Rabu, 11 Desember 2013

Ajian Dalam Mengajar Tauhid

Semalam saat kajian tauhid dari kitab Fathul Majid baru masuk bab man haqqaqat tauhid dakhalal jannata bighairi hisab, bab barang siapa yang berhasil mewujudkan kalimat tauhid niscaya masuk surga tanpa hisab. Bab ini tergolong aneh di kalangan jama'ah. Khususnya bila mengamati mimik wajah. Sebab setahu mereka, selama ini mereka sudah mengamalkan kalimat tauhid tersebut. Apalagi saat mendengar hadits Hushain bin Abdur Rahman radhiyallahu anhu tentang adanya tujuh puluh ribu umat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang masuk surga tanpa hisab. Seakan mereka menyadari bahwa yang selama ini mereka lakukan belumlah maksimal. Masih sebatas zikir. Dan memang selama ini pengajian-pengajian yang ada hanya sebatas pada itu. Terlebih yang selalu ditekankan oleh penceramahnya adalah ungkapan, "afdhaludz dzikri fa'lam annahu laa ilaaha illallah" lalu mencukupkan makna zikir pada arti bahasa saja, yaitu ingat melalui lantunan lisan, dan tidak meluaskan maknanya sebagaimana dalam
surat Ali Imran ayat 191,

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Di antara hal-hal yang baru mereka ketahui adalah penjelasan tentang rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam kalimat tauhid, juga tanggung jawab seseorang setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Dan sejujuranya pembahasan aqidah tauhid sangatlah berat. Bukan berat di materinya. Namun berat menjaga konsistensi jama'ah agar tetap betah dengan pembahasan kalimat laa ilaaha illallah. Sangat kontras bila dibandingkan dengan pembahasan fiqih. Dinamis dan fleksibel. Tentunya dalam bab-bab tertentu. Sedang mengajarkan tauhid, tak ada kata yang wajib saya ucapkan selain Wallahul Musta'aan wal Muwaffiq.

Akan tetapi saya sangat bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah menciptakan seorang manusia bernama Syeikh Dr. Muhammad Al 'Arifiy. Saya tidak sedang ghuluw terhadap beliau, apalagi galau. Namun karena melihat kiprahnya dalam mendakwahkan tauhid yang penuh hikmah kebijaksanaan—meski ngga usah diteruskan dengan dalam permusyawaratan perwakilan--.

Suatu hari saya mampir ke toko buku yang menjual kitab-kitab Arab, namanya Pustaka Ukhuwah. Sekalian promosi meski yang punya tidak tahu. Barangkali di antara pembaca ada yang mau mampir ke toko buku tersebut, dekat dengan rumah saya. Yang pasti bila ada yang mampir ke toko itu dan tidak mampir ke rumah saya, ibarat orang pergi ke Jakarta dan lupa tidak mampir ke Monas. Saya melihat ada buku kecil semacam cerita non fiksi. Judulnya "Irkab Ma'anaa" karya Dr. Al 'Arifiy. Lalu saya beli. Masa iya mampir doang lalu SMP (setelah mampir pulang)...

Setelah membaca buku tersebut, saya simpulkan ternyata menyampaikan tauhid kepada umat itu butuh "ilmu". Dan tanda kutip pada ilmu itu menunjukkan suatu ilmu yang lain. Dan beliaulah orangnya yang memiliki ilmu yang lain itu. Tauhid bila disampaikan dengan ilmu beliau maka beda rasanya. Makan tempe pun bisa rasa pizza, maksudnya tempenya sedikit pizzanya banyak. Haha..

Tapi yang pasti, kajian-kajian atau interaksi beliau yang bisa kita saksikan di situs youtube dan lain-lain selalu menampilkan ilmu yang lain itu. Salah satu ciri khas beliau yang ditampilkan dalam bukunya tersebut adalah bercerita. Mungkin ada orang yang tidak suka cerita. Menghabiskan umur dan usia, begitu hujjahnya. Tapi barangkali ia lupa bahwa Kalamullah Alquran banyak memuat cerita, yang selanjutnya Allah tegaskan dalam surah Yusuf ayat 111,

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman."

Semoga Allah Ta'ala melimpahkan berkah dan pahala atas beliau, menjaganya dan selalu memberikan manfaat pada umat dengan hikmah kebijaksanaan.

Fairuz Ahmad.

Bintara, 26 Muharram 1435 H./30 Nopember 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar