Permusuhan
kaum Majusi terhadap Islam dan Arab sepertinya tak akan pernah padam semenjak
api mereka padam. Padam pada saat kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, dan benar-benar padam saat penaklukan Mada'in di masa kekhilafahan Al
Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Tapi
DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury dalam Ar Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa
riwayat padamnya api sesembahan kaum Majusi tidak diyakini oleh Syeikh Muhammad
Al Ghazali dalam Fiqhus Sirah.[1] Hanya saja cerita dan kabar tentang itu
didapat dari orang-orang yang pada saat kelahiran Nabi shallallahu alaihi
wasallam ia hidup di negeri Persi. Dari merekalah kabar itu didapat seperti apa
yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi (w 450 H.) dalam A'lamun Nubuwwah, bahwa Abu Ayyub Ya'la bin Imran An Nahli
meriwayatkan dari Makhzum bin Hani' Al Makhzumi dari ayahnya, ia berkata,
"Pada malam dilahirkannya Nabi
shallallahu alaihi wasallam bergetarlah istana Kisra hingga sebanyak empat belas
balkonnya runtuh, api Persi pun padam padahal selama seribu tahun belum pernah
padam, dan air danau Sawah mengering. Hal itu membuat Kisra ketakutan, lalu ia
memakai makhkotanya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia mengumpulkan
menteri-menteri dan para pembantunya lalu menceritakan mimpinya tersebut.
Kemudian berkatalah Al Mubidzan[2],
"Adapun saya sendiri, semoga Allah Ta'ala memperbaiki urusan raja, saya melihat
dalam mimpi saya ada unta-unta berat yang menuntun kuda-kuda mahal mengarungi
sungai Dijlah lalu mereka menyebar di negeri-negeri kita.
Kisra bertanya, "Apa arti semua itu
hai Mubidzan?"
Ia
menjawab, "Sebuah peristiwa besar yang datang dari penjuru Arab."
Maka
Kisra menulis surat perintah kepada An Nu'man bin Al Mundzir, "Kirimkan
kepadaku seseorang yang mengetahui agar aku bisa bertanya padanya apa yang aku
inginkan."
Maka
menghadaplah Abdul Masih bin 'Amr bin Nafilah Al Ghassany. Sesampainya di
hadapan Kisra ia lalu diberitahu tentang peristiwa yang terjadi. Kemudian ia berkata, "Wahai raja,
sesungguhnya ilmu tentang hal itu ada pada paman saya. Ia tinggal di bagian
timur negeri Syam. Namanya Suthaih.
Kisra berkata, "Datangi dia dan
tanyalah dengan apa yang telah aku kabarkan kepadamu lalu bawalah jawaban itu
kepadaku."
Singkat cerita, Abdul Masih pun bertanya
tentang keanehan yang dilihat oleh Kisra dan Al Mubidzan. Selanjutnya ia
berkata, "Hai Abdul Masih, jika telah banyak tilawah (tilawah Alquran),
diutus seseorang dari Tihamah (tempat kelahiran Nabi), ada banjir di lembah
Samawah, mengeringnya danau Sawah, dan padamnya api Persi, maka Syam bukan lagi
negeri Syam bagi Suthaih....." Lalu ia pun meninggal."[3]
Pada kenyataannya, api Persi sesembahan
kaum Majusi tersebut telah menyulut api dendam yang sangat membara di kalangan
kaum Majusi. Dan api dendam tersebut tersulut saat Khalifah Al Faruq Umar bin
Khaththab radhiyallahu anhu mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu anhu dalam perang agung, Ma'rakatul Qadishiyah tahun 14 H.
yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Selanjutnya api itu
makin berkobar dan menyala-nyala dengan dibukanya kota Mada'in di tahun 16 H,
simbol kemegahan Kisra Persi, juga di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dan
di akhir masa pemerintahannya, Khalifah Umar kembali menugaskan salah seorang
sahabat terbaik untuk menyempurnakan jihad ke bumi Persi, beliau adalah An
Nu'man bin Muqarrin radhiyallahu anhu dalam perang Nahawand.
Sebelum berkecamuknya perang Al
Qadishiyah, panglima tentara Persi, Rustum meminta beberapa utusan dari tentara
kaum muslimin. Maka diutuslah beberapa sahabat, di antaranya Rib'i bin Amir
radhiyallahu anhu sebagai pimpinannya. Maka datanglah Rib'i dengan kemuliaannya
sebagai seorang muslim untuk menghadap Rustum. Kedatangan Rib'i dalam keadaan
kepala tegak, lalu menginjakkan kaki-kaki kudanya di atas permadani mewah dan
mengikat tali kudanya pada kursi-kursi mewah mereka, kemudian berdiri di
hadapan Rustum seraya menancapkan ujung tombaknya hingga merobek bantal-bantal
itulah yang membuat para pengawalnya merasa terhina dan murka.
Dalam pertempuran sengit antara kedua
pasukan pun terlihat betapa kuatnya pasukan Persi. Kawanan gajah mereka pun
mampu menyurutkan nyali kuda-kuda pasukan kaum muslimin. Namun akhirnya
keberanian, ketangguhan dan kecerdikan pasukan Islam berhasil mengatasi
gajah-gajah Persi atas izin Allah dengan melempar tombak pada matanya.
Selanjutnya Sa'ad bin Abi Waqqash
radhiyallahu anhu melanjutkan ekspedisi jihadnya menuju kota Mada'in yang
dipisahkan oleh sungai besar Dijlah. Dan sungguh atas izin Allah Azza wa Jalla
maka pasukan kaum muslimin mampu menyeberangi sungai tersebut seakan berjalan
di atas tanah hingga membuat pasukan Persi tak percaya dengan apa yang mereka
lihat seraya berteriak, "Diwana, diwana...!!" yang artinya orang-orang
gila, orang-orang gila..!!
Lambang kemegahan kerajaan Persi itu pun
akhirnya runtuh di tangan orang-orang Islam. Mereka datang dari negeri Arab atas
perintah khalifah agung Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Keruntuhan inilah
yang senantiasa menyulut api dendam kepada Islam, bangsa Arab dan seorang Umar.
Bagaimana tidak, sedang Mada'in adalah simbol kekuasaan, kekayaan dan agama
Majusi. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian percikan-percikan api dendam
itu berkobar menjadi pembangkangan-pembangkangan.
Bersambung insya Allah Ta’ala pada kisah-kisah
pembangkangan, pengkhianatan dan dendam kesumat majusi terhadap Islam, Arab dan
seorang Umar.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./5 Januari 2014 M.
Catatan:
[1] Syeikh DR. Shafiyyurahman Al
Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum hal.54 cetakan Maktabah Darus Salam-Riyadh 1414
H.
[2] Al Mubidzan adalah rujukan para ulama,
yang mengeluarkan perintah dan tidak boleh ada fatwa kecuali bersumber dari
dirinya, serta diagungkan sebagaimana para penguasa. Dan setiap panguasa
memiliki Al Mubidzan. Abul Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad As
Syahrastany, Al Milal wan Nihal, Tahqiq Al Ustadz Abdul Aziz Muhammad Al Wakil,
hal.231 Darul Fikr Beirut.
[3] Imam Al Mawardi Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin Al Habib Al Bashri Al Baghdadi, A'lamun Nubuwwah halaman 182-183,
cetakan 1 th. 1409 H. Maktabah Al Hilal Beirut.
Ana ijin copy ke blog ustadz
BalasHapussilakan akhi..
BalasHapus