Rabu, 01 Januari 2014

Lelaki Berjubah Lengkap Dengan Sorbannya

Hari itu sang maestro fikih sedang menyampaikan ilmu-ilmunya di hadapan para jama'ah yang sebagiannya juga merupakan cikal bakal maestro-maestro fikih. Beliau adalah Abu Hanifah, imam ahlirro'yi. Sesuai dengan julukannya yang disandangkan oleh para imam fikih lain karena ketajaman analisanya, kedalaman pandangannya, sekaligus kekokohan dan kekuatan ilmunya, maka tidak mengherankan bila ia adalah pusat rujukan, dari kalangan bawah sampai pejabat dan penguasa negeri. Dan siang itu beliau sangat menikmati ceramahnya, sampai-sampai meminta para jama'ah mengijinkannya untuk menyelonjorkan kedua kakinya, bukan karena tidak santun dengan jama'ahnya, tapi lebih disebabkan uzur sakit pada lututnya.
Namun tiba-tiba datanglah seseorang yang mengenakan jubah lengkap dengan sorbannya. Lalu duduk bersama jama'ah turut mendengarkan sang imam. Demi melihat tamu yang datang, disertai aneka atribut keulamaan yang dikenakannya, serta merta sang imam menarik kedua kakinya sebagai rasa hormat padanya. Ya, sang imam mendapati tamu mulia, maka ia memuliakannya. Terlebih sang tamu adalah seorang ulama juga, begitu kira-kira dalam pikiran sang imam.
Selesai ceramah tibalah saat-saat bertanya. Dan sang ulama pun mengangkat tangan, tanda mau bertanya. Melihat itu, sang imam pun bergegas menyiapkan diri untuknya, untuk menjawab pertanyaan sang ulama.
“Wahai Abu Hanifah, kapankah seseorang sudah boleh berbuka puasa?”
“Saat matahari telah terbenam.” Abu Hanifah menjawabnya dengan singkat.
Lalu sang ulama bertanya lagi,
“Bagaimana kalau hari itu matahari belum terbenam?"
Demi mendengar pertanyaan "sang ulama", sang imam pun segera menyelonjorkan kedua kakinya kembali seraya berkata,
"Telah tiba saatnya bagi Abu Hanifah untuk menyelonjorkan kakinya kembali".
Bila kita cermati, betapa sosok-sosok "sang ulama" di atas sungguh sering kita jumpai, bahkan ada pada semua kalangan masyarakat kita. Sosok yang lebih dikenal dalam peribahasa kita sebagai "tong kosong nyaring bunyinya", yang juga diungkapkan dalam peribahasa arab "faaqidus syai'i laa yu'thi", yang tidak memiliki apapun, tak akan memberi apapun.
Sebuah ironi memang, tapi itulah kenyataannya.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar