Selasa, 07 Januari 2014

Drakula Emas

Disebutkan ada hadits dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim datang kepada Rasulullah SAW membawa perak lalu berkata:

"Ini dari pertambangan kami."

Maka Rasulullah bersabda:

"Akan keluar banyak tambang, dan yang akan mendatanginya adalah orang-orang jahat." [*]

Dari beberapa penjelasan yang ada tentang hadits ini, ada 2 hal yang menarik dan sering dibicarakan, yaitu:

-MA'DIN (barang tambang).

Bahwa penyebutan perak dalam hadits tersebut tidak mengisyaratkan bahwa perak adalah satu-satunya barang tambang yang akan jadi rebutan, dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Akan ada banyak barang tambang yang keluar, ada tambang yang keluar dekat dengan negeri Hijaz, orang-orang jahat akan mendatanginya, tempat itu disebut sebagai Fir'aun, tatkala mereka sedang bekerja tiba-tiba nampaklah emas sehingga mereka terpana, kemudian bumi menelan mereka beserta emas-emas itu" (Musnad Abi Ya'la, no. hadits 8415).

Ada riwayat lain juga yang senada dengan hadits dalam bab ini, seakan sebuah isyarat bahwa ada banyak tambang yang belum diketahui para sahabat beliau.

-ORANG-ORANG JAHAT.

Banyak juga riwayat hadits yang menyebutkan tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang jahat secara umum. Ada yang sesuai dengan konteks orang-orang jahat dalam hadits di atas. Ada juga yang khusus untuk orang-orang jahat yang lain yang tidak terkait dengan orang-orang jahat yang mendatangi pertambangan itu.

Tapi ada beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran:
Barang tambang adalah sumber kekayaan yang sebagian besarnya adalah nyawa bagi sebuah negara yang bersangkutan. Oleh karena itu banyak penjajahan dilakukan karena urusannya adalah menguasai barang tambang. Sampai ada yang berpendapat bahwa agresi amerika ke Irak bukan semata-mata karena tuduhan memiliki persenjataan pemusnah massal (apalagi sudah dibuktikan bahwa itu tidak terbukti), tapi lebih karena Irak adalah bagian negeri Hijaz, tempat dimana akan banyak tambang keluar dari sana. Bahkan ada sebuah hadits yang secara langsung menyebutkan bahwa emas yang tiba-tiba keluar itu dari sebuah gunung yang nampak dari sungai Efrat. (HR. Muslim), jadi demi menguasai emas-emas itulah mereka menjajah.

Kenapa mereka sangat menginginkan emas dan perak sebagaimana kebanyakan hadits dalam hal ini juga berbicara khusus tentang emas dan perak? Karena emas dan perak adalah penjaga kestabilan kekayaan. Dan dalam hal ini ada fakta dan fenomena masyarakat sekarang yang sangat bersemangat dan antusias untuk investasi emas.

Memang tidak ada larangan orang menjaga kestabilan kekayaannya dengan melakukan saving. Menurut saya pribadi itu adalah bagian dari sunnah yang diajarkan oleh Nabi Yusuf alaihis salam, yaitu menyimpan persediaan makanan karena akan ada masa peceklik setelahnya. Namun, baik Nabi Yusuf alaihissalam maupun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak menganjurkan melakukan saving dengan menimbun emas meski kalau pun ada yang menimbunnya dan ia tetap mengeluarkan zakatnya. Tapi anjuran menimbun emas tidak ada. Karena emas adalah uang, dan uang harus beredar. Bila ia beredar merata maka kestabilan masyarakat akan terjaga. Sebagaimana Al Qur'an telah berbicara tentang hal ini, yaitu jangan sampai uang itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Secara tidak langsung, Al Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa semua orang harus bekerja dan memiliki usaha riil. Bila emas ditimbun, maka itu artinya menimbun uang, dan yang bisa melakukannya pasti orang-orang yang kaya raya. Tapi sekali lagi bahwa saving adalah sunnah yang harus dilakukan, meski tidak harus menimbun emas.

Wallahu A'lam ini pendapat pribadi masih terbuka kemungkinan salah.

Fairuz Ahmad.
Bintara, 24 Januari 2013.

[*] Takhrij instan terhadap Status hadits dalam situs Islamweb.net :
  1. Kitab Hadits Abi Al-Fadhl Az-Zuhri : Hasan
  2. Al-Mu'jamul Awsath Liththabrani : ada 3 jalur dan ketiganya Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
  3. Akhbaar Ashbahan Li Abi Nu'aim : Dha'if karena ada satu perawinya yang tertuduh melakukan pemalsuan.
  4. Ma'rifatu Ulumil Hadits Lil Hakim : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
  5. Al-Fitan Li Nu'aim bin Hamad : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya yang Munkarul hadits.
  6. Tarikhu Baghdad Lil Khathib : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
  7. Dala'ilun Nubuwah Lil Baihaqi : ada 2 jalur yang keduanya Hasan, dan 2 jalur lain yang sangat dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
  8. Kitab Hadits Abi Ali As-Sya'rawi : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
  9. Musnad Abi Ya'la Al-Maushili : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
  10. Musnad Ibnu Abi Syaibah : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
  11. Kitab Musnad Imam Ahmad : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
  12. Kitab Al Aahaad wal Matsani Ibnu Abi Ashim : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.

Catatan :
  • Tulisan ini terkait dengan serangan tentara Perancis terhadap Mali, karena berbagai sumber mengatakan bahwa Mali kaya akan sumber barang tambang, jadi salah satu motivasi serangan biadab terhadap Mali yang juga ada umat Islam di sana karena para penyerang tersebut adalah "DRAKULA EMAS".
  • Kalau kita menyukai emas bukan berarti kita tidak boleh memiliki emas simpanan, karena yang dilarang adalah memiliki istri simpanan.
  • Bagi wanita yang ingin memiliki banyak emas harap jangan menimbun. Sebaiknya dipakai saja semuanya, siapa tahu nanti bisa menggantikan peran "mak Nok" dalam serial "Tukang Bubur Naik Haji".

Akhlak Dagang vs Otak Dagang

Kalau kita menelusuri sirah nabawiyyah, akan ada gambaran pendidikan karakter yang kuat saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam menggembala kambing. Lalu saat beliau ikut kafilah dagang dan dilanjutkan dengan aktifitas Beliau ikut menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu anha.

Rasa-rasanya beliau tidak pernah menjadi bos atau owner atas bisnis tertentu. Semua aktivitas beliau bisa dibilang sebagai karyawan alias bekerja untuk orang lain. Namun inilah cara Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pelajaran berharga bagi umatnya lewat perjalanan beliau sebagai pengusaha, meski bukan bos atau owner. Karena dalam haditsnya Beliau mengatakan:

“Tidaklah seseorang berusaha kecuali yang paling baik adalah apa yang dihasilkan dari tangannya sendiri, dan apa saja yang ia belanjakan untuk dirinya, keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya adalah sedekah.” (Ibnu Majah 2138).

Juga dalam hadits yang lain beliau kembali menegaskan:

“Sesungguhnya Nabi Dawud alaihis salam tidak makan kecuali makanan itu Beliau hasilkan dari usaha tangannya sendiri.” (Bukhari 1967)

Dari sinilah ada pelajaran penting tentang pendidikan "survival". Karena secara umum, kebanyakan manusia hidup bukan sebagai bos atau owner, tapi sebagai karyawan dan pegawai. Artinya, menjaga kelangsungan hidup tidak harus sebagai bos atau owner, karena hanya sebagian kecil saja yang mampu melakukan ini. Selebihnya dan ini bagian yang terbesar adalah menjaga kelangsungan hidup meski sebagai karyawan.

Tulisan ini bukan untuk membicarakan situasi mana yang paling baik antara owner dan karyawan. Karena keduanya dalam Islam memiliki timbangan yang hanya Allah saja yang tahu, dengan syarat semuanya dilakukan sesuai dengan prinsip, aturan, dan moral yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai suatu keharusan bagi yang menjalaninya. Sebab yang terpenting adalah bagaimana seseorang itu bisa survive, baik sebagai bos atau karyawan.

Salah satu usaha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah berdagang untuk menjaga kelangsungan hidup beliau. Karena dengan berdagang maka akan menjaga kehormatan diri dan menjauhkan dari kehinaan meminta-minta.  Namun sikap survive yang diteladankan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah sikap yang tidak hanya sekedar berusaha. Tidak sekedar bekerja. Tetapi kemudian beliau menjelaskan tentang prinsip, aturan dan akhlak saat survive. Karena kalau hanya sekedar bekerja dan berusaha, maka kera dan kambing pun melakukan hal yang sama, kira-kira seperti itulah ungkapan Buya Hamka.

Ada banyak contoh dalam hal ini untuk menjelaskan, alangkah maraknya praktek usaha dagang yang jauh dari akhlak yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga apa pun yang menjadi miliknya, atau yang dalam kekuasaanya akan menjadi barang dagangan yang layak dan wajib untuk dijual dengan alasan survival. Misalnya dagang sekolah, dagang “kursi” sekolah, dagang buku dan seragam sekolah dengan harga lebih tinggi, dagang nilai ujian, dagang les privat, dagang ijazah sekalian wisudanya dan lain-lain. Ini baru salah satu contoh kasus di negeri ini, mungkin masih banyak kasus-kasus “perdagangan” yang lain.

Usaha dagang yang diteladankan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dagang dengan aturan dan akhlak yang mulia. Tidak semua hal beliau jual, baik miliknya sendiri atau pun apa yang dalam wewenangnya. Itulah yang dinamakan akhlak dagang. Namun bila ada seseorang yang kemudian dagang “apa saja” maka ketahuilah, itu yang dinamakan otak dagang, seolah tidak perlu lagi tahu layakkah hal itu didagangkan.

Fairuz Ahmad.

Bintara, 14 Dzul Qa’dah 1434 H./20 September 2013 M.

Sabtu, 04 Januari 2014

Sa'ad Bin Abi Waqqash Dan Dendam Kesumat Majusi [1]

Permusuhan kaum Majusi terhadap Islam dan Arab sepertinya tak akan pernah padam semenjak api mereka padam. Padam pada saat kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan benar-benar padam saat penaklukan Mada'in di masa kekhilafahan Al Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

Tapi DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury dalam Ar Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa riwayat padamnya api sesembahan kaum Majusi tidak diyakini oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali dalam Fiqhus Sirah.[1] Hanya saja cerita dan kabar tentang itu didapat dari orang-orang yang pada saat kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam ia hidup di negeri Persi. Dari merekalah kabar itu didapat seperti apa yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi (w 450 H.) dalam A'lamun Nubuwwah, bahwa Abu Ayyub Ya'la bin Imran An Nahli meriwayatkan dari Makhzum bin Hani' Al Makhzumi dari ayahnya, ia berkata,

"Pada malam dilahirkannya Nabi shallallahu alaihi wasallam bergetarlah istana Kisra hingga sebanyak empat belas balkonnya runtuh, api Persi pun padam padahal selama seribu tahun belum pernah padam, dan air danau Sawah mengering. Hal itu membuat Kisra ketakutan, lalu ia memakai makhkotanya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia mengumpulkan menteri-menteri dan para pembantunya lalu menceritakan mimpinya tersebut.
Kemudian berkatalah Al Mubidzan[2], "Adapun saya sendiri, semoga Allah Ta'ala memperbaiki urusan raja, saya melihat dalam mimpi saya ada unta-unta berat yang menuntun kuda-kuda mahal mengarungi sungai Dijlah lalu mereka menyebar di negeri-negeri kita.
Kisra bertanya, "Apa arti semua itu hai Mubidzan?"
Ia menjawab, "Sebuah peristiwa besar yang datang dari penjuru Arab."
Maka Kisra menulis surat perintah kepada An Nu'man bin Al Mundzir, "Kirimkan kepadaku seseorang yang mengetahui agar aku bisa bertanya padanya apa yang aku inginkan."
Maka menghadaplah Abdul Masih bin 'Amr bin Nafilah Al Ghassany. Sesampainya di hadapan Kisra ia lalu diberitahu tentang peristiwa yang terjadi. Kemudian ia berkata, "Wahai raja, sesungguhnya ilmu tentang hal itu ada pada paman saya. Ia tinggal di bagian timur negeri Syam. Namanya Suthaih.
Kisra berkata, "Datangi dia dan tanyalah dengan apa yang telah aku kabarkan kepadamu lalu bawalah jawaban itu kepadaku."

Singkat cerita, Abdul Masih pun bertanya tentang keanehan yang dilihat oleh Kisra dan Al Mubidzan. Selanjutnya ia berkata, "Hai Abdul Masih, jika telah banyak tilawah (tilawah Alquran), diutus seseorang dari Tihamah (tempat kelahiran Nabi), ada banjir di lembah Samawah, mengeringnya danau Sawah, dan padamnya api Persi, maka Syam bukan lagi negeri Syam bagi Suthaih....." Lalu ia pun meninggal."[3]

Pada kenyataannya, api Persi sesembahan kaum Majusi tersebut telah menyulut api dendam yang sangat membara di kalangan kaum Majusi. Dan api dendam tersebut tersulut saat Khalifah Al Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu dalam perang agung, Ma'rakatul Qadishiyah tahun 14 H. yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Selanjutnya api itu makin berkobar dan menyala-nyala dengan dibukanya kota Mada'in di tahun 16 H, simbol kemegahan Kisra Persi, juga di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dan di akhir masa pemerintahannya, Khalifah Umar kembali menugaskan salah seorang sahabat terbaik untuk menyempurnakan jihad ke bumi Persi, beliau adalah An Nu'man bin Muqarrin radhiyallahu anhu dalam perang Nahawand.

Sebelum berkecamuknya perang Al Qadishiyah, panglima tentara Persi, Rustum meminta beberapa utusan dari tentara kaum muslimin. Maka diutuslah beberapa sahabat, di antaranya Rib'i bin Amir radhiyallahu anhu sebagai pimpinannya. Maka datanglah Rib'i dengan kemuliaannya sebagai seorang muslim untuk menghadap Rustum. Kedatangan Rib'i dalam keadaan kepala tegak, lalu menginjakkan kaki-kaki kudanya di atas permadani mewah dan mengikat tali kudanya pada kursi-kursi mewah mereka, kemudian berdiri di hadapan Rustum seraya menancapkan ujung tombaknya hingga merobek bantal-bantal itulah yang membuat para pengawalnya merasa terhina dan murka.

Dalam pertempuran sengit antara kedua pasukan pun terlihat betapa kuatnya pasukan Persi. Kawanan gajah mereka pun mampu menyurutkan nyali kuda-kuda pasukan kaum muslimin. Namun akhirnya keberanian, ketangguhan dan kecerdikan pasukan Islam berhasil mengatasi gajah-gajah Persi atas izin Allah dengan melempar tombak pada matanya.

Selanjutnya Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu melanjutkan ekspedisi jihadnya menuju kota Mada'in yang dipisahkan oleh sungai besar Dijlah. Dan sungguh atas izin Allah Azza wa Jalla maka pasukan kaum muslimin mampu menyeberangi sungai tersebut seakan berjalan di atas tanah hingga membuat pasukan Persi tak percaya dengan apa yang mereka lihat seraya berteriak, "Diwana, diwana...!!" yang artinya orang-orang gila, orang-orang gila..!!

Lambang kemegahan kerajaan Persi itu pun akhirnya runtuh di tangan orang-orang Islam. Mereka datang dari negeri Arab atas perintah khalifah agung Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Keruntuhan inilah yang senantiasa menyulut api dendam kepada Islam, bangsa Arab dan seorang Umar. Bagaimana tidak, sedang Mada'in adalah simbol kekuasaan, kekayaan dan agama Majusi. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian percikan-percikan api dendam itu berkobar menjadi pembangkangan-pembangkangan.

Bersambung insya Allah Ta’ala pada kisah-kisah pembangkangan, pengkhianatan dan dendam kesumat majusi terhadap Islam, Arab dan seorang Umar.

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./5 Januari 2014 M.

Catatan:
[1] Syeikh DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum hal.54 cetakan Maktabah Darus Salam-Riyadh 1414 H.
[2] Al Mubidzan adalah rujukan para ulama, yang mengeluarkan perintah dan tidak boleh ada fatwa kecuali bersumber dari dirinya, serta diagungkan sebagaimana para penguasa. Dan setiap panguasa memiliki Al Mubidzan. Abul Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad As Syahrastany, Al Milal wan Nihal, Tahqiq Al Ustadz Abdul Aziz Muhammad Al Wakil, hal.231 Darul Fikr Beirut.
[3] Imam Al Mawardi Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Al Habib Al Bashri Al Baghdadi, A'lamun Nubuwwah halaman 182-183, cetakan 1 th. 1409 H. Maktabah Al Hilal Beirut.

Nasehat Mengatasi Perang Dunia Ketiga Dalam Rumah Tangga [2]

Saya akhirnya menyimpulkan sekaligus menambahkan dalam tulisan ini bahwa kesalahan keyakinan ini sebenarnya bisa dicari dasarnya dari sebuah ayat Alquran dan juga hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ayat yang bisa dijadikan sandaran bahwa ujian itu pasti datang meski sudah dilakukan antisipasi sebelumnya adalah ayat 63 di surat Al Furqaan saat Allah berfirman yang artinya,

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang senantiasa berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”

Saat Allah berkata “khaathaba” yang artinya menyapa, mengatai dan lain-lain, maka Ia menggunakan kata kerja bentuk lampau. Dan sebagaimana dalam bahasa Arab bahwa salah satu fungsi kata kerja bentuk lampau adalah menjelaskan tentang benar terjadinya pekerjaan. Artinya, orang-orang jahil itu sudah dipastikan ada dan pekerjaan mereka yang mengata-ngatai itu pun pasti ada. Padahal Allah telah menjelaskan sebelumnya bahwa hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu hendaknya berjalan di atas bumi dengan rendah hati, namun demikian ujian orang-orang jahil tetaplah ada.
Demikian juga saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Jika Allah mencintai suatu kaum maka ia (pasti) mengujinya.”

Saat beliau berkata “Ia (Allah) mengujinya” maka beliau menggunakan kata kerja bentuk lampau. Artinya, Allah pasti memberikan ujian padanya, meski ia telah memperiapkan diri dengan ilmu, aktif di kajian-kajian agama, selalu berusaha menjadi hamba yang shaleh dan lain sebagainya. Saat ia semakin dicintai oleh Allah maka ia harus tahu bahwa cintanya kepada Allah juga harus diuji dan dibuktikan. Apakah mereka lulus dari ujian pertengkaran dalam rumah tangga sehingga masih tetap mempertahankannya hingga selamat sampai surga.

Kita kembali pada nasehat kawan saya, sebab kalau banyak penambahan dari saya nanti isi nasehat yang tadinya manis akan berubah asam, karena bagaimana pun juga yang namanya tambahan itu dapat menyebabkan perubahan. Kalau dalam ilmu hadits ada masalah ziyaadatunnash atau ziyaadaturraawi, yaitu matan tambahan, dan matan tambahan ini seringkali menjadi persoalan rumit bagi para ahli hadits.
Baliau mengatakan bahwa ujian paling berat adalah perbedaan. Beliau menjelaskan ada dua perbedaan mendasar sesuai dengan kasus-kasus yang pernah beliau tangani yaitu;

Latar belakang didikan orang tua.
Pada pembahasan ini beliau agak serius sebab rata-rata kasus yang sampai padanya adalah pertengkaran yang disebabkan oleh karakter yang sifatnya “accident” (kalau bahasa Arabnya, thabii’ah muktasabah, kebalikan dari thabii’ah wiraatsiyyah). Karakter ini diperoleh dari latar belakang dan lingkungan rumah tangga orang tuanya. Ternyata banyak kasus penelitian beliau bahwa yang melatarbelakangi seseorang menjadi berkarakter tertentu banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga orang tuanya. Bila broken home maka biasanya rumah tangga anaknya akan menyerempet dan bahkan meniru seperti rumah tangga orang tuanya. Maka dari itu karakter baik dan buruk semua kembali kepada orang tua. Sampai disini saya akan tambahkan dulu,

Sepertinya masalah pembentukan karakter ini perlu diseriusi oleh siapa pun yang akan menjadi suami atau istri. Sebab mereka akan menjadi orang tua. Bila ia mewariskan karakter baik pada anak-anaknya maka anak-anaknya akan membahagiakan pasangan masing-masing. Begitu pula sebaliknya. Maka hati-hatilah wahai orang tua, suatu saat kita telah mati namun tak sadar dosa-dosa masih terus mengalir. Apa sebabnya? Sebabnya kita telah membuat lingkungan buruk yang lantas diadopsi oleh anak-anak kita, selanjutnya ia memiliki rumah tangga yang menyeramkan dunia karena tiap saatnya berisi pertengkaran. Bukankah pertengkaran itu membuat luka hati? Dan luka hati itu berpotensi menumpuk dosa? Maka dari manakah dosa itu disebabkan kecuali dari didikan orang tua yang salah kepada anak-anaknya. Bila ditakdirkan anak-anaknya terus memiliki keturunan sampai hari kiamat dengan karakter yang sama, maka janganlah kita mencela kecuali diri kita sendiri. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan kita,

“Dan barang siapa yang mencontohkan keburukan maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya.”

Latar belakang ilmu agama.
Sebenarnya latar belakang didikan orang tua yang salah masih bisa diantisipasi oleh asupan ilmu agama. Namun problemnya adalah kemauan untuk belajar.

Dua latar belakang inilah yang menentukan siapa sejatinya suami dan siapa sejatinya istri. Bagaimana ia memandang dan memanajemen hidup rumah tangga tergantung pada dua latar belakang ini. Bagaimana ia memandang kebahagiaan, pertengkaran, kesantunan terhadap pasangan, penghargaan terhadap pasangan, kewajiban berbuat baik dan meneladankan kebaikan kepada anak-anak, sampai pada urusan memandang hal-hal yang kadang terlihat sepele seperti pekerjaan-pekerjaan rumah. Bila latar belakang didikan orang tuanya baik dan latar belakang ilmu agamanya juga baik maka rumah tangganya akan baik pula.

Beliau lantas mencontohkan sebuah kasus yang sebenarnya lumrah terjadi, ada pasangan yang memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Bisa dikatakan hampir 180 derajat--tanpa celcius, karena bukan sedang membicarakan temperatur udara. Yang satu memandang bahwa kebahagiaan adalah bila pasangannya mampu membahagiakannya. Sedang pasangannya tidak demikian, yang namanya kebahagiaan tidak bisa didatangkan dari luar, sebab merasa bahagia itu apabila dirinya sendiri bahagia apa pun kondisinya, baik kondisi pasangannya, anak-anaknya, orang tua sampai tetangga-tetangganya. Karena betapa pun baiknya orang-orang di sekitarnya tapi bila dirinya menganggap kebaikannya itu masih kurang ya tetap saja ia tak akan meraih bahagia. Oleh karena itu, di antara keluhan orang tersebut kata beliau adalah, selalu mengatakan bahwa pasangannya tak pernah bisa membahagiakannya. Kata beliau, ya mana mungkin kamu bisa bahagia lha wong mendefinisikan kebahagiaan saja sesuai dengan maunya sendiri.

Disnilah kata beliau sabar ukuran XXL itu sangat dituntut. Dan kebanyakan yang dituntut bersabar ukuran jumbo ini adalah laki-laki. Beliau mengambil kesimpulan itu dari wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum lelaki,

“Dan berwasiatlah kepada wanita-wanita dengan kebaikan.”

Itu adalah perintah kepada kaum lelaki. Saya jadi teringat seorang dosen dari Mesir bernama Dr. Rabii’, saat menjelaskan tentang pelajaran nahwu ada sedikit menyinggung tentang wanita, tiba-tiba ia langsung komentar,

“Az zaujatu katriiran maa tansaa fadhla zaujihi, khaashshatan idzaa dhahara minhu maa takrahuhu wa in kaana qaliilan”

Saya akan artikan namun sebelumnya saya mohon maaf kepada yang merasa tersungging, ini dari dosen saya bukan dari saya,

“Seorang istri itu sering lupa kebaikan suaminya, khususnya jika telah tampak sesuatu darinya apa yang istrinya tidak suka padanya, meski sesuatu itu sedikit.”

Akhirnya beliau (beliau disini adalah kawan saya dan bukan dosen saya) menambahkan, bisa dibayangkan bila ada pasangan yang memiliki perbedaan pada semua hal, satu suka warna hitam satunya putih, satu suka jalan-jalan satunya tidak suka, satunya suka asin satu lagi suka manis, satu suka satu lagi tidak suka. Walhasil bakal ramai dunia. Dari perang baratayudha sampai perang malvinas juga bakalan kalah ramai. Dan kuncinya hanya satu, apalagi kalau bukan sabar.

---masih bersambung lagi, karena baru sampai Jawa Tengah, moga dapat dilanjutkan sampai Merauke,,,

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.

Nasehat Mengatasi Perang Dunia Ketiga Dalam Rumah Tangga [1]

Suatu hari selepas shalat asar saya bertemu dengan seorang kawan. Kawan lama jadinya sudah sangat akrab. Ada banyak perbincangan yang menarik. Namun yang paling menarik adalah beberapa nasehatnya tentang keluarga dan rumah tangga. Sepertinya beliau sekarang aktif di dunia konsultasi. Namun beliau enggan berterus terang.

Menurut beliau, banyak sekarang problem rumah tangga yang makin hari makin runyam. Dari masalah cinta rumah tangga yang menapak tua hingga merasa sudah seperti tak ada lagi rasa. Kemudian masalah komunikasi suami istri yang berantakan. Masalah perbedaan mendefinisi kebahagiaan. Masalah finansial yang sering memicu “nyanyian”. Masalah perbedaan latar belakang didikan keluarga. Sampai masalah perbedaan visi hidup setelah mati. Meskipun beliau membahasnya tidak serius tapi ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil untuk ditulis.

Beberapa potongan nasehat beliau yang sempat terekam secara acak adalah:

Seorang suami walaupun punya duit banyak dan kehidupan rumah tangganya tercukupi agar jangan setiap hari berada di rumah. Selalu nampak setiap saat di depan istrinya. Sebab wanita itu memiliki rasa bosan dan jenuh yang melebihi laki-laki. Kalau tidak percaya lihat saja kebiasaannya menggonta-ganti letak perabotan rumah. Oleh karena itu suami akan dilihat juga di mata istrinya seperti perabotan yang akan nampak membosankan bila setiap saat berada di rumah. Maka saran beliau, keluar dan tinggalkanlah rumah meski tidak ada urusan apa pun. Sebab rasa bosan bila tidak terobati maka dapat berujung pada perang dunia ketiga.

Saya jadi ingat dengan syair Abu Tammam saat berkata,

وطول مقام المرء في الحي مخلق # لذيباجتيه فاغترب تتجدد
فإني رأيت الشمس زيدت محبة # علي الناس أن ليست عليهم بسرمد

"Dan diamnya seseorang di kampungnya itu sangatlah membosankan dengan selalu memakai dua kainnya. Maka dari itu pergilah niscaya kamu akan menjadi baru"

"Sungguh aku melihat matahari yang bertambah dicinta oleh manusia, saat ia tidak selalu nampak pada mereka"

Dan memang manusia itu dicipta oleh Allah dengan memiliki sifat keluh kesah. Maka apabila kondisi suami yang punya uang saja seperti itu, apalagi bila ia suami yang bukan beruang.

Nasehat  berikutnya adalah, seorang suami itu dituntut sabar ukuran XXL. Kodrat laki-laki yang berlogika lebih banyak akan selalu terbentur dengan kodrat wanita yang lebih banyak bermain rasa. Misalnya, rasanya tidak enak deh kalau meja dan lemari setiap hari selalu berada pada tempatnya, maka jadilah rutinitas bahwa perabotan-perabotan yang tak berdosa itu selalu berganti posisi. Kadang jadi striker, kadang pula harus menjadi kiper. Pekan depan menjadi winger. Lalu pekan depannya lagi menjadi stopper. Padahal dalam benak suaminya, bila sebuah meja seumur hidupnya menjadi kiper pun ia akan menerimanya ikhlas sepenuh hati. Meja tak akan protes sebagaimana seorang Carlos Tevez yang protes kepada Mancini. Namun itulah rumah tangga, yang di dalamnya ada dua makhluk Allah yang satu sama lain telah dicipta berbeda. Jadi nasehat beliau kepada suami, hendaknya ia turuti saja siklus pergeseran perabot-perabot rumah tangga. Meski kasihan juga nasib perabotan-perabotan itu, selalu digeser-geser tanpa tahu kenapa. Mudah-mudahan ia dapat menghibur dirinya dengan bernyanyi,

“tanpa kutahu dosaku”
“tanpa kutahu salahku”

Misalnya lagi, rasanya tidak enak deh kalau tampilan baju, sandal, sepatu, tas, jilbab dan lain sebagainya itu sama pada setiap saatnya. Kalau rasa yang ini sih betul juga, namun bila setiap saatnya harus selalu tampil beda maka pandangan seperti itu yang kadang tidak masuk pada logika seorang lelaki. Sebab sekali lagi suami biasanya berpikirnya adalah fungsi. Bila sudah tercapai tujuannya maka fungsi dianggap sempurnya. Makanya berbeda dengan wanita yang kebanyakan berpikir estetika. Mencapai tujuan harus juga dengan memoles fungsi. Yah, begitulah rumah tangga. Bila suami tak berusaha bersabar tingkat ulul azmi maka siap-siap saja rumah tangganya bernasib seperti perusahaan yang akhirnya gulung tikar.

Tentang sabar ini beliau memberikan nasehat yang agak aneh. Sebenarnya bukan aneh, namun kelihatannya tidak nyambung. Beliau memberi nasehat bila seorang istri sedang berada pada puncak ketidakmoodannya alias sedang tidak menampil diri sebagai permaisuri atau seorang bidadari, maka cukuplah seorang suami beristighfar sebanyak-banyaknya. Ternyata beliau melihat kekuatan instighfar dari surat Nuh ayat 10-12 saat Allah berfirman yang artinya,

“maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,
niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”

Beliau berkesimpulan bahwa ayat ini adalah ayat tentang turunnya rahmat Allah kepada orang yang telah meminta ampun kepada-Nya. Dan boleh jadi rahmat Allah yang lain berupa suasana toto tentrem lohjinawi dalam rumah tangga juga akan diturunkan oleh Allah bila ada yang beristighfar di antara suami atau istrinya saat kondisi ribet dan ruwet. Yang pasti beliau memberikan testimoni, bahwa beliau telah berkali-kali berhasil menyelamatkan bahtera rumah tangganya dari gangguan-gangguan. Baik gangguan sinyal maupun gangguan sandal.

Beliau menjelaskan bahwa hampir tidak ada rumah tangga yang bebas dari pertengkaran, perselisihan, perdongkolan dan percemberutan. Hampir mustahil kata beliau. Toh rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun pernah mengalaminya. Apalagi kita. Maka di antara kesalahan suami atau istri adalah saat mereka telah menanamkan keyakinan bahwa dengan latar belakang keilmuan mereka karena sama-saa sarjana, atau sama-sama telah aktif mengikuti kajian-kajian agama, atau sama-sama dari keluarga terdidik, atau sama-sama keturunan darah biru atau darah merah atau darah putih atau darah orange, atau sama-sama telah berpenampilan islami, maka tidak bakal ada sesuatu yang namanya ujian rumah tangga. Tidak akan ada lagi ujian percekcokan. Tidak akan ada lagi persoalan berjudul pertengkaran.
Atau ada juga kesalahan mereka saat telah berhasil mengatasi pertengkaran, lalu serta-merta berkeyakinan bahwa pertengkaran yang semisalnya tidak akan ada lagi. Sebab mereka sudah mampu mengatasi. Keyakinan ini kata beliau adalah hidden virus yang mematikan. Ya, mematikan sebab kata beliau bila ada suami atau istri yang berkeyakinan tidak akan ada pertengkaran maka ia sedang menempatkan dirinya pada posisi yang lengah. Akhirnya setan dengan tangan kosongnya akan mampu menaklukkannya dengan sekali sentil. Sebab sekuat apa pun seseorang bila ia dalam posisi lengah maka sangat mudah menjatuhkannya.

---capek nulis sambil mengingat-ingat, jadi berhenti dulu sampai disini, mau muroja’ah dulu,,,

Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi’ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.

Kisah Segar Di Hari Jum’at: Manajemen Komando

Sudah sekitar lima kali ini seorang khathib kebagian tugas menjadi khathib jum’at di sebuah masjid di tanah Jakarta Timur. Pada kali pertama menunaikan tugasnya terbilang sukses. Tak ada peristiwa apa pun baik yang menyegarkan maupun yang menyedihkan. Namun mulai kedua sampai yang kelima, empat kali berturut-turut terjadilah empat kali kisah yang menyegarkan. Berikut kronologinya:

Jum’at kedua. Sang khtahib dihubungi agar menjadi khathib, itu sudah pasti sebab mana mungkin ia dihubungi agar menjadi presenter. Sesampainya di tempat kejadian perkara, ternyata ada khathib “aki-aki” sudah datang duluan. Saat ditanya oleh pengurus harian masjid, katanya sudah ada yang memberi komando agar datang sebagai khathib. Akhirnya khathib yang datang kedua pun duduk manis sembari merubah niat dari nawaitu khathiiban menjadi nawaitu makhthuuban.

Jum’at ketiga. Karena pengurus harian masjid merasa tidak enak dengan sang khathib yang telah dihubungi maka ia meminta dengan hormat agar jum’at depannya ia bersedia kembali menjadi khathib. Sang khathib pun menyanggupinya, dari pada nanti dikira jual mahal dan disangka ngambek. Pada hari jum’at yang telah ditentukan maka sang khathib pun datang. Namun gantian sekarang pengurusnya yang kaget. Ternyata mereka lupa dengan permohonan mereka pada sang khathib di jum’at sebelumnya hingga mereka sudah menghubungi khathib lain. Selanjutnya khathib yang dihubungi itu pun datang. Tapi karena merasa tidak enak apalagi dengan kejadian jum’at sebelumnya, akhirnya mereka memohon maaf pada khathib yang telah dihubungi untuk merelakan kesempatannya diganti dulu oleh sang khathib yang sebelumnya sudah dimohon menjadi khathib.

Berikutnya adalah jum’at keempat. Seperti biasanya sang khathib diminta untuk menjadi khathib. Ia pun akhirnya datang. Namun apa daya ternyata jama’ah masjid sama sekali tidak ada. Sebab hari itu tepat hari demo para buruh. Jadi mereka pergi jum’atan sambil demo atau pergi demo sambil jum’atan. Wallahu A’lam hanya Allah yang tahu mana yang betul. Yang pasti sang khathib tidak jadi mendemokan khutbahnya.

Selanjutnya jum’at kelima. Apa yang terjadi? Sang khathib yang telah dihubungi lagi-lagi merasa tidak enak, terlebih pengurus harian masjid. Sebab ada lagi “aki-aki” tiba-tiba datang mendahuluinya atas komando seseorang. Karena masih teringat kejadian perkara pada jum’at kedua, maka mereka memohon maaf kepada sang khathib “aki-aki” agar merelakan kesempatannya sekarang kepada khathib yang sudah dihubungi oleh pengurus harian, tak lupa memohon agar ia datang lagi jum’at depan untuk mendemokan khutbahnya. Semoga mereka tidak lupa dengan permohonannya.

Jum’at keenam. Wallahu A’lam. Yang jelas persoalan mendasar masjid tersebut terkait dengan jadwal khathib yang berantakan adalah adanya pengurus lama yang masih punya otoritas komando jarak jauh. Khathib-khathib di masa kejayaannya pun masih dalam komandonya hingga perintah sekedar “ya, bapak bisa datang besok” pun jadilah sebagai pedoman. Walhasil, mereka datang atas komando mantan panglima sedang ia tak tahu bahwa komandan lapangan juga punya komando.

Ternyata masjid tersebut awalnya dimiliki oleh sebuah perusahaan. Setelah perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain otomatis pengurus masjidnya pun berganti sesuai dengan bergantinya penghuni baru. Nah panglima lama yang disegani inilah problemnya, karena kedekatannya dengan para khathib di masanya maka beberapa khathib kadang ada yang datang atau menghubungi beliau secara khusus agar bisa menjadi khathib, dan karena merasa tidak enak sebab sudah kenal lama akhirnya ia mainkan komando saktinya.

Yang pasti, ada sebagian orang yang menjadikan masjid sebagai “makaan lil-irtizaaq”. Maka kita maklumi saja.

Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.

Kamis, 02 Januari 2014

Sunnah-sunnah Yang Hampir Sulit Diamalkan

Siapa di antara kita yang pernah mengamalkan sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkaitan dengan bolehnya menolak tamu yang datang? Saya pastikan hampir tidak ada yang pernah. Sebab mengamalkan hadits tentang bolehnya menolak tamu ibarat mengusir tamu, padahal memang boleh. Namun nyatanya kita masih menganggap bahwa menolak tamu adalah satu bentuk kesombongan. Saya pernah sekali mencobanya dan hasilnya sama persis dengan perkiraan dalam hati, pasti setelahnya ia akan acuh dan malas bertemu lagi, jangankan mampir.

Padahal sejatinya saat Nabi membolehkan menolak tamu adalah dalam rangka menghargai sang tamu, sebaliknya sang tamu juga menghargai sang tuan rumah. Tamu yang datang harus dimuliakan, namun di saat tuan rumah repot maka dikuatirkan bila tetap menerima tamu akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya diketahui oleh tamu. Tentunya tidak afdhal bila akhirnya bertamu kemudian pulang dengan membawa oleh-oleh aib tuan rumah dalam hal kurang maksimalnya menerima tamu. Maka disinilah sang tamu harus mengerti bahwa ia pun sebenarnya diselamatkan oleh sunnah Nabinya agar pulang dalam keadaan bersih tanpa membawa aib tuan rumah. Sebab mulut kita diciptakan tanpa kunci, maka dari itu ia seringkali lepas kontrol alias dol.

Sunnah bolehnya menolak tamu adalah hadits muttafaq alaih dari jalan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Meminta izin itu tiga kali, bila diizinkan maka boleh bagimu dan bila tidak maka kembalilah.”

Dan tahukah kita bahwa meminta izin itu disyari’atkan oleh Nabi dalam rangka menjaga mata kita dari melihat aib tuan rumah. Begitulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan pada kita dalam hadits muttafaq alaih dari jalan Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu yang artinya,

“Sesungguhnya meminta izin itu dibuat demi menjaga pandangan.”

Beruntung zaman kita sekarang ada teknologi telepon dan mengirim sms, hingga akhirnya tuan rumah bisa memberi alasan sibuk saat akan kedatangan tamu. Bayangkan bila teknologi tersebut tidak ada, pasti seringnya kita adalah berpura-pura ikhlas menerima tamu, padahal boleh kita menolaknya. Itu pun bila kita berani. Dan keberanian itu karena kita, sebagai tuan rumah atau sebagai tamu telah mengerti bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita. Bila kita tidak tahu tentang sunnah mulia tersebut pastilah kita anggap sunnah mulia itu sebagai ajaran aneh bin nyeleneh, hingga akhirnya kita beranggapan bahwa kita lebih sopan dari beliau. Sebab menolak tamu menurut kita saat kita tidak tahu adalah suatu bentuk ketidaksopanan.

Dan siapakah di antara kita yang berani sekaligus ikhlas sepenuh hati mencelup lalat yang jatuh pada minuman kita sedang kita berada di hadapan orang-orang yang kita anggap orang? Tentu jarang yang berani. Meskipun ada yang berani pasti pertama-tama ia merasa harus bermuka tebal setebal-tebalnya. Padahal itu adalah sunnah Nabi kita. Beliau pun telah menjelaskan tentang wahyu dan kebenaran hikmah di balik pencelupan dan penenggelaman sementara sang lalat yang ia sendiri pasti tak sengaja nyemplung ke dalam minuman kita.

Sekali lagi, ketidaktahuan kita tentang sunnah mulia ini akan membuat diri kita menganggap bahwa pebuatan aneh tersebut adalah perkara yang menjijikkan dan ketidaksopanan yang sejatinya bila kita menganggapnya seperti itu, maka kita telah menahbiskan diri kita lebih sopan dan lebih bersih dari Nabi, panutan kita.

Dan tahukah kita bahwa dampak negatif paling nyata yang ditimbulkan dari ketidaktahuan akan perkara agama adalah seringnya kita membuat definisi sendiri tentang kebenaran dan kesalahan, juga kebaikan dan keburukan. Yang benar adalah menurut kita dan yang salah adalah juga menurut kita, yang baik adalah menurut kita dan yang buruk adalah juga menurut kita.

Bila setiap saat kita membuat definisi sendiri tentang kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, kesantunan dan ketidaksantunan sesuai dengan anggapan kita dan bukan sesuai dengan agama kita, maka sejatinya kita telah mengacak-acak ajaran Nabi kita. Dan itu adalah bukti bahwa kita adalah orang-orang pendusta. Ya, berdusta telah mencintai Nabinya padahal kita tak mau mengikuti sunnah-sunnahnya.

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Fairuz Ahmad.
Bintara, 1 Rabi’ul Awwal 1435 H./2 Januari 2014 M.

Rabu, 01 Januari 2014

Lelaki Berjubah Lengkap Dengan Sorbannya

Hari itu sang maestro fikih sedang menyampaikan ilmu-ilmunya di hadapan para jama'ah yang sebagiannya juga merupakan cikal bakal maestro-maestro fikih. Beliau adalah Abu Hanifah, imam ahlirro'yi. Sesuai dengan julukannya yang disandangkan oleh para imam fikih lain karena ketajaman analisanya, kedalaman pandangannya, sekaligus kekokohan dan kekuatan ilmunya, maka tidak mengherankan bila ia adalah pusat rujukan, dari kalangan bawah sampai pejabat dan penguasa negeri. Dan siang itu beliau sangat menikmati ceramahnya, sampai-sampai meminta para jama'ah mengijinkannya untuk menyelonjorkan kedua kakinya, bukan karena tidak santun dengan jama'ahnya, tapi lebih disebabkan uzur sakit pada lututnya.
Namun tiba-tiba datanglah seseorang yang mengenakan jubah lengkap dengan sorbannya. Lalu duduk bersama jama'ah turut mendengarkan sang imam. Demi melihat tamu yang datang, disertai aneka atribut keulamaan yang dikenakannya, serta merta sang imam menarik kedua kakinya sebagai rasa hormat padanya. Ya, sang imam mendapati tamu mulia, maka ia memuliakannya. Terlebih sang tamu adalah seorang ulama juga, begitu kira-kira dalam pikiran sang imam.
Selesai ceramah tibalah saat-saat bertanya. Dan sang ulama pun mengangkat tangan, tanda mau bertanya. Melihat itu, sang imam pun bergegas menyiapkan diri untuknya, untuk menjawab pertanyaan sang ulama.
“Wahai Abu Hanifah, kapankah seseorang sudah boleh berbuka puasa?”
“Saat matahari telah terbenam.” Abu Hanifah menjawabnya dengan singkat.
Lalu sang ulama bertanya lagi,
“Bagaimana kalau hari itu matahari belum terbenam?"
Demi mendengar pertanyaan "sang ulama", sang imam pun segera menyelonjorkan kedua kakinya kembali seraya berkata,
"Telah tiba saatnya bagi Abu Hanifah untuk menyelonjorkan kakinya kembali".
Bila kita cermati, betapa sosok-sosok "sang ulama" di atas sungguh sering kita jumpai, bahkan ada pada semua kalangan masyarakat kita. Sosok yang lebih dikenal dalam peribahasa kita sebagai "tong kosong nyaring bunyinya", yang juga diungkapkan dalam peribahasa arab "faaqidus syai'i laa yu'thi", yang tidak memiliki apapun, tak akan memberi apapun.
Sebuah ironi memang, tapi itulah kenyataannya.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.

Saat Mata Tersambung Dengan Hati

Setiap orang memiliki mata untuk melihat, namun sayangnya tidak semua mata bisa untuk melihat. Bukan karena ia buta. Bukan pula tertutup karena sedang tidur. Atau sengaja sedang memakai penutup mata. Akan tetapi ada di antara mata-mata itu yang secara fisik masih berfungsi normal. Tak ada gangguan sedikit pun, namun telah hilang kemampuan dirinya untuk melihat.
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada."[1]
Mata adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat penting. Ia memiliki fungsi untuk melihat, membaca, menerawang, menoropong, meneliti dan mungkin masih banyak lagi. Karena ia adalah alat pengumpul informasi, maka ia ibarat jendela dan pintu masuk bagi rumah ilmu dan penelitian. Tidak mungkin orang bisa mendapatkan ilmu tanpa membaca, dan juga tidak mungkin orang dapat melakukan penelitian tanpa dibantu oleh mata. Walhasil, mata adalah nikmat dari Allah untuk menjadikan kita banyak bersyukur, seharusnya.
Lihatlah apa jawaban Nabi kita Ibrahim alaihissalam saat ia ditanya oleh Allah, kenapa masih ingin melihat-Nya?
"Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."[2]
Kadang kala kita harus melihat untuk menambah mantap ilmu dan pengetahuan kita. Karena dengan melihat, mata akan mengumpulkan informasi tambahan sebagai penguat tentang kebenaran atau ketidakbenaran.
Namun jangan lupa, bahwa Nabi Ibrahim tidak ingin melihat dengan mata beliau semata lalu urusan selesai. Akan tetapi hasil penglihatan mata itu kemudian beliau sambungkan dengan keimanan, dan iman adalah wilayah hati. Sebelumnya, beliau sudah beriman. Sudah menata hati untuk senantiasa dicondongkan kepada keimanan. Karena hati adalah pusatnya, maka mata pun akan tunduk kepada hati. Saat mata melihat dan mengumpulkan informasi penting, ia sudah langsung otomatis tersambung dengan hati. Maka tidak ada penglihatan yang sia-sia. Semua akan menjadi ilmu. Dan ketersambungan inilah yang dinamakan "bashirah", gabungan antara penglihatan mata dan penglihatan hati. Oleh karena itu, Allah menyebut "Ulil Abshaar" bagi siapa saja yang memiliki kemampuan mengambil "ibrah" dari setiap pengalaman hidupnya. Dan kemampuan itu mensyaratkan adanya keimanan kepada Allah selaku Pemilik hati dan mata yang sebenarnya.
Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud mengambil ibrah adalah melihat hakikat sesuatu dan arah maksud dan tujuannya agar mengetahui sesuatu yang lain pada sesuatu yang dilihatnya itu. Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu berkata, Ulil Abshaar adalah orang yang memiliki akal dan bashirah.[3]
Saat Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada kita, bahwa ada sepotong daging di tubuh kita yang menjadi pusat kendali atas potongan-potongan daging lainnya, maka beliau menyebutkan itulah hati.[4]
Namun yang menjadi masalah besar bagi kita adalah, bagaimana kita dapat menjadikan sepotong daging itu memiliki fungsi yang baik dan benar?
Bukankah beliau juga menganjurkan kepada kita agar selalu bertanya kepada hati? bila kita dihadapkan kepada situasi yang menuntut kita untuk memilih satu di antara dua perkara, maka beliau menyuruh kita untuk meminta fatwa hati kita saat beliau mengatakan:
"Mintalah fatwa kepada hatimu"[5]
Lalu hati yang bagaimanakah yang mampu memberikan fatwa yang benar itu?
Itulah yang telah disinggung oleh Nabi Ibrahim pada ayat di atas. Bahwa harus ada iman di dalam hati agar hati menjadi benar, dan keimanan harus senantiasa diupayakan agar ia terus bertambah, salah satunya dengan melihat, dan itu pekerjaan mata.
Banyak orang bisa melihat banjir, namun banyak juga yang kemudian tidak bisa melihat kenapa bisa banjir?
Bukankah kita harus bisa melihat diri, kebiasaan dan mungkin budaya kita, bahwa kita seenaknya membuang sampah?
Sampah termasuk sesuatu yang harus disingkirkan karena ia mengganggu mata dan lingkungan, bahkan tak jarang ia bisa menyebabkan pertengkaran. Karenanya, Islam menyebutkan bahwa menyingkirkan gangguan baik di jalanan maupun di lingkungan adalah bagian dari cabang keimanan.[6]
Banyak orang bisa melihat akibat kemarau, namun banyak juga yang tidak bisa melihat kenapa kemarau bisa ada dan bahkan sangat panjang?
Barangkali sudah sangat banyak orang yang tidak bisa lagi melihat, perilaku apa yang harus dilakukan sehingga keberkahan Allah itu bisa turun dari langit ? Bukankah kita harus bisa melihat, bahwa di antara penyebab kemarau adalah banyaknya orang yang menahan zakat ?, atau berperilaku "aneh dan nyeleneh" terhadap alam sekitar?[7]
Jadi, kadang kita terlihat aneh bila hanya melihat banjir sebagai banjir, kemarau sebagai kemarau, lalu diakhiri dan dikunci dengan ungkapan gerutuan dan keluhan.
Maka, marilah kita lihat diri kita masing-masing, adakah perilaku yang terasa "aneh"?
Tapi, tentunya hanya bisa merasa aneh bila hatinya tidak "aneh". Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, ahad pagi 13 Rabi'ul Akhir 1434 H./ 24 Februari 2013 M.
------------
Catatan :
[1] (Al-Hajj: 46).
[2] (Al-Baqarah 260).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, Surat Al-Hasyr ayat 2 oleh Imam Fahruddin Ar-Razy Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain Al-Qurasyi At-Thibristany. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut. Cet. 1425 H./ 2004 M.
[4] Hadits riwayat Bukhari dari An-Nu'man bin Basyir, Kitabul Iman No. 52.
[5] Dari Wabishah bin Ma'bad ra, ia berkata :
"Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.”
(Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal 17545.dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
[6] Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." (Shahih Muslim, Kitabul Iman No. 35.)
[7] Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Wahai sekalian Muhajirin, kalau kalian sudah tertimpa lima hal, tapi aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menemui lima hal ini :
  1. Tidak akan merajalela suatu perbuatan keji (zina dan sejenisnya) pada suatu kaum sampai-sampai mereka berani melakukannya terang-terangan kecuali Allah akan mewabahkan penyakit Tha’un dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada sebelum mereka.
  2. Kalau mereka sudah mengurangi takaran dan timbangan maka mereka akan ditimpa paceklik dan beban hidup yang berat serta kebegisan penguasa.
  3. Kalau mereka tidak mau mengeluarkan zakat harta mereka maka hujan akan ditahan dari langit dan kalau bukan karena hewan mereka tidak akan diberi hujan.
  4. Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari kelompok di luar mereka yang merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
  5. Selama para pemimpin mereka TIDAK MAU BERHUKUM DENGAN KITAB Allah DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENCARI KEBAIKAN DALAM APA YANG DITURUNKAN Allah niscaya Allah akan membuat mereka saling menyakiti satu sama lain.”
(HR. Ibnu Majah, dianggap shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 105, no. 106 karena mempetimbangkan banyak jalur yg menguatkannya).

Berikan Meski Hanya Sisa

Apa yang terbayang di pikiran kita tatkala kita mendengar kata "sisa"?

Pasti akan ada banyak ungkapan mengenai kata itu. Yang sering muncul adalah bayangan kita tentang sesuatu yang sudah tidak perlu lagi diperhatikan, semisal sisa makanan atau sisa minuman.

Atau bayangan kita tentang sesuatu yang kadang dianggap sepele, dan bisa juga sangat berharga. Misalnya, ketika pemalas berkata:

"masih ada sisa waktu untuk dilakukan nanti",

dan seorang yang bermental optimis yang berkata:

"mumpung masih ada sisa waktu".

Semua ungkapan tentang kata "sisa" yang berbeda, sesuai dengan perbedaan dalam memaknai kata itu.

Tapi, pernahkah kita memberi arti lain pada kata sisa saat ia digandeng dengan kata senyuman? Sehingga kata-katanya menjadi seperti ini, sisa senyuman. Mungkin kita juga akan mengartikan, bahwa sisa senyuman adalah sesuatu yang sepele. Yang tinggal sisanya dan tak perlu lagi untuk diperhatikan. Yang ketika kita tidak mendapatkan bagiannya pun tidak menjadi masalah. Karena hanya sisa, sisa dari senyuman.

Namun, ketika kita memberi arti sisa senyuman dengan arti bekas, mungkin akan nampak perbedaannya. Akan berbeda antara makanan dan minuman bersisa dengan senyuman bersisa, apalagi antara bekas makanan dan bekas senyuman.

Manakala kita menyisakan senyuman untuk tetangga kita, atau kita diberikan sebuah senyuman yang panjang, boleh jadi itu adalah senyuman yang penuh keikhlasan, bukan sekedar senyuman basa-basi. Karena ikhlas akan memunculkan tanda, dan tandanya adalah bekas.

Karena pada dasarnya mulut kita yang tersenyum adalah hasil pekerjaan hati. Dan apa yang dilakukan hati adalah hasil pekerjaan ikhlas. Dan muara ikhlas adalah iman.

Maka, sisakanlah senyuman di mulut kita sebagai tanda, itu bukan basa-basi. Senyum kita di mulut, juga senyum kita di hati. Suasana mulut, adalah suasana hati. Seorang Penyair Arab berkata :

إن الكلام لفي الفؤاد وإنما جعل اللسان علي الفؤاد دليلا


"Sungguh kata-kata adanya di dalam hati, sedang lidah, ia dicipta sebagai petunjuk hati"

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 April 2009 M.

Kenapa Mereka Membunuhku..?

Syeikh Sayyid Quthub semoga Allah merahmatinya.

Apa gerangan yang telah dilakukan oleh orang mulia ini ?

Beliau dihukum mati karena menulis buku Ma'alim Fit Thariq. Beliau dipenjara, diasingkan dan divonis dengan hukuman mati. Saat itulah datang Presiden Irak meminta dan bersumpah kepada Presiden Jamal Abden Naser agar tidak menghukum mati Sayyid Quthub. Ia akan membawa beliau pergi ke Irak. Karena Presiden Abdul Karim Arif (sepertinya ada kesalahan sebut nama, seharusnya Abdus Salam Arif, sedangkan Abdul Karim nama belakangnya Qasim, ia Presiden Irak yang mati dalam perebutan kekuasaan dan digantikan oleh Abdus Salam Arif tahun 1383 H. /1963, penerj.) saat berada dipenjara, ia sangat terpengaruh dengan tulisan-tulisan Syeikh Sayyid Quthub. Maka ketika ia sampai di penjara Sayyid Quthub, ia menyampaikan kepadanya bahwa ia ingin membawanya ke Irak dan akan memberinya semua kemudahan baginya. Ia boleh menerapkan syari'at, menegakkan khilafah, mendakwahkan kebenaran dan mengajak kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi Syeikh Sayyid Quthub menolak semuanya dan berkata :

"Demi Allah sungguh bodoh sekali saat ada orang yang telah datang kepadanya nikmat syahid setelah 60 tahun umurnya lalu ia menolak."

Selanjutnya Syeikh Sayyid Quthub tetap memegang prinsip dan fatwanya. Akhirnya mereka membawa saudara perempuan beliau ke penjara. Mereka tahu bahwa saudarinya ini memiliki tempat khusus di hati Syeikh, beliau sangat mencintai saudarinya tersebut.

Mereka mendatangkan saudarinya agar dapat mempengaruhi Syeikh dan memelas kepadanya karena kedudukannya di hati Syeikh. Maka setibanya ia di penjara Sayyid Quthub dan memohon agar beliau mau menarik pendapatnya, Syeikh menolaknya.

Berikutnya beliau bermimpi sebelum kematiannya melihat sebuah botol berisi madu yang pecah, selanjutnya madu itu mengalir di kamar sampai keluar pintu dan terus mengalir. Beliau kemudian menafsirkannya bahwa ilmunya yang mana ia akan mati karenanya, akan tersebar sampai ke segenap penjuru dunia. Dan terbukti bahwa hal itu telah terjadi, ilmunya telah menyebar.

Kemudian mereka membawa Syeikh untuk dihukum mati. Namun sebelumnya mereka mendatangkan beberapa Masyayikh atau orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu ke hadapan beliau dan berkata kepada Syeikh Sayyid Quthub:

"Katakanlah Asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulallah..".

Maka beliau menjawab padanya:

"Dan anda adalah bagian terakhir dari drama ini…anda berkata kepada saya agar mengucapkan Laa ilaaha illallah sedang saya dihukum mati karena hal itu.."

Syeikh pun tertawa dan berlalu. Selanjutnya beliau mendapatkan syahidnya fi sabilillah.

Terjemahan oleh: Fairuz Ahmad

Sepenggal Hikmah Tentang Prioritas Cinta

Ada banyak gambaran tentang indahnya malam pertama, bulan madu dan berbagai sebutan yang lain, bagi pasangan suami – istri yang baru saja disahkan status hukumnya dalam sebuah ritual pernikahan. Wajar jika peristiwa itu digambarkan secara indah bahkan melodramatis, karena memang peristiwa itu indah, membahagiakan dan penuh harapan tentang situasi yang kan lebih baik dan sempurna.

Segala resah rindu dan gelora hati yang membadai seakan mengalami proses penuntasan, pada saat seseorang baru saja melangsungkan pernikahan. Karena itu, banyak kalangan yang begitu mengistimewakan bulan madu mereka, dengan harapan segala keindahan itu dapat terpatri kuat dalam hati masing-masing pasangan, bahwa mereka pernah begitu dekat, saling menyayangi dan saling membutuhkan. Mereka ingin mengabadikan peristiwa sakral tersebut dan berharap hari – hari indah itu tidak akan pernah berlalu.

Maka tidak banyak pasangan suami-istri yang sedang berbulan madu yang mau terganggu oleh urusan-urusan lain, karena akan mengurangi upaya mereka dalam menikmati indahnya menjadi pengantin baru. Apa lagi agama juga mensunahkan adanya proses semacam bulan madu ini.

Demikian juga yang sedang dialami oleh Hanzhalah bin Abu Amir. Ia baru saja melangsungkan upacara pernikahan. Sehingga statusnya adalah pengantin baru. Pada zaman Rasulullah bulan madu tidak dilakukan dengan rekreasi atau jalan-jalan ketempat romantis, mereka melakukannya dengan tinggal di rumah dengan menikmati apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah azza wa jalla bagi mereka. Demikian juga yang dilakukan oleh Hanzhalah, ia dan istrinya berbulan madu dengan menikmati kebersamaan mereka di rumah. Meski tanpa pesta dan riasan yang bermacam-macam rupa, Hanzhalah dan istrinya dapat menikmati kebahagiaan yang sempurna sebagai pasangan suami-istri baru. Semuanya serba sederhana namun perpaduan cinta yang tulus dalam ikatan suci tali pernikahan yang diberkahi Allah, mendatangkan berbagai kemewahan rasa spiritual yang melampaui segala macam pesta dan hura-hura yang pernah dibikin manusia.

Ketika kebahagiaan itu membuncah dalam cinta dan kasih-sayang yang murni, ketika rasa memiliki terhadap kekasih begitu cepat berurat-berakar dalam hati, ketika kebersamaan diantara mereka terasa begitu indah dan keinginan untuk selalu bersama tanpa terpisahkan menjadi doa dan harapan yang paling mereka inginkan, tiba-tiba genderang perang itu di tabuh. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mengumumkan kepada segenap kaum muslimin untuk bersiaga. Mereka akan mencegat pasukan kafir Qurays di bukit Uhud. Semua kaum laki-laki baligh yang sehat jasmani & ruhani wajib untuk turut berjihad di jalan Allah.

Hanzhalah Sang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madunya, mendengar seruan-seruan itu. Ia sedang memadu kasih ketika itu, sehingga meskipun seruan itu telah ia dengar Hanzhalah tidak sempat untuk menyiapkan diri sebagaimana mestinya.

Begitu keluar rumah, kaum muslimin telah bergerak memenuhi panggilan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam untuk berjihad. Tanpa pikir panjang Hanzalah pun menyambar peralatan perangnya, serta bergegas untuk bergabung dengan pasukan Islam yang lain. Ia tinggalkan istrinya, ia tinggalkan semua keindahan yang berhak ia nikmati di rumahnya, karena panggilan jihad membela agama Allah adalah diatas segalanya.

Ketika peperangan berkecamuk, para sahabat Rasulullah yang lain menyaksikan betapa garangnya Hanzhalah di medan laga. Hanzhalah mampu terus merangsek maju membabat musuh-musuh Allah hingga ia dapat berhadapan langsung dengan panglima kafir Qurays yakni Abu Sufyan bin Harb. Hanzhalah bahkan telah mampu menundukkan Abu Sufyan, namun ketika eksekusi akan ia lakukan terhadap Abu Sufyan, tiba-tiba tikaman pedang Syaddad bin Al-Aswad salah salah satu anggota laskar kafir Qurays mendahului menembus dadanya.

Hanzhalah pun gugur. Bersama para syuhada Uhud yang lain. Para sejarawan dan penulis tarikh menyebutkan bahwa ada 73 orang tentara muslim yang menemui syahidnya pada peperangan ini. Arwah mereka langsung menuju kehadirat Allah. Syurga yang telah dijanjikan Allah sudah menunggu.

Hanzhalah adalah salah seorang dari mereka. Ia tidak sekedar sahid, tetapi ia juga memberikan pelajaran cinta yang begitu agung bagi generasi muslim setelahnya. Prioritas cintanya kepada Allah dan Rasulnya yang telah berhasil ditempatkannya pada proporsi yang semestinya, dimana cinta itu melampaui cintanya kepada apapun di muka bumi ini. Termasuk cinta kepada istri yang baru saja dinikahinya.

Ketika peperangan usai, mayat para syuhada itu pun di kumpulkan oleh para prajurit Islam untuk diurus sebagaimana mestinya. Para prajurit dan sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kemudian menemukan jasad Hanzhalah agak terpisah dibandingkan jasad yang lain. Mereka menemukan kejanggalan pada jasad Hanzhalah. Jasadnya terbujur di gundukan tanah yang lebih tinggi, dalam keadaan basah seperti habis dimandikan, demikian juga tanah dan pasir disekeliling nya masih menyisakan percikan air. Padahal ketika itu hari tidak turun hujan.

Para sahabat mendatangkan Rasulullah ketempat itu dan melaporkan apa yang mereka lihat. Kemudian Rasulullah setelah menghampiri tempat terbaringnya jasad Hanzhalah, beliau bersabda; “ Para malaikat sedang memandikan jenazah Hanzhalah. Kemudian Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menanyakan perihal Hanzhalah, sebelum berangkat ke medan tempur, kepada keluarganya.

Sepulang dari medan pertempuran, Dari Istrinya Hanzhalah, para sahabat Rasulullah tersebut memperoleh penjelasan, bahwa pada saat pengumuman perang dikumandangkan, Hanzhalah sedang bercumbu dengannya. Kemudian setelah selesai Hanzhalah tidak sempat mandi, padahal ia sedang dalam kondisi junub. Hanzhalah langsung menyambar aperalatan perangnya dan langsung bergabung dengan pasukan Islam.

Dengan adanya peristiwa ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat). Sungguh mulia iman Hanzhalah. Ia bukan malas atau menunda-nunda untuk mandi junub, tetapi situasilah yang membuat ia tergesa, sehingga tidak ada kesempatan untuk sekedar bersuci.

Allah yang Maha Tahu, berkenan memberikan penghormatan yang tinggi pada jasad mujahid ini, sehingga mandi yang ditunda oleh Hanzhalah demi jihad di jalan Allah langsung digantikan oleh Allah. Hanzhalah dimandikan oleh Malaikat Allah. Sungguh penghormatan dan penghargaan yang sangat langka. Seorang hamba biasa, bukan Nabi bukan pula Rasul Allah, tetapi malaikat turun ke bumi untuk mensucikannya.

*di kutip dari Buku Jejak Malaikat di Bumi Karya M. Hilal Tri Anwari, terbitan Pustaka Al Kautsar