Selasa, 17 Desember 2013

Menampil "Atribut" Dajjal

Alangkah rumit, susah dan melelahkan saat kita berkomunikasi dengan sesama manusia. Hampir semua indera kita sebagai manusia menjalankan fungsinya masing-masing saat terjadi komunikasi. Mata memandang lalu informasi disampaikan. Telinga mendengar lalu informasi disampaikan. Kulit meraba lalu informasi disampaikan. Hidung mencium lalu informasi disampaikan. Begitu juga dengan lidah saat ia mengecap sesuatu maka informasi disampaikan. Semua informasi-informasi itu diterima oleh otak. Bila ia berjalan sendirian tanpa adanya hati sebagai kawan seperjuangan, maka ia akan tersesat dan menyesatkan seluruh anggota badan. Namun bila ia senantiasa meminta nasehat hati maka ia akan selamat dan menyelamatkan. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menasehatkan kepada kita,

"Mintalah fatwa kepada hatimu"[1]


Dan hati yang mampu memberi fatwa adalah hati yang hidup karena adanya ilmu dan iman, bukan yang sakit apalagi mati. Bila hati hidup maka ia sebaik-baik kawan sejati bagi otak. Keduanya seakan menyatu, hingga tak salah bila kemudian Umar bin Khaththab menyebut Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhum dengan mengatakan,

"Laa araahu illa fatan lahu qalbun 'aquul wa lisaanin sa-uul", tidaklah aku melihatnya kecuali seorang pemuda yang memiliki hati yang senantiasa berfikir dan lidah yang selalu bertanya."

Maka kita pun senantiasa membaca lembar-lembar kebaikan dari sahabat bernama Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu. Dialah bahrul ilmi wa habruhu, lautan ilmu dan tintanya. Tempat rujukan kaum muslimin dalam masalah tafsir dan hadits. Dan salah satu lembar emas yang berisi catatan ilmunya adalah saat ia ditanya oleh Umar akan maksud turunnya surat An Nashr. Ternyata hanya tafsiran beliau yang paling menakjubkan Umar. Bukan semata kemenangan-kemenangan yang diraih oleh umat Islam, namun sejatinya sebentar lagi sang Rasul akan segera meninggal, sebab tugas risalah telah mencapai kesempurnaan. Itulah sosok sahabat mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu yang telah menyatu antara otak dan hatinya, maka selamatlah seluruh anggota tubuhnya. Ia memandang dan mendengar sesuatu, maka hatinya yang berisi ilmu dan iman yang akhirnya berfikir.

Sosok dan perilaku menakjubkan inilah yang selayaknya menjadi teladan bagi kita. Bahwa tak selayaknya saat kita memandang dan mendengar akan sesuatu lantas serta merta berperilaku dan bersikap hanya berdasar pada otak yang belum sempat meminta fatwa dan nasehat kepada hati. Sebab yang demikian seringnya adalah tanda adanya percikan-percikan api kedengkian. Bila tak segera padam maka ia akan terus membakar.

Betapa rumitnya sekarang bagi seorang wanita yang memakai jilbab agak panjang. Ia dianggap berlebihan dalam menjalankan agama, lebih baik menutup hati dari pada menutup kepala. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab jilbab panjangnya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi wanita yang memakai cadar. Ia pun dianggap berlebihan dalam menjalankan syari'at. Hingga akhirnya ia pun dicibir dan digunjing, bahkan tak jarang ia dicemooh dan dihindari, sebab media selalu menampilkan sosok-sosok mereka di belakang para "teroris". Dan ia dianggap dajjal, sebab cadarnya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi seorang lelaki yang memelihara jenggot. Ia juga dianggap berlebihan dalam beragama. Akhirnya ia dicibir dan digunjing, bahwa sosok berjenggot adalah sosok yang keras dan kasar dan anti kerapian dan kebersihan. Maka ia tak layak berada di kantor-kantor dan di gedung-gedung. Dan ia dianggap dajjal, sebab jenggotnya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang selalu mendatangi masjid untuk shalat berjama'ah dan mengikuti majlis-majlis ilmu. Ia tertuduh sebagai sosok fundamentalis dan puritan. Dan ia dianggap dajjal, sebab aktifitasnya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi orang yang menampil kesalafian pada identitas dan profilnya, atau bisa juga pada penampilannya. ia dianggap berlebihan dalam menjalankan sunnah, bahkan menyelisihi adat dan kebiasaan turun-temurun yang sudah dianggap syari'at. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab kesalafiannya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang bercelana "cingkrang" dan menampil jenggot yang sedikit lebih panjang. Ia tertuduh sebagai orang puritan dan anti keeksotisan. Maka melihatnya pun kadang penuh kedengkian, paling tidak selalu timbul pertanyaan dalam hatinya, pasti ia dari komunitas salafi. Dan ia dianggap dajjal, sebab celana "cingkrang"nya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang bagi lelaki yang tidak mau bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahramnya saat salaman, atau wanita yang tidak sembarangan keluar rumah untuk urusan-urusan yang tidak perlu. Dan ia dianggap dajjal, sebab sikapnya tersebut adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang saat seorang da'i menyampaikan kajian-kajian tentang sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ia tertuduh sebagai wahabi. Bahkan betapa rumitnya saat seorang penceramah memulai ceramahnya dengan mengutip hadits, "Fa-inna ashdaqal hadiitsi kitaabullah wa khairal hadyi hadyu muhammadin shallallahu alaihi wasallam wa syarral umuuri muhdatsaatuhaa wa kulla muhdatsatin bid'ah wa kulla bid'atin dhalaalah wa kulla dhalaalatin fin naar". Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab kata-katanya adalah tipuan semata.

Betapa rumitnya sekarang saat seseorang menjelaskan tentang penyakit mematikan bernama pemikiran liberal atau aliran-aliran sesat. Ia langsung menjadi terdakwa wahabi. Akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab penjelasannya adalah tipuan semata. Dan betapa rumitnya sekarang saat masih ada orang yang menampil atribut partai bernama PKS. Ia tertuduh sebagai penipu. Bahkan tak jarang semuanya dianggap penipu. Hingga akhirnya ia dicibir dan digunjing. Dan ia dianggap dajjal, sebab kata-katanya adalah tipuan semata.

Ya, menipu adalah sifat dajjal. Siapa pun yang dianggap menipu maka kata dajjal menjadi layak disandangkan kepadanya. Para penganggap inilah yang sebenarnya layak disebut penipu. Ia menipu dirinya sendiri, itu bila ia selalu menyandarkan sikapnya pada anggapan dan bukan pada ilmu. Sebab ilmu bukanlah anggapan. Karena tak mungkin jilbab panjang, cadar, jenggot, celana cingkrang, mengamal sunnah, sikap anti pemikiran liberal dan aliran sesat, bahkan sekedar menampil atribut PKS kemudian layak disebut dajjal yang selalu menipu. Bila di antara mereka ada yang menipu, maka itu adalah tanda dan peringatan bagi kita, bahwa para penipu memanglah ada di mana-mana, mulai dari dalam diri kita sendiri sampai pada lingkungan di mana kita tinggal di dalamnya.

Akhirnya, menjadi keharusan bagi kita untuk selalu memberi makanan ilmu dan iman buat hati kita agar ia senantiasa hidup. Saat hidup itulah ia menjadi kawan sejati otak kita. Ia akan diminta nasehat dan fatwa. Dan bila ia mampu berfatwa maka selamatlah hidup kita. Karena tak selayaknya kita memandang dan mendengar sesuatu lalu bersikap tanpa ilmu. Tak selamanya pandangan kita terhadap sesuatu itu benar adanya sebelum kita mendapat fatwa dari hati yang senantiasa menyantap ilmu dan iman.

Fairuz Ahmad.

Bintara, 14 Shafar 1435 H./17 Desember 2013 M.

Catatan: [1]
Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: "Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?" Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): "Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan." [HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292)]

Tulisan terkait Al Minhaal Syarhul Maqaalah Menampil "Atribut" Dajjaal

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar