Namun tiba-tiba datanglah seseorang yang mengenakan jubah
lengkap dengan sorbannya. Lalu duduk bersama jama'ah turut mendengarkan sang
imam. Demi melihat tamu yang datang, disertai aneka atribut keulamaan yang
dikenakannya, serta merta sang imam menarik kedua kakinya sebagai rasa hormat
padanya. Ya, sang imam mendapati tamu mulia, maka ia memuliakannya. Terlebih
sang tamu adalah seorang ulama juga, begitu kira-kira dalam pikiran sang imam.
Selesai ceramah tibalah saat-saat
bertanya. Dan sang ulama pun mengangkat tangan, tanda mau bertanya. Melihat itu,
sang imam pun bergegas menyiapkan diri untuknya, untuk menjawab pertanyaan sang
ulama.
“Wahai Abu Hanifah, kapankah seseorang sudah boleh berbuka
puasa?”
“Saat matahari telah terbenam.” Abu Hanifah
menjawabnya dengan singkat.
Lalu sang ulama bertanya lagi,
“Bagaimana kalau hari itu matahari belum terbenam?"
Demi mendengar pertanyaan "sang ulama", sang imam
pun segera menyelonjorkan kedua kakinya kembali seraya berkata,
"Telah tiba saatnya bagi Abu Hanifah untuk
menyelonjorkan kakinya kembali".
Bila kita cermati, betapa sosok-sosok
"sang ulama" di atas sungguh sering kita jumpai, bahkan ada pada
semua kalangan masyarakat kita. Sosok yang lebih dikenal dalam peribahasa kita sebagai "tong
kosong nyaring bunyinya", yang juga diungkapkan dalam peribahasa arab "faaqidus
syai'i laa yu'thi", yang tidak memiliki apapun, tak akan memberi
apapun.
Sebuah ironi memang, tapi itulah
kenyataannya.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.