad
fi sabilillah.
Sungguh
melahirkan seorang mujahid fi sabilillah yang menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-NYA jauh lebih bermanfaat untuk umat dari pada sekedar mengamalkan
sunnah-sunnah yang pahalanya boleh jadi hanya berpulang pada diri sendiri.
Bila
sebesar ini keutamaan bercinta dengan istri, lalu apa salahnya bila aktivitas
yang mulia itu juga dilakukan pada hari yang penuh dengan kemuliaan ?
Fairuz
Ahmad.
Bintara,
selesai tepat di malam jum'at 29 Jumadil Akhir 1434 H./8 Mei 2013 M.
----------
Catatan
:
[1] QS. Al-Jumu'ah : 9-11.
[2]
“Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan
meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrak, dan
beliau menshahihkannya)
Dari
Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam
Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah.” (H.r.
Ad-Darimi; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma;
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang
membaca surat
Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.”
(H.r. An-Nasa’i dan Baihaqi; Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
[3] Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu;
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jibril pernah mendatangiku,
dan di tangannya ada sesuatu seperti kaca putih. Di dalam kaca itu, ada titik
hitam. Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, ini apa?” Beliau menjawab, “Ini hari Jumat.” Saya bertanya
lagi, “Apa maksudnya hari Jumat?” Jibril mengatakan, “Kalian mendapatkan
kebaikan di dalamnya.” Saya bertanya, “Apa yang kami peroleh di hari Jumat?”
Beliau menjawab, “Hari jumat menjadi hari raya bagimu dan bagi kaummu
setelahmu. Sementara, orang Yahudi dan Nasrani mengikutimu (hari raya Sabtu–Ahad).”
Aku bertanya, “Apa lagi yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Di
dalamnya, ada satu kesempatan waktu; jika ada seorang hamba muslim berdoa
bertepatan dengan waktu tersebut, untuk urusan dunia serta akhiratnya, dan itu
menjadi jatahnya di dunia, maka pasti Allah kabulkan doanya. Jika itu bukan
jatahnya maka Allah simpan untuknya dengan wujud yang lebih baik dari perkara
yang dia minta, atau dia dilindungi dan dihindarkan dari keburukan yang
ditakdirkan untuk menimpanya, yang nilainya lebih besar dibandingkan doanya.”
Aku bertanya lagi, “Apa titik hitam ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah kiamat,
yang akan terjadi di hari Jumat. Hari ini merupakan pemimpin hari yang lain
menurut kami. Kami menyebutnya sebagai “yaumul mazid”, hari tambahan
pada hari kiamat.” Aku bertanya, “Apa sebabnya?” Jibril menjawab, “Karena
Rabbmu, Allah, menjadikan satu lembah dari minyak wangi putih. Apabila hari
Jumat datang, Dia Dzat yang Mahasuci turun dari illiyin di atas
kursi-Nya. Kemudian, kursi itu dikelilingi emas yang dihiasi dengan berbagai
perhiasan. Kemudian, datanglah para nabi, dan mereka duduk di atas
mimbar tersebut. Kemudian, datanglah
para penghuni surga dari kamar mereka, lalu duduk di atas bukit pasir.
Kemudian, Rabbmu, Allah, Dzat yang Mahasuci lagi Mahatinggi, menampakkan
diri-Nya kepada mereka, dan berfirman, “Mintalah, pasti Aku beri kalian!” Maka
mereka meminta ridha-Nya. Allah pun berfirman, “Ridha-Ku adalah Aku halalkan
untuk kalian rumah-Ku, dan Aku jadikan kalian berkumpul di kursi-kursi-Ku.
Karena itu, mintalah, pasti Aku beri!” Mereka pun meminta kepada-Nya. Kemudian
Allah bersaksi kepada mereka bahwa Allah telah meridhai mereka. Akhirnya,
dibukakanlah sesuatu untuk mereka, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah
didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seseorang. Dan itu
terjadi selama kegiatan kalian di hari jumat …. sehingga tidak ada yang lebih
mereka nantikan, melebihi hari Jumat, agar mereka bisa semakin sering melihat
Rabb mereka dan mendapatkan tambahan kenikmatan dari-Nya.” (Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf, Thabrani dalam Al-Ausath, Abu Ya’la dalam Al-Musnad,
dan statusnya hasan atau sahih, sebagaimana keterangan Abdul
Quddus Muhammad Nadzir)
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyinggung hari Jumat, kemudian beliau bersabda, “Di hari Jumat, ada
satu waktu, apabila ada seorang muslim melakukan shalat dan dia memohon sesuatu
kepada Allah, pasti Allah beri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat
dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu itu hanya sebentar.(HR. Bukhari
no : 5294. dan Muslim no : 852)
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Hari terbaik saat matahari terbit adalah hari
Jumat. Di hari ini, Adam diciptakan; di hari ini pula, kiamat terjadi; di hari
Jumat terdapat satu waktu, apabila ada seorang hamba yang shalat, memohon
kepada Allah di waktu itu, maka Allah akan memberikan pintanya.” (HR. Abu
Daud Ath-Thayalisi; statusnya hasan lighairihi)
[4] Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad
bersabda: “Perbanyaklah
membaca shalawat bagiku pada hari jum’at dan malam jum’at, sebab barangsiapa
yang membaca shalawat kepadaku satu shalawat saja maka Allah akan membaca
shalawat kepadanya sepuluh kali shalawat”. (HR. Al-Baihaqi 3/249
no. 5790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah
hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat
kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan
kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya
Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud,
Ibnu Majah, An-Nasa’i)
[5] “Barang siapa mandi kemudian datang untuk
sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah
hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai
jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)
“Apabila
kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.”
Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata,
“Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di
masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)
[6] “Mandi pada hari Jumat
adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dan
bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian
berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai
yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan
mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat
berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[7] Anas bin Malik berkata, “Kami
berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR.
Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat
memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan
kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat
tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.”
(Lihat Fathul Bari II/388)
[8] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam
kitab musnadnya dari Abi Sa’id Al-Khudri dan Abi Hurairah bahwa Nabi
Muhammad bersabda, “Barangsiapa
yang mandi pada hari jum’at, memakai siwak, memakai pakaian yang terbaik,
memakai minyak wangi jika dia memilikinya, memakai pakaian yang terbaiknya
kemudian mendatangi masjid sementara dia tidak melangkahi pundak-pundak orang
lain sehingga dia ruku’ (shalat) sekehendaknya, kemudian mendengarkan imam pada
saat imam berdiri untuk berkhutbah sampai dengan selesai shalatnya maka hal itu
sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi antara jum’at ini dengan hari jum’at
sebelumnya.” (HR. Imam Ahmad: 3/81)
“Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena itu, janganlah kalian jadikan hari
raya kalian ini sebagai hari untuk berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa
sebelum atau sesudah hari Jumat.” (HR. Ahmad dan Hakim, Syu’aib
Al-Arnauth mengatakan shahih, Ibnu Majah no : 1098)
[9] Lihat Zadul Ma'ad Imam Ibnu Qayyim Juz 1
hal. 375-432.
[10] Lihat Nur Al-Lum’ah fi Khashaish
al-Jum’ah Imam As-Suyuthi.
[11] Syu'abul Iman 6/250.
[12] Nur Al-Lum’ah fi Khashaish al-Jum’ah
Imam As-Suyuthi hal.55.
[13] Al-Mustadrak Alas Shahihain Imam
Al-Hakim no.1080
[14] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab Imam
Nawawi.
[15] Lihat Zadul Ma'ad Imam Ibnu Qayyim Juz 4
hal. 249-265.
[16] Musnad Imam Ahmad 3/128,199,285. Nasa'i
7/61 dari Anas bin Malik dengan sanad yang hasan, juga disahkan oleh Al-Hakim.
[17] Imam Ibnu Qayyim menukilnya dalam Zadul
Ma'ad Juz 4 hal.250
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] HR. Bukhari dan Muslim
[20] HR. Muslim 2491.Tirmizi 1158. sedang
dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, Nabi mendatangi Saudah.
[21] Tuhfatul Ahwadzi Syeikh Muhammad bin
Abdur Rahman bin Abdur Rahim Al-Mubarakfury
[22] Ar-Rum : 21
[23]
Dikeluarkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Dzar no. Hadits 1006.
[24]
Shahih Bukhari 4944
[25]
Shahih Bukhari 3242
[26] Shahih Bukhari 5153 dan Shahih Muslim
2144
[27] Shahih Muslim 2144 dan 3996
[28] Riyadhus Shalihin Imam Nawawi Bab
As-Shabr hal.55