Rabu, 04 Desember 2013

Ranjang Asmara Di Malam Jum'at

Suatu hari di malam jum'at tiba-tiba ada sebuah pesan broadcast di sebuah media sosial berisi tanggapan atas maraknya pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan agama Islam. Pesan tersebut menyoroti kata-kata berisi candaan dan gurauan tentang berhubungan suami istri di malam jum'at sebagai salah satu "sunnah Rasul". Pesan itu menyatakan keberatannya atas
perhatian orang-orang yang sangat terfokus dan berlebihan pada "sunnah Rasul" berupa hubungan suami istri di malam jum'at. Sedang sunnah Rasul di malam jum'at sangatlah banyak, tidak hanya terkait masalah yang satu itu.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang kemuliaan hari jum'at di dalam Al-Qur'an[1], lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajurkan kita untuk membaca surat Al-Kahfi[2], memperbanyak dzikir dan do'a[3], memperbanyak shalawat[4], memperbanyak shalat sunnah[5], mandi besar[6], bersegera menuju masjid[7], merayakan hari jum'at sebagai hari raya kecil dengan melakukan mandi, bersiwak, memakai pakaian yang terbaik, memakai minyak wangi[8] ?  dan itu semua adalah sunnah-sunnah Rasulullah yang dianjurkan di hari jum'at.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam kitab Zaad al-Ma’ad[9] telah menemukan sedikitnya 33 hal yang istimewa di hari Jum’at, bahkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) telah menemukan 101 keistimewaan yang ada pada hari Jum’at.[10]
Bila kita telaah dengan seksama, maka cara memuliakan keistimewaan hari jum'at adalah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah seperti yang telah tersebut di atas. Dan hampir tidak ada riwayat hadits yang secara tegas (sharih) menganjurkan bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual di malam jum'at. Kalaupun ada maka riwayat itu pun hanya riwayat yang lemah sebagaimana riwayat Baihaqy dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
"Apa kalian tidak sanggup menggauli istri kalian pada setiap hari jum'at, sesungguhnya padanya ada dua pahala, satu pahala mandinya dan satu pahala memandikan istrinya (membuat istrinya mandi).[11]
Dalam sanad hadits tersebut ada 3 perawi lemah yang sudah diketahui di kalangan Ulama hadits yaitu Abu Utbah, Baqiyyah dan yazid bin Sinan.
Imam As-Suyuthi dalam Nurul Lum'ah juga mengatakan hadits ini lemah, meski beliau sendiri menjadikan hadits ini sebagai sandaran untuk mengistimewakan hari jum'at dengan menggauli istri.[12]
Sedang riwayat yang shahih namun tidak sharih (jelas) dalam masalah berhubungan suami istri di hari jum'at adalah hadits tentang mandi hari jum'at dari sahabat Aus bin Aus Ats-Tsaqafy bahwa Nabi SAW bersabda :
"Man Ghasala wa ightasala..."[13]
Imam Nawawy dalam Al-Majmu' berkata :
Hadits ini hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan.
Para ulama kemudian berbeda pendapat dalam masalah sunnah menggauli istri pada hari jum'at karena tidak sharihnya lafal Ghasala. Ada 2 riwayat yang masyhur (terkenal) di kalangan mereka bahwa lafal ghasala itu bisa dibaca ghasala dan juga dibaca ghassala dengan tasydid. Lalu dua lafal yang berbeda itupun masing-masing mengandung tiga arti yang berbeda, dimana salah satunya adalah jimak atau berhubungan suami istri, karena ghasala dan ghassala itu memiliki arti "menjadikan istrinya mandi", dan hal itu terjadi karena sang istri sudah digauli oleh suaminya.[14]
Makna ini diperkuat oleh hadits-hadits shahih lainnya yang menganjurkan mandi di hari jum'at, karena di antara mereka ada juga yang menjadikan sunnah mandi hari jum'at itu bermakna umum baik bagi laki-laki dan perempuan. Dan disunnahkannya berhubungan suami istri sebelum pergi ke masjid juga karena untuk menentramkan hati sang suami agar tidak ada godaan hati saat ia pergi ke masjid, sebab pada masa itu wanita pun pergi untuk shalat jum'at, dan sampai sekarang pun wanita tidak dilarang berjama'ah shalat jum'at bila memang tidak ada masalah.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa berhubungan suami istri pada hari jum'at baik malam maupun paginya adalah sunnah yang masih diperdebatkan ulama, antara yang menjadikannya bagian dari ibadah sunnah di hari jum'at dan yang tidak menganggapnya demikian, sehingga sunnah tersebut masih kalah bersaing dengan sunnah-sunnah lainnya yang sebagiannya sudah tersebut di atas dimana riwayatnya kuat dan juga maknanya sharih.
Bila kemudian tema yang sering beredar di telinga masyarakat adalah sunnah Rasul di malam jum'at yang hanya terkait masalah hubungan suami istri sehingga menimbulkan kesan seakan-akan tidak ada sunnah yang lebih mulia dari pada sekedar hubungan suami istri, maka hal itu lumrah karena banyak masyarakat muslim yang menganggap bahwa hubungan suami istri hanyalah sekedar pelampiasan nafsu seks, sehingga tidak ada beda dengan binatang. Sehingga tidak mungkin Nabi yang mulia menganjurkan sunnah hari jum'at hanya sekedar urusan nafsu.
Tapi tahukah kita bahwa hubungan suami istri adalah salah satu sunnah yang merupakan bagian mendasar terbentuknya elemen penting bangunan peradaban Islam. Maka marilah sejenak kita simak dan telusuri beberapa bukti yang menguatkan itu semua.
Lihatlah perhatian Nabi yang mendalam dalam urusan "cinta" antara suami istri ini. Cinta itu mampu menolak perasaan gelisah dan gundah gulana yang mendera seorang lelaki oleh sebab daya tarik wanita selain istrinya di luar rumah.
Bahkan Imam Ibnu Qayyim menjelaskan dengan sangat gamblangnya tentang keutamaan hubungan suami istri. Menurut beliau, hubungan suami istri dapat menjaga kesehatan, menenangkan jiwa, dan yang paling utama, ia dapat mewujudkan tujuan yang mana karena tujuan itulah hubungan suami istri ini disyari'atkan. Di antara tujuan itu adalah :
Pertama, menjaga keturunan, dan inilah tujuan mulia dimana hubungan suami istri tersebut akan melanggengkan generasi sampai datangnya takdir kiamat.
Yang kedua, mengeluarkan air mani yang menjadi berbahaya bagi badan saat ia tertahan dan tidak dikeluarkan.
Dan yang ketiga adalah menghilangkan kegelisahan dan mendapatkan kenikmatan. Dan inilah satu-satunya kenikmatan yang masih akan terus berlanjut di surga sebab di sana tidak ada lagi melanjutkan keturunan maupun menahan air mani.
Beliau juga mengutip beberapa pendapat para dokter dimana mereka mengatakan bahwa lelaki yang tidak mengeluarkan air maninya karena tidak berhubungan dengan istrinya maka akan mengakibatkan munculnya berbagai macam penyakit, diantaranya adalah rasa waswas, gila, kesurupan jin, dan yang paling berbahaya adalah berubahnya air mani yang tertahan di dalam badan itu menjadi material beracun.
Sebagian salaf berkata :
"ada 3 hal yang tidak boleh ditinggalkan, salah satunya adalah bercinta dengan istri, sebab air sumur akan menjadi rusak bila tidak pernah ditimba"
Sebagian yang lain berkata :
"Barang siapa yang tidak bercinta dengan istrinya dalam waktu yang lama maka pikirannya akan melemah, salurannya akan tersumbat, kemaluannya akan keriput, dan gerakan badannya akan melemah"
Di antara manfaat bercinta yang juga disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim adalah menundukkan pandangan mata, menentramkan gejolak jiwa, dan mampu menahan diri dari perbuatan yang haram.[15] Karena sebab inilah maka Nabi bersabda :
"Aku telah dicintakan (oleh Allah) terhadap perkara duniamu berupa wanita dan wewangian"[16]
Bahkan dalam kitab Az-Zuhd Imam Ahmad, ada tambahan lafal dalam hadits di atas berupa perkataan Nabi :
"Aku bisa sabar dari makanan dan minuman, namun aku tidak bisa sabar dari mereka (istri-istri beliau)."[17]
Maka simaklah juga nasehat Nabi dalam hal memilih wanita yang akan dinikahi saat beliau berkata kepada sahabat Jabir radhiallahu anhu :
"Kenapa kamu tidak menikahi seorang perawan sehingga kamu bisa banyak bermain-main dengannya dan ia juga bermain-main denganmu ?"[18]
Tidak ada indikasi lain dalam nasehat beliau kepada Jabir kecuali dalam hal permainan bercinta antara suami istri. Dan permainan bercinta itu tidak banyak terpenuhi kecuali bila suami istri tersebut masih dalam usia muda. Sebab usia muda adalah usia yang penuh dengan gairah dan gelora cinta. Maka dari itu beliau menganjurkan agar umatnya menikah muda. Lihatlah ungkapan beliau saat berkata :
"Ya ma'syaras Syabaab…" yang artinya "wahai para pemuda…"[19]
Salah satu keunikan bahasa Arab adalah menyatunya antara kata dan makna. Beliau tidak memberikan semangat menikah kepada orang yang telah uzur usianya, sebab dari aspek bentuk kata pun mengandung makna yang telah tua, yaitu "Syuyukh", sangat berbeda dengan kata "Syabaab" yang mengandung huruf "alif" dimana ia menegaskan sesuatu dengan sifatnya yang tegak berdiri, bukan huruf "wawu" yang nampak bungkuk. Seperti itulah beliau selalu mengatur kata-katanya.
Setelah apa yang kita tahu dari keutamaan bercinta dengan istri, maka mari kita pikirkan sejenak kisah Nabi Muhammad SAW dengan istri beliau Zainab yang diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah, sesungguhnya Nabi SAW memandang seorang wanita kemudian beliau mendatangi Zainab yang saat itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, selanjutnya beliau keluar kepada para sahabatnya dan berkata :
"Sungguh wanita itu datang dalam rupa setan, dan ia kembali dalam rupa setan. Maka dari itu apabila ada salah seorang dari kalian memandang seorang wanita, maka hendaknya ia bergegas mendatangi istrinya (bercinta dengannya) sebab yang demikian itu dapat menyingkirkan rasa yang ada dalam hatinya."[20]
Imam An-Nawawy berkata tentang makna hadits ini bahwa disunnahkan bagi laki-laki yang memandang seorang wanita lalu ia tertarik padanya supaya segera mendatangi istrinya untuk bercinta agar dapat menghentikan gejolak syahwatnya lalu tenteramlah jiwanya.[21]
Begitulah seorang istri bila telah faham urusan agamanya, ia akan mengutamakan bercinta dengan suaminya dari pada tetap sibuk dengan urusan menyamak kulit.
Selanjutnya mari kita perhatikan alangkah indahnya ungkapan Al-Qur'an saat menggambarkan keutamaan bercinta bagi suami istri dengan ungkapan "mawaddah".
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."[22]
Bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dapat mencapai tujuan sakinah, yaitu rasa ketentraman hati dan jiwa antara suami istri, serta tercapainya tujuan lainnya yaitu mawaddah wa rahmah, perasaan cinta dan kasih sayang antara keduanya. Perasaan cinta dan kasih sayang ini makin bertambah dengan hadirnya sang buah hati, dan itu dihasilkan dengan bercinta. Maka dari itu kita dapati ada sebagian ulama tafsir yang mengartikan "mawaddah" dengan nikah, seperti Mujahid, Hasan Bashri dan Ikrimah, sebagaimana di antara mereka ada yang mengatakan bahwa mawaddah wa rahmah itu akan hadir karena adanya pernikahan.
Dan berikutnya adalah ungkapan Nabi SAW yang menegaskan bahwa bercinta dengan istri adalah sebuah ibadah, sebab itulah ia berpahala. Sungguh mulia agama Islam saat menjadikan aktivitas bercinta dengan istri adalah ibadah yang berpahala. Ia menjadi sakral dan suci bila telah halal. Namun ia menjadi bencana saat dilampiaskan melalui pintu zina. Karenanya, saat beliau ditanya oleh seorang sahabat, apakah bercinta dengan istri itu berpahala ? maka beliau berkata :
"Apa pendapat kalian bila syahwat itu dilampiaskan kepada yang haram, bukankah itu berdosa ? demikian juga saat ia dilakukan kepada yang halal, maka ia berpahala."[23]
Sebagai puncak dari keutamaan bercinta dengan istri adalah hadits nabi SAW yang bercerita tentang Nabi pendahulunya yaitu Sulaiman alaihis salam. Dan inilah inti dari tema bercinta yang harus kita ketahui bersama. Bahwa peradaban umat manusia yang tunduk patuh kepada Allah adalah peradaban yang hanya diisi oleh orang-orang yang senantiasa berjihad di jalan Allah dalam rangka menegakkan syari'at-NYA.
Para mujahid ini tidak akan lahir dari pasangan suami istri yang tidak memahami salah satu bagian penting dalam agamanya, terutama dalam kehidupan rumah tangganya. Bahwa rumah tangga mujahid adalah rumah tangga yang isi rumahnya penuh dengan orang-orang yang taat dalam beragama dan mengerti betul tentang tujuan pernikahan.
Oleh karena itu, tidaklah akan lahir seorang mujahid kecuali bila orang tuanya menginginkan mujahid itu lahir. Saat banyak mujahid yang lahir maka akan banyak pula orang-orang yang hanya menghambakan diri dan menyembah pada Allah Azza wa Jalla. Di sinilah maka Nabi SAW menegaskan :
"Menikahlah kalian, sebab aku berbangga diri dengan jumlah kalian di hadapan umat lain."
Hadits shahih dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari jalan Abu Umamah, juga Abu Dawud no. Hadits 2050.
Sedang pada riwayat Nasa'i dari jalan Ma'qal bin Yasar berbunyi :
"Nikahilah wanita-wanita yang penuh cinta dan dapat berketurunan banyak, sebab aku berbangga diri dengan jumlah kalian di hadapan umat lain." Dengan sanad hasan, juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Lalu apa cerita Nabi kita tentang Nabi Sulaiman a.s. itu ?
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi SAW bersabda :
"Sulaiman bin Dawud berkata, ‘Demi Allah, malam ini aku akan berkeliling kepada seratus wanita, setiap wanita melahirkan seorang anak laki-laki yang berperang di jalan Allah.’ Malaikat berkata kepadanya, ‘Katakanlah, ‘Insya Allah’. Tetapi Sulaiman tidak mengatakannya. Dia lupa. Dia berkeliling, tapi tidak ada istri yang melahirkan kecuali seorang istri yang melahirkan setengah manusia.” Nabi bersabda, “Seandainya Sulaiman berkata, ‘Insya Allah’ niscaya dia tidak mengingkari sumpahnya (sumpahnya akan terpenuhi) dan keinginannya lebih mungkin untuk tercapai."[24]
Dalam riwayat Bukhari yang lain, Nabi SAW bersabda :
"Sulaiman bin Dawud berkata, ‘Demi Allah, aku akan berkeliling malam ini kepada tujuh puluh istri, masing-masing istri melahirkan seorang penunggang kuda yang berjihad fi sabilillah.’ Temannya berkata kepadanya, ‘Insya Allah.’ Tetapi Sulaiman tidak mengucapkannya, maka tidak seorangpun yang melahirkan kecuali seorang saja melahirkan bayi yang jatuh salah satu sisinya."[25]
Dan masih ingatkah kita dengan kisah cinta sahabat Abu Thalhah dan istrinya Ummu Sulaim radhiyallahu anhuma saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata pada keduanya :
"Ya Allah berkahilah keduanya" atau "Semoga Allah memberkahi saat malam kalian itu"[26]
Pada saat itu salah seorang anak Abu Thalhah sedang sakit dan beliau harus meninggalkan rumah. Dan di saat itulah anaknya meninggal. Ketika pulang beliau bertanya pada Ummu Sulaim perihal anaknya. Maka Ummu Sulaim menjawab bahwa anaknya baik-baik saja. Dan pada malam itu keduanya "berbulan madu", sehingga pada esok harinya ditanya oleh Nabi :
"Apakah kalian semalam berbulan madu ?"
Abu Thalhah menjawab "Ya"
Barulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdo'a seperti di atas.[27]
Selanjutnya keduanya dianugerahi seorang anak, buah cinta mereka di malam itu yang diberi nama Abdullah.
Imam Nawawi berkata tentang Abdullah yang kemudian memiliki keturunan yang sangat menakjubkan sebab do'a Nabi kepada dua orang tuanya yang pada malam itu "berbulan madu" :
Dalam satu riwayat Imam Bukhari, Imam Ibnu Uyainah berkata bahwa salah seorang Anshar berkata :
"Maka saya lihat ada sembilan orang anak-anak yang semuanya Qurra' Al-Qur'an"[28]
Akhirnya, saat bercinta dengan istri maka jangan lupakan niat melahirkan keturunan yang akan berjihad di jalan Allah, sebab peradaban Islam hanya akan ditegakkan oleh orang-orang yang mau berjihad fi sabilillah.
Sungguh melahirkan seorang mujahid fi sabilillah yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-NYA jauh lebih bermanfaat untuk umat dari pada sekedar mengamalkan sunnah-sunnah yang pahalanya boleh jadi hanya berpulang pada diri sendiri.
Bila sebesar ini keutamaan bercinta dengan istri, lalu apa salahnya bila aktivitas yang mulia itu juga dilakukan pada hari yang penuh dengan kemuliaan ?
Fairuz Ahmad.
Bintara, selesai tepat di malam jum'at 29 Jumadil Akhir 1434 H./8 Mei 2013 M.
----------
Catatan :
[1] QS. Al-Jumu'ah : 9-11.
[2] “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrak, dan beliau menshahihkannya)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah.” (H.r. Ad-Darimi; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (H.r. An-Nasa’i dan Baihaqi; Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
[3] Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jibril pernah mendatangiku, dan di tangannya ada sesuatu seperti kaca putih. Di dalam kaca itu, ada titik hitam. Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, ini apa?” Beliau menjawab, “Ini hari Jumat.” Saya bertanya lagi, “Apa maksudnya hari Jumat?” Jibril mengatakan, “Kalian mendapatkan kebaikan di dalamnya.” Saya bertanya, “Apa yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Hari jumat menjadi hari raya bagimu dan bagi kaummu setelahmu. Sementara, orang Yahudi dan Nasrani mengikutimu (hari raya Sabtu–Ahad).” Aku bertanya, “Apa lagi yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Di dalamnya, ada satu kesempatan waktu; jika ada seorang hamba muslim berdoa bertepatan dengan waktu tersebut, untuk urusan dunia serta akhiratnya, dan itu menjadi jatahnya di dunia, maka pasti Allah kabulkan doanya. Jika itu bukan jatahnya maka Allah simpan untuknya dengan wujud yang lebih baik dari perkara yang dia minta, atau dia dilindungi dan dihindarkan dari keburukan yang ditakdirkan untuk menimpanya, yang nilainya lebih besar dibandingkan doanya.” Aku bertanya lagi, “Apa titik hitam ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah kiamat, yang akan terjadi di hari Jumat. Hari ini merupakan pemimpin hari yang lain menurut kami. Kami menyebutnya sebagai “yaumul mazid”, hari tambahan pada hari kiamat.” Aku bertanya, “Apa sebabnya?” Jibril menjawab, “Karena Rabbmu, Allah, menjadikan satu lembah dari minyak wangi putih. Apabila hari Jumat datang, Dia Dzat yang Mahasuci turun dari illiyin di atas kursi-Nya. Kemudian, kursi itu dikelilingi emas yang dihiasi dengan berbagai perhiasan. Kemudian, datanglah para nabi, dan mereka duduk di atas mimbar tersebut. Kemudian, datanglah para penghuni surga dari kamar mereka, lalu duduk di atas bukit pasir. Kemudian, Rabbmu, Allah, Dzat yang Mahasuci lagi Mahatinggi, menampakkan diri-Nya kepada mereka, dan berfirman, “Mintalah, pasti Aku beri kalian!” Maka mereka meminta ridha-Nya. Allah pun berfirman, “Ridha-Ku adalah Aku halalkan untuk kalian rumah-Ku, dan Aku jadikan kalian berkumpul di kursi-kursi-Ku. Karena itu, mintalah, pasti Aku beri!” Mereka pun meminta kepada-Nya. Kemudian Allah bersaksi kepada mereka bahwa Allah telah meridhai mereka. Akhirnya, dibukakanlah sesuatu untuk mereka, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seseorang. Dan itu terjadi selama kegiatan kalian di hari jumat …. sehingga tidak ada yang lebih mereka nantikan, melebihi hari Jumat, agar mereka bisa semakin sering melihat Rabb mereka dan mendapatkan tambahan kenikmatan dari-Nya.” (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Thabrani dalam Al-Ausath, Abu Ya’la dalam Al-Musnad, dan statusnya hasan atau sahih, sebagaimana keterangan Abdul Quddus Muhammad Nadzir)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyinggung hari Jumat, kemudian beliau bersabda, “Di hari Jumat, ada satu waktu, apabila ada seorang muslim melakukan shalat dan dia memohon sesuatu kepada Allah, pasti Allah beri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu itu hanya sebentar.(HR. Bukhari no : 5294. dan Muslim no : 852)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari terbaik saat matahari terbit adalah hari Jumat. Di hari ini, Adam diciptakan; di hari ini pula, kiamat terjadi; di hari Jumat terdapat satu waktu, apabila ada seorang hamba yang shalat, memohon kepada Allah di waktu itu, maka Allah akan memberikan pintanya.” (HR. Abu Daud Ath-Thayalisi; statusnya hasan lighairihi)
[4] Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad  bersabda: “Perbanyaklah membaca shalawat bagiku pada hari jum’at dan malam jum’at, sebab barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku satu shalawat saja maka Allah  akan membaca shalawat kepadanya sepuluh kali shalawat”. (HR. Al-Baihaqi 3/249 no. 5790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)
[5] “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)
“Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)
[6] “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[7] Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)
[8] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya dari Abi Sa’id Al-Khudri dan Abi Hurairah  bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at, memakai siwak, memakai pakaian yang terbaik, memakai minyak wangi jika dia memilikinya, memakai pakaian yang terbaiknya kemudian mendatangi masjid sementara dia tidak melangkahi pundak-pundak orang lain sehingga dia ruku’ (shalat) sekehendaknya, kemudian mendengarkan imam pada saat imam berdiri untuk berkhutbah sampai dengan selesai shalatnya maka hal itu sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi antara jum’at ini dengan hari jum’at sebelumnya.” (HR. Imam Ahmad: 3/81)
“Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudah hari Jumat.” (HR. Ahmad dan Hakim, Syu’aib Al-Arnauth mengatakan shahih, Ibnu Majah no : 1098)
[9] Lihat Zadul Ma'ad Imam Ibnu Qayyim Juz 1 hal. 375-432.
[10] Lihat Nur Al-Lum’ah fi Khashaish al-Jum’ah Imam As-Suyuthi.
[11] Syu'abul Iman 6/250.
[12] Nur Al-Lum’ah fi Khashaish al-Jum’ah Imam As-Suyuthi hal.55.
[13] Al-Mustadrak Alas Shahihain Imam Al-Hakim no.1080
[14] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab Imam Nawawi.
[15] Lihat Zadul Ma'ad Imam Ibnu Qayyim Juz 4 hal. 249-265.
[16] Musnad Imam Ahmad 3/128,199,285. Nasa'i 7/61 dari Anas bin Malik dengan sanad yang hasan, juga disahkan oleh Al-Hakim.
[17] Imam Ibnu Qayyim menukilnya dalam Zadul Ma'ad Juz 4 hal.250
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] HR. Bukhari dan Muslim
[20] HR. Muslim 2491.Tirmizi 1158. sedang dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, Nabi mendatangi Saudah.
[21] Tuhfatul Ahwadzi Syeikh Muhammad bin Abdur Rahman bin Abdur Rahim Al-Mubarakfury
[22] Ar-Rum : 21
[23] Dikeluarkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Dzar no. Hadits 1006.
[24] Shahih Bukhari 4944
[25] Shahih Bukhari 3242
[26] Shahih Bukhari 5153 dan Shahih Muslim 2144
[27] Shahih Muslim 2144 dan 3996
[28] Riyadhus Shalihin Imam Nawawi Bab As-Shabr hal.55
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar