Maha
Suci Allah, Dzat yang menurunkan Alquran dan menyifatinya sebagai kalam yang
tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Dzat yang menjadikannya panduan dan
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Alangkah
nyata kebenaran wahyu-NYA saat Ia menyebut dan meletakkan ciri pertama bagi
orang-orang yang bertakwa adalah beriman kepada yang gaib. Di sinilah letak
kebenaran kalam-NYA, bahwa tidaklah kebetulan saat ciri itu diletakkan sebagai
ciri pertama.
Marilah
kita simak dan telaah di antara i'jaaz[1] Alquran yang ada pada surat Albaqarah
ayat yang ketiga.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"(yaitu) orang-orang yang beriman
kepada yang gaib".
Ayat ini adalah penjelasan dari Allah Azza wa
Jalla tentang siapa orang-orang yang bertakwa yang telah disebutkan pada ayat
sebelumnya. Yaitu orang-orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuknya, sebagaimana
penegasan bahwa yang mau dan mampu menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk
hanyalah orang-orang yang bertakwa saja. Dan ciri yang pertama adalah iman
kepada yang gaib.
I'jaaz yang pertama adalah saat Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengungkapkan kata kerja beriman "yukminun" dengan
bentuk fi'l mudhari, yaitu kata kerja yang menunjukkan waktu pekerjaan yang
sedang berlangsung sekarang atau akan datang, atau ia akan berlangsung sampai
kapan saja di waktu yang akan datang.
Disebut
bertakwa adalah pada saat ia senantiasa beriman kepada Allah Azza wa Jalla. Dan
begitulah yang diharapkan oleh Allah pada umatnya. Tidak boleh barang sedetik
pun ia menghentikan imannya. Tidak boleh ia menyelinginya dengan keyakinan akan
kekuatan selain-NYA. Tidak boleh ia menyelipinya dengan harapan dan rasa takut
kepada makhluk selain-NYA. Beriman haruslah berlangsung selama-lamanya. Sebab iman
adalah ciri, sedang ciri adalah tanda. Bila orang kehilangan tanda, maka dengan
apa ia akan dikenali?
I'jaaz
yang kedua adalah penyebutan siapa dan apa yang harus diimani dengan ungkapan
"al-ghaib". Imam Ibnu Katsir menguatkan makna yang dimaksud al-ghaib
adalah Allah, Malaikat, Kitab, Rusul, Hari akhir, Surga dan Neraka, pertemuan
dengan Allah, kehidupan setelah kematian, hari kebangkitan dan lain-lain yang
masuk dalam hal ghaib.[2]
Namun
ungkapan "al-ghaib" sendiri tentulah mengisyaratkan sesuatu yang
layak untuk ditelaah. Bahwa gaib adalah sifat akan sesuatu. Sesuatu yang
dimaksudkan oleh Allah ada meski ia tak tampak oleh indera manusia. Akan tetapi
saat Allah mengatakan sesuatu itu ada meski tak harus dapat dilihat oleh mata,
maka di sinilah penekanan Allah kepada kita tentang kewajiban agar senantiasa meyakini-NYA
ada dalam setiap kehidupan kita, meski kita tidak melihat-NYA, meski kita seakan
tidak berada di hadapan-NYA, meski kita seakan tidak bersama-NYA, meski kita
seolah tidak sedang diawasi-NYA. Ini apabila al-ghaib kita maksudkan untuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sesungguhnya
Allah menginginkan dengan ungkapan gaib untuk diri-NYA agar tertanam dalam jiwa
kita bahwa Ia ada namun tidak harus menampakkan diri-NYA. Di mana pun kita Ia
akan selalu ada sehingga kita senantiasa dalam pengawasan dan perhatian-NYA. Dan
tidak mungkin bagi kita untuk melewatkan usia dalam keadaan tidak beribadah
kepada-NYA.
Maka
dari itu lihatlah ciri dan tanda orang yang tidak bertakwa, ia senantiasa
membutuhkan pengawasan sesuatu yang tampak di hadapannya agar ia berlaku baik. Ia
membutuhkan sesuatu yang bisa dilihat saat ia beribadah dan berdo'a. Seakan
tidak cukup ia menengadahkan tangan dan langsung meminta kepada Allah. Maka
datanglah ia ke pohon-pohon untuk meminta-minta. Datanglah ia ke
kuburan-kuburan untuk meminta-minta.
Atau
ia akan berlaku sopan, jujur dan penuh dedikasi saat pekerjaannya diintai oleh
kamera pengintai. Atau ia menundukkan pandangan dari maksiat sebab ada teman
baik dalam perjalanannya. Atau ia banyak bersedekah sebab sedang dalam
pengenalan dan promosi untuk meraih jabatannya. Atau ia menjaga lisan sebab
tahu dahsyatnya sebuah alat penyadapan. Atau ia malu sedekah recehan sebab para
tetangganya telah menganggap dirinya seorang dermawan. Begitulah saat seseorang
tidak lagi mampu menampilkan jiwa ikhlas dan setianya kepada Allah Yang Maha
Gaib. Ia berbuat baik sebab merasa sedang diawasi dan diperhatikan oleh manusia
yang selalu hadir di hadapannya, sebab manusia bukan dzat yang gaib.
Dan
i'jaaz yang ketiga adalah pada peletakan ciri tersebut sebagai ciri pertama. Bila
ada beberapa ciri bagi sesuatu, maka ciri yang diletakkan pertama kali adalah
ciri yang paling utama. Dan beriman kepada Allah adalah ciri orang
bertakwa yang paling utama.
Ciri pertama ini mengisyaratkan kepada kita
bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa terhubung dengan Allah
Azza wa Jalla. Tidak peduli saat
lapang maupun susah. Saat gembira atau susah. Saat kaya atau miskin. Saat
sebagai pejabat atau sebagai rakyat. Saat menjadi pimpinan atau bawahan. Semua
saat-saat itu bagi seseorang yang bertakwa adalah sama. Bahwa ia harus
senantiasa terhubung dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bukankah
kebaikan akan senantiasa diberikan oleh Allah kepada hamba-NYA bagaimanapun
situasi dirinya. Ya, sebab syaratnya hanyalah satu, yaitu terhubung dengan-NYA.
Maka lihatlah saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah
kebaikan baginya. Dan kebaikan itu tidak diberikan kecuali untuk orang yang
beriman. Saat ia mendapat kenikmatan maka ia bersyukur, sehingga rasa syukurnya
adalah kebaikan baginya. Dan saat ia ditimpa musibah maka ia bersabar, sehingga
sabarnya adalah kebaikan baginya."[3]
Bila
ungkapan Allah bermakna agar kita senantiasa beriman kepada-NYA, maka begitu
pula harapan-NYA kepada kita saat kita diwajibkan berpuasa, sebab kewajiban
berpuasa tidak hanya sekedar agar kita bertakwa di bulan tersebut, namun jauh
sampai kita menutup mata.
Bukankah
ungkapan kata kerjanya sama-sama fi'l mudhari', yaitu "tattaqun",
agar kalian senantiasa bertakwa sampai ajal kita tiba.
Fairuz Ahmad.
Bintara, sore menjelang maghrib 1 Syawal 1434
H. / 10 Juli 2013 M.
Catatan :
[1] I'jaaz adalah istilah tentang sifat
Al-Qur'an yang mengandung mukjizat, sedang mukjizat adalah sifat sesuatu yang
mampu melemahkan dan mengalahkan lawan. Dan salah satu mukjizat Al-Qur'an
adalah jawami'ul kalim, yaitu ungkapan kata, susunan kalimat, bentuk kata,
peletakan kata dan lain-lain yang memiliki kesaratan makna, isyarat-isyarat
yang terkandung di dalamnya dan lain-lain yang menunjukkan keagungan Allah dan tidak
adanya kesalahan atau keasalan ungkapan.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 1/56 Darul Fikr.
[3] HR. Muslim dari Shuhaib no.5318