Minggu, 08 Desember 2013

KAPAN SEBAIKNYA KITA BERTAKWA

Maha Suci Allah, Dzat yang menurunkan Alquran dan menyifatinya sebagai kalam yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Dzat yang menjadikannya panduan dan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Alangkah nyata kebenaran wahyu-NYA saat Ia menyebut dan meletakkan ciri pertama bagi orang-orang yang bertakwa adalah beriman kepada yang gaib. Di sinilah letak kebenaran kalam-NYA, bahwa tidaklah kebetulan saat ciri itu diletakkan sebagai ciri pertama.
Marilah kita simak dan telaah di antara i'jaaz[1] Alquran yang ada pada surat Albaqarah ayat yang ketiga.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib".
Ayat ini adalah penjelasan dari Allah Azza wa Jalla tentang siapa orang-orang yang bertakwa yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya. Yaitu orang-orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuknya, sebagaimana penegasan bahwa yang mau dan mampu menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk hanyalah orang-orang yang bertakwa saja. Dan ciri yang pertama adalah iman kepada yang gaib.
I'jaaz yang pertama adalah saat Allah Subhanahu wa Ta'ala mengungkapkan kata kerja beriman "yukminun" dengan bentuk fi'l mudhari, yaitu kata kerja yang menunjukkan waktu pekerjaan yang sedang berlangsung sekarang atau akan datang, atau ia akan berlangsung sampai kapan saja di waktu yang akan datang.
Disebut bertakwa adalah pada saat ia senantiasa beriman kepada Allah Azza wa Jalla. Dan begitulah yang diharapkan oleh Allah pada umatnya. Tidak boleh barang sedetik pun ia menghentikan imannya. Tidak boleh ia menyelinginya dengan keyakinan akan kekuatan selain-NYA. Tidak boleh ia menyelipinya dengan harapan dan rasa takut kepada makhluk selain-NYA. Beriman haruslah berlangsung selama-lamanya. Sebab iman adalah ciri, sedang ciri adalah tanda. Bila orang kehilangan tanda, maka dengan apa ia akan dikenali?
I'jaaz yang kedua adalah penyebutan siapa dan apa yang harus diimani dengan ungkapan "al-ghaib". Imam Ibnu Katsir menguatkan makna yang dimaksud al-ghaib adalah Allah, Malaikat, Kitab, Rusul, Hari akhir, Surga dan Neraka, pertemuan dengan Allah, kehidupan setelah kematian, hari kebangkitan dan lain-lain yang masuk dalam hal ghaib.[2]
Namun ungkapan "al-ghaib" sendiri tentulah mengisyaratkan sesuatu yang layak untuk ditelaah. Bahwa gaib adalah sifat akan sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan oleh Allah ada meski ia tak tampak oleh indera manusia. Akan tetapi saat Allah mengatakan sesuatu itu ada meski tak harus dapat dilihat oleh mata, maka di sinilah penekanan Allah kepada kita tentang kewajiban agar senantiasa meyakini-NYA ada dalam setiap kehidupan kita, meski kita tidak melihat-NYA, meski kita seakan tidak berada di hadapan-NYA, meski kita seakan tidak bersama-NYA, meski kita seolah tidak sedang diawasi-NYA. Ini apabila al-ghaib kita maksudkan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sesungguhnya Allah menginginkan dengan ungkapan gaib untuk diri-NYA agar tertanam dalam jiwa kita bahwa Ia ada namun tidak harus menampakkan diri-NYA. Di mana pun kita Ia akan selalu ada sehingga kita senantiasa dalam pengawasan dan perhatian-NYA. Dan tidak mungkin bagi kita untuk melewatkan usia dalam keadaan tidak beribadah kepada-NYA.
Maka dari itu lihatlah ciri dan tanda orang yang tidak bertakwa, ia senantiasa membutuhkan pengawasan sesuatu yang tampak di hadapannya agar ia berlaku baik. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa dilihat saat ia beribadah dan berdo'a. Seakan tidak cukup ia menengadahkan tangan dan langsung meminta kepada Allah. Maka datanglah ia ke pohon-pohon untuk meminta-minta. Datanglah ia ke kuburan-kuburan untuk meminta-minta.
Atau ia akan berlaku sopan, jujur dan penuh dedikasi saat pekerjaannya diintai oleh kamera pengintai. Atau ia menundukkan pandangan dari maksiat sebab ada teman baik dalam perjalanannya. Atau ia banyak bersedekah sebab sedang dalam pengenalan dan promosi untuk meraih jabatannya. Atau ia menjaga lisan sebab tahu dahsyatnya sebuah alat penyadapan. Atau ia malu sedekah recehan sebab para tetangganya telah menganggap dirinya seorang dermawan. Begitulah saat seseorang tidak lagi mampu menampilkan jiwa ikhlas dan setianya kepada Allah Yang Maha Gaib. Ia berbuat baik sebab merasa sedang diawasi dan diperhatikan oleh manusia yang selalu hadir di hadapannya, sebab manusia bukan dzat yang gaib.
Dan i'jaaz yang ketiga adalah pada peletakan ciri tersebut sebagai ciri pertama. Bila ada beberapa ciri bagi sesuatu, maka ciri yang diletakkan pertama kali adalah ciri yang paling utama. Dan beriman kepada Allah adalah ciri orang bertakwa yang paling utama.
Ciri pertama ini mengisyaratkan kepada kita bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa terhubung dengan Allah Azza wa Jalla. Tidak peduli saat lapang maupun susah. Saat gembira atau susah. Saat kaya atau miskin. Saat sebagai pejabat atau sebagai rakyat. Saat menjadi pimpinan atau bawahan. Semua saat-saat itu bagi seseorang yang bertakwa adalah sama. Bahwa ia harus senantiasa terhubung dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bukankah kebaikan akan senantiasa diberikan oleh Allah kepada hamba-NYA bagaimanapun situasi dirinya. Ya, sebab syaratnya hanyalah satu, yaitu terhubung dengan-NYA. Maka lihatlah saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah kebaikan baginya. Dan kebaikan itu tidak diberikan kecuali untuk orang yang beriman. Saat ia mendapat kenikmatan maka ia bersyukur, sehingga rasa syukurnya adalah kebaikan baginya. Dan saat ia ditimpa musibah maka ia bersabar, sehingga sabarnya adalah kebaikan baginya."[3]
Bila ungkapan Allah bermakna agar kita senantiasa beriman kepada-NYA, maka begitu pula harapan-NYA kepada kita saat kita diwajibkan berpuasa, sebab kewajiban berpuasa tidak hanya sekedar agar kita bertakwa di bulan tersebut, namun jauh sampai kita menutup mata.
Bukankah ungkapan kata kerjanya sama-sama fi'l mudhari', yaitu "tattaqun", agar kalian senantiasa bertakwa sampai ajal kita tiba.
Fairuz Ahmad.
Bintara, sore menjelang maghrib 1 Syawal 1434 H. / 10 Juli 2013 M.
Catatan :
[1] I'jaaz adalah istilah tentang sifat Al-Qur'an yang mengandung mukjizat, sedang mukjizat adalah sifat sesuatu yang mampu melemahkan dan mengalahkan lawan. Dan salah satu mukjizat Al-Qur'an adalah jawami'ul kalim, yaitu ungkapan kata, susunan kalimat, bentuk kata, peletakan kata dan lain-lain yang memiliki kesaratan makna, isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya dan lain-lain yang menunjukkan keagungan Allah dan tidak adanya kesalahan atau keasalan ungkapan.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 1/56 Darul Fikr.
[3] HR. Muslim dari Shuhaib no.5318
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar