Sabtu, 04 Januari 2014

Sa'ad Bin Abi Waqqash Dan Dendam Kesumat Majusi [1]

Permusuhan kaum Majusi terhadap Islam dan Arab sepertinya tak akan pernah padam semenjak api mereka padam. Padam pada saat kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan benar-benar padam saat penaklukan Mada'in di masa kekhilafahan Al Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

Tapi DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury dalam Ar Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa riwayat padamnya api sesembahan kaum Majusi tidak diyakini oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali dalam Fiqhus Sirah.[1] Hanya saja cerita dan kabar tentang itu didapat dari orang-orang yang pada saat kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam ia hidup di negeri Persi. Dari merekalah kabar itu didapat seperti apa yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi (w 450 H.) dalam A'lamun Nubuwwah, bahwa Abu Ayyub Ya'la bin Imran An Nahli meriwayatkan dari Makhzum bin Hani' Al Makhzumi dari ayahnya, ia berkata,

"Pada malam dilahirkannya Nabi shallallahu alaihi wasallam bergetarlah istana Kisra hingga sebanyak empat belas balkonnya runtuh, api Persi pun padam padahal selama seribu tahun belum pernah padam, dan air danau Sawah mengering. Hal itu membuat Kisra ketakutan, lalu ia memakai makhkotanya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia mengumpulkan menteri-menteri dan para pembantunya lalu menceritakan mimpinya tersebut.
Kemudian berkatalah Al Mubidzan[2], "Adapun saya sendiri, semoga Allah Ta'ala memperbaiki urusan raja, saya melihat dalam mimpi saya ada unta-unta berat yang menuntun kuda-kuda mahal mengarungi sungai Dijlah lalu mereka menyebar di negeri-negeri kita.
Kisra bertanya, "Apa arti semua itu hai Mubidzan?"
Ia menjawab, "Sebuah peristiwa besar yang datang dari penjuru Arab."
Maka Kisra menulis surat perintah kepada An Nu'man bin Al Mundzir, "Kirimkan kepadaku seseorang yang mengetahui agar aku bisa bertanya padanya apa yang aku inginkan."
Maka menghadaplah Abdul Masih bin 'Amr bin Nafilah Al Ghassany. Sesampainya di hadapan Kisra ia lalu diberitahu tentang peristiwa yang terjadi. Kemudian ia berkata, "Wahai raja, sesungguhnya ilmu tentang hal itu ada pada paman saya. Ia tinggal di bagian timur negeri Syam. Namanya Suthaih.
Kisra berkata, "Datangi dia dan tanyalah dengan apa yang telah aku kabarkan kepadamu lalu bawalah jawaban itu kepadaku."

Singkat cerita, Abdul Masih pun bertanya tentang keanehan yang dilihat oleh Kisra dan Al Mubidzan. Selanjutnya ia berkata, "Hai Abdul Masih, jika telah banyak tilawah (tilawah Alquran), diutus seseorang dari Tihamah (tempat kelahiran Nabi), ada banjir di lembah Samawah, mengeringnya danau Sawah, dan padamnya api Persi, maka Syam bukan lagi negeri Syam bagi Suthaih....." Lalu ia pun meninggal."[3]

Pada kenyataannya, api Persi sesembahan kaum Majusi tersebut telah menyulut api dendam yang sangat membara di kalangan kaum Majusi. Dan api dendam tersebut tersulut saat Khalifah Al Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu dalam perang agung, Ma'rakatul Qadishiyah tahun 14 H. yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Selanjutnya api itu makin berkobar dan menyala-nyala dengan dibukanya kota Mada'in di tahun 16 H, simbol kemegahan Kisra Persi, juga di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dan di akhir masa pemerintahannya, Khalifah Umar kembali menugaskan salah seorang sahabat terbaik untuk menyempurnakan jihad ke bumi Persi, beliau adalah An Nu'man bin Muqarrin radhiyallahu anhu dalam perang Nahawand.

Sebelum berkecamuknya perang Al Qadishiyah, panglima tentara Persi, Rustum meminta beberapa utusan dari tentara kaum muslimin. Maka diutuslah beberapa sahabat, di antaranya Rib'i bin Amir radhiyallahu anhu sebagai pimpinannya. Maka datanglah Rib'i dengan kemuliaannya sebagai seorang muslim untuk menghadap Rustum. Kedatangan Rib'i dalam keadaan kepala tegak, lalu menginjakkan kaki-kaki kudanya di atas permadani mewah dan mengikat tali kudanya pada kursi-kursi mewah mereka, kemudian berdiri di hadapan Rustum seraya menancapkan ujung tombaknya hingga merobek bantal-bantal itulah yang membuat para pengawalnya merasa terhina dan murka.

Dalam pertempuran sengit antara kedua pasukan pun terlihat betapa kuatnya pasukan Persi. Kawanan gajah mereka pun mampu menyurutkan nyali kuda-kuda pasukan kaum muslimin. Namun akhirnya keberanian, ketangguhan dan kecerdikan pasukan Islam berhasil mengatasi gajah-gajah Persi atas izin Allah dengan melempar tombak pada matanya.

Selanjutnya Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu melanjutkan ekspedisi jihadnya menuju kota Mada'in yang dipisahkan oleh sungai besar Dijlah. Dan sungguh atas izin Allah Azza wa Jalla maka pasukan kaum muslimin mampu menyeberangi sungai tersebut seakan berjalan di atas tanah hingga membuat pasukan Persi tak percaya dengan apa yang mereka lihat seraya berteriak, "Diwana, diwana...!!" yang artinya orang-orang gila, orang-orang gila..!!

Lambang kemegahan kerajaan Persi itu pun akhirnya runtuh di tangan orang-orang Islam. Mereka datang dari negeri Arab atas perintah khalifah agung Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Keruntuhan inilah yang senantiasa menyulut api dendam kepada Islam, bangsa Arab dan seorang Umar. Bagaimana tidak, sedang Mada'in adalah simbol kekuasaan, kekayaan dan agama Majusi. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian percikan-percikan api dendam itu berkobar menjadi pembangkangan-pembangkangan.

Bersambung insya Allah Ta’ala pada kisah-kisah pembangkangan, pengkhianatan dan dendam kesumat majusi terhadap Islam, Arab dan seorang Umar.

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./5 Januari 2014 M.

Catatan:
[1] Syeikh DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum hal.54 cetakan Maktabah Darus Salam-Riyadh 1414 H.
[2] Al Mubidzan adalah rujukan para ulama, yang mengeluarkan perintah dan tidak boleh ada fatwa kecuali bersumber dari dirinya, serta diagungkan sebagaimana para penguasa. Dan setiap panguasa memiliki Al Mubidzan. Abul Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad As Syahrastany, Al Milal wan Nihal, Tahqiq Al Ustadz Abdul Aziz Muhammad Al Wakil, hal.231 Darul Fikr Beirut.
[3] Imam Al Mawardi Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Al Habib Al Bashri Al Baghdadi, A'lamun Nubuwwah halaman 182-183, cetakan 1 th. 1409 H. Maktabah Al Hilal Beirut.

2 komentar: