Alangkah rumit, susah dan melelahkan saat kita berkomunikasi dengan sesama
manusia. Hampir semua indera kita sebagai manusia menjalankan fungsinya
masing-masing saat terjadi komunikasi. Mata memandang lalu informasi disampaikan.
Telinga mendengar lalu informasi disampaikan. Kulit meraba lalu informasi disampaikan.
Hidung mencium lalu informasi disampaikan. Begitu juga dengan lidah saat ia mengecap
sesuatu maka informasi disampaikan. Semua informasi-informasi itu diterima oleh otak. Bila ia
berjalan sendirian tanpa adanya hati sebagai kawan seperjuangan, maka ia akan
tersesat dan menyesatkan seluruh anggota badan. Namun bila ia senantiasa
meminta nasehat hati maka ia akan selamat dan menyelamatkan. Bukankah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menasehatkan kepada kita,
"Mintalah fatwa kepada
hatimu"[1]
Dan hati yang mampu memberi fatwa adalah hati yang hidup karena adanya ilmu
dan iman, bukan yang sakit apalagi mati. Bila hati hidup maka ia sebaik-baik
kawan sejati bagi otak. Keduanya seakan menyatu, hingga tak salah bila kemudian
Umar bin Khaththab menyebut Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhum dengan
mengatakan,
"Laa araahu illa fatan lahu
qalbun 'aquul wa lisaanin sa-uul", tidaklah aku melihatnya kecuali
seorang pemuda yang memiliki hati yang senantiasa berfikir dan lidah yang
selalu bertanya."
Maka kita pun senantiasa membaca lembar-lembar kebaikan dari sahabat bernama
Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu. Dialah bahrul ilmi wa habruhu, lautan
ilmu dan tintanya. Tempat rujukan kaum muslimin dalam masalah tafsir dan
hadits. Dan salah satu lembar emas yang berisi catatan ilmunya adalah saat ia
ditanya oleh Umar akan maksud turunnya surat An Nashr. Ternyata hanya tafsiran
beliau yang paling menakjubkan Umar. Bukan semata kemenangan-kemenangan yang
diraih oleh umat Islam, namun sejatinya sebentar lagi sang Rasul akan segera
meninggal, sebab tugas risalah telah mencapai kesempurnaan. Itulah sosok
sahabat mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu yang telah menyatu antara
otak dan hatinya, maka selamatlah seluruh anggota tubuhnya. Ia memandang dan
mendengar sesuatu, maka hatinya yang berisi ilmu dan iman yang akhirnya
berfikir.
Sosok dan perilaku menakjubkan inilah yang selayaknya menjadi teladan bagi
kita. Bahwa tak selayaknya saat kita memandang dan mendengar akan sesuatu
lantas serta merta berperilaku dan bersikap hanya berdasar pada otak yang belum
sempat meminta fatwa dan nasehat kepada hati. Sebab yang demikian seringnya
adalah tanda adanya percikan-percikan api kedengkian. Bila tak segera padam
maka ia akan terus membakar.
Betapa rumitnya sekarang bagi seorang wanita yang memakai jilbab agak
panjang. Ia dianggap berlebihan dalam menjalankan agama, lebih baik menutup
hati dari pada menutup kepala. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia
dianggap dajjal, sebab jilbab panjangnya adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi wanita yang memakai cadar. Ia pun dianggap
berlebihan dalam menjalankan syari'at. Hingga akhirnya ia pun dicibir dan
digunjing, bahkan tak jarang ia dicemooh dan dihindari, sebab media selalu
menampilkan sosok-sosok mereka di belakang para "teroris". Dan ia
dianggap dajjal, sebab cadarnya adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi seorang lelaki yang memelihara jenggot. Ia
juga dianggap berlebihan dalam beragama. Akhirnya ia dicibir dan digunjing,
bahwa sosok berjenggot adalah sosok yang keras dan kasar dan anti kerapian dan
kebersihan. Maka ia tak layak berada di kantor-kantor dan di gedung-gedung. Dan
ia dianggap dajjal, sebab jenggotnya adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang selalu mendatangi masjid untuk
shalat berjama'ah dan mengikuti majlis-majlis ilmu. Ia tertuduh sebagai sosok
fundamentalis dan puritan. Dan ia dianggap dajjal, sebab aktifitasnya adalah
tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi orang yang menampil kesalafian pada identitas
dan profilnya, atau bisa juga pada penampilannya. ia dianggap berlebihan dalam
menjalankan sunnah, bahkan menyelisihi adat dan kebiasaan turun-temurun yang
sudah dianggap syari'at. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap
dajjal, sebab kesalafiannya adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang bercelana "cingkrang"
dan menampil jenggot yang sedikit lebih panjang. Ia tertuduh sebagai orang
puritan dan anti keeksotisan. Maka melihatnya pun kadang penuh kedengkian,
paling tidak selalu timbul pertanyaan dalam hatinya, pasti ia dari komunitas
salafi. Dan ia dianggap dajjal, sebab celana "cingkrang"nya adalah
tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang tidak mau bersentuhan kulit dengan
wanita yang bukan mahramnya saat salaman, atau wanita yang tidak sembarangan
keluar rumah untuk urusan-urusan yang tidak perlu. Dan ia dianggap dajjal,
sebab sikapnya tersebut adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang saat seorang da'i menyampaikan kajian-kajian
tentang sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ia tertuduh sebagai wahabi.
Bahkan betapa rumitnya saat seorang penceramah memulai ceramahnya dengan
mengutip hadits, "Fa-inna ashdaqal
hadiitsi kitaabullah wa khairal hadyi hadyu muhammadin shallallahu alaihi
wasallam wa syarral umuuri muhdatsaatuhaa wa kulla muhdatsatin bid'ah wa kulla
bid'atin dhalaalah wa kulla dhalaalatin fin naar". Akhirnya ia dicibir
dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab kata-katanya adalah tipuan semata.
Betapa rumitnya sekarang saat seseorang menjelaskan tentang penyakit
mematikan bernama pemikiran liberal atau aliran-aliran sesat. Ia langsung
menjadi terdakwa wahabi. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap
dajjal, sebab penjelasannya adalah tipuan semata. Dan betapa rumitnya sekarang
saat masih ada orang yang menampil atribut partai bernama PKS. Ia tertuduh
sebagai penipu. Bahkan tak jarang semuanya dianggap penipu. Hingga akhirnya ia
dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab kata-katanya adalah tipuan
semata.
Ya, menipu adalah sifat dajjal. Siapa pun yang dianggap menipu maka kata
dajjal menjadi layak disandangkan kepadanya. Para penganggap inilah yang
sebenarnya layak disebut penipu. Ia menipu dirinya sendiri, itu bila ia selalu
menyandarkan sikapnya pada anggapan dan bukan pada ilmu. Sebab ilmu bukanlah
anggapan. Karena tak mungkin jilbab panjang, cadar, jenggot, celana cingkrang,
mengamal sunnah, sikap anti pemikiran liberal dan aliran sesat, bahkan sekedar
menampil atribut PKS kemudian layak disebut dajjal yang selalu menipu. Bila di
antara mereka ada yang menipu, maka itu adalah tanda dan peringatan bagi kita,
bahwa para penipu memanglah ada di mana-mana, mulai dari dalam diri kita
sendiri sampai pada lingkungan di mana kita tinggal di dalamnya.
Akhirnya, menjadi keharusan bagi kita untuk selalu memberi makanan ilmu dan
iman buat hati kita agar ia senantiasa hidup. Saat hidup itulah ia menjadi
kawan sejati otak kita. Ia akan diminta nasehat dan fatwa. Dan bila ia mampu
berfatwa maka selamatlah hidup kita. Karena tak selayaknya kita memandang dan
mendengar sesuatu lalu bersikap tanpa ilmu. Tak selamanya pandangan kita
terhadap sesuatu itu benar adanya sebelum kita mendapat fatwa dari hati yang
senantiasa menyantap ilmu dan iman.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 14 Shafar 1435 H./17 Desember 2013 M.
Catatan: [1]
Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata:
"Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?" Aku menjawab: benar.
Kemudian beliau bersabda(artinya): "Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan
adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa
yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan kebaikan." [HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam
Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292)]
Tulisan terkait Al Minhaal Syarhul Maqaalah Menampil "Atribut" Dajjaal
Tulisan terkait Al Minhaal Syarhul Maqaalah Menampil "Atribut" Dajjaal