"yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang
nyata" (Al-Anfal : 42)
Sebelum masuk pada
tulisan maka sangat perlu kiranya penulis sampaikan peringatan yang datang dari
Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur'an dan juga dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam haditsnya.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
"Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan
untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal."[1]
Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :
Abu Bakr bin Abi
Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada
kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami
dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah
-radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh
dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur
malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru
dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang
bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang
bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.”[2]
Sungguh penulis sangat iri
kepada para ulama-ulama besar Islam yang telah mengorbankan banyak waktu, pikiran dan tenaga dalam rangka melakukan jihad ilmi lewat tulisan-tulisan dan kitab-kitab mereka. Tidak akan mungkin menyamai jihad mereka apalagi melebihi pengorbanan mereka.
kepada para ulama-ulama besar Islam yang telah mengorbankan banyak waktu, pikiran dan tenaga dalam rangka melakukan jihad ilmi lewat tulisan-tulisan dan kitab-kitab mereka. Tidak akan mungkin menyamai jihad mereka apalagi melebihi pengorbanan mereka.
Alangkah
kecilnya tulisan ini bila dibanding dengan karya-karya besar Imam
As-Syahrastany yang menulis buku "Al-Milal wan Nihal", Al-Qadhi Abu
Bakr Ibnul Araby yang menulis buku "Al-'Awashim Minal Qawashim", Syaikhul
Islam Imam Ibnu Taimiyyah yang menulis "Minhajus Sunnah An-Nabawiyah Fi
Naqdhi Kalamis Syi'ah Al-Qadariyyah", As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib
yang menulis buku "Al-Khuthut Al-'Aridhah", Syeikh DR. Ihsan Ilahi
Dhahir yang menulis buku Trilogi syi'ah "As-Syi'ah was-Sunnah",
As-Syi'ah wat Tasyayyu', dan "As-Syi'ah wa Ahlul Bait", Syeikh DR.
Utsman bin Muhammad Al-Khamis yang menulis buku "Huqbah Minat Tarikh"
dan "Kasyful Jani Muhammad At-Tijani", Syeikh Muhammad Habib yang
melakukan "'Ardh wa Naqd" yaitu pemaparan dan kritik terhadap kitab
syi'ah yang berjudul "Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrif Kitab Rabbil
Arbab" karangan Ath-Thibrisi, DR. Nashir Al-Qafary yang menulis
"Ushul Mazhab As-Syi'ah", Syeikh Al-Khathib Al-Baghdady yang menulis
"Tarikh Baghdad", Syeikh Abdullah bin Abdullah Al-Maushily yang
menulis "Haqiqatus Syi'ah", Bapak Saleh A. Nahdi yang menulis buku
"Saqifah Penyelamat Persatuan Umat" sebagai bantahan terhadap buku
"Saqifah Awal Perselisihan Umat" karangan O. Hashem dan masih banyak
lagi karya-karya ulama yang lain yang tidak mungkin dituliskan semuanya di sini.
Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah mengatakan dalam Zadul Ma'ad :
Jihad terhadap
orang kafir dan munafik ada empat tingkatan; dengan hati, lisan, harta, dan
jiwa. Jihad terhadap orang kafir lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan),
sedang jihad terhadap orang munafik lebih dikhususkan dengan lisan.[3]
Mudah-mudahan
tulisan yang tidak ada apa-apanya ini tetap dicatat oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala sebagai jihad bil lisan sehingga menjadi tambahan pahala bagi
penulisnya. Tidak ada niat dalam penulisan ini kecuali ghirah untuk ikut andil
dalam menjaga agama Allah Azza wa Jalla dari usaha makar dan pengrusakan yang
dilakukan oleh kaum yang telah banyak mendapat celaan dari para Ulama ahlus
sunnah wal jama'ah, dari kalangan ulama salaf maupun khalaf, para ulama fuqaha,
muhadditsin, mufassirin, ushuliyyin, muarrikhin sampai para da'i dan
mufakkirin.
Dan semoga Allah
Azza wa Jalla menjauhkan penulis dari sikap riya' dan sum'ah yang dapat
menghilangkan pahala dan kebaikan.
Sebenarnya
tulisan ini adalah tanggapan atas beberapa dusta dan penipuan yang dilakukan
oleh seorang penceramah[4] yang didatangkan dari sebuah radio swasta yang
terindikasi beragama sesat syi'ah. Namun sebelum menanggapi tema-tema yang
diangkat oleh penceramah, maka ada baiknya penulis memaparkan dahulu salah satu
pilar bangunan Islam, agar kiranya para pembaca yang ikhlas dalam menemukan
kebenaran agama Islam dan kesesatan agama syi'ah memiliki sikap yang jelas
dalam menghadapi modus-modus penipuan orang syi'ah yang gaya mempengaruhinya sangat
halus, penuh kasih dan terlihat wara' dan rendah hati, sama persis dengan gaya
kaum misionaris sebagaimana kita bisa membacanya dalam buku "La Conquete
Du Monde Musulman" karangan A. Le Chateler yang telah diringkas dan diterjemahkan
dalam bahasa Arab oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib dan Sayyid Musa'id Al-Yafy
dengan judul "Al-Ghaaratu 'Alal 'Alamil Islami".
ANTARA CINTA DAN
BENCI
Sungguh para
ulama telah bersepakat bahwa di antara perkara-perkara pokok agama adalah al-wala'
dan al-bara', loyalitas dan perlepasan diri. Dimana seorang muslim wajib
memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah, Rasul-NYA dan kaum muslimin, dan
berlepas diri dari segala yang dipertuhan selain Allah dan berlepas diri dari
segala ajaran dan tuntunan selain yang diajarkan oleh Rasulullah serta berlepas
diri dari semua orang yang memusuhi kaum muslimin.
Dan dalam
melaksanakan al-wala' dan al-bara' ini maka Islam memberikan aturan-aturannya. Di
antara bentuk aturannya adalah al-hubbu fillah dan al-bughdhu fillah, mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah sebagaimana dalam sebuah hadits Bukhari
dari sahabat mulia Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang artinya :
"Seseorang
tidak akan mendapatkan manisnya iman sampai ia mencintai seseorang dimana ia
tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan sampai ia dilemparkan ke neraka
lebih ia sukai dari pada ia kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkannya, dan sampai Allah dan Rasul-NYA lebih ia cintai dari
selainnya."[5]
Bangunan Islam berdiri
di atas pilar cinta karena Allah dan benci karena Allah. Karena itulah Allah
memberikan pahala bagi siapa saja yang mencintai karena Allah dan membenci
karena Allah. Salah satu dari keduanya tidak boleh dihilangkan dengan alasan
apapun. Kita dilarang menghilangkan rasa cinta karena Allah sebab agama ini
tidak hanya dibangun di atas dasar kebencian. Sebaliknya kita juga dilarang
menghilangkan rasa benci karena Allah sebab agama ini tidak hanya dibangun di
atas dasar kecintaan. Oleh karena itulah maka Allah memberikan aturan sikap
yang harus dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana dalam ayat 29 surat
Al-Fath yang artinya :
"dan orang-orang yang bersama dengan
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka."[6]
Juga secara langsung Allah Azza wa Jalla memerintahkan
Rasul-NYA agar bersikap keras dalam memerangi orang-orang kafir dan munafik
sebagaimana dalam ayat 9 surat
At-Tahrim yang artinya :
"Hai Nabi, perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah
jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali."[7]
Orang yang jujur
dalam keimanannya dan tidak menipu dan berdusta dengan pura-pura bisu, tuli dan
buta, pasti tahu kewajiban-kewajiban agamanya. Sehingga ia tahu kepada siapa
dan untuk siapa ia harus mencintai, dan juga kepada siapa dan untuk siapa ia
harus membenci.
Adalah sebuah
penipuan dan pendustaan terhadap Al-Qur'an dan Sunnah bila ada orang yang
mengaku muslim namun senantiasa mendakwahkan ajaran cinta damai kepada semua
manusia sampai kepada orang kafir yang memusuhi agama Islam dan kaum muslimin,
baik permusuhan secara fisik maupun perusakan ajaran Islam lewat tulisan,
ceramah dan kajian-kajian.
Kalau memang
benar bahwa Islam hanya mengajarkan cinta dan kedamaian secara mutlak kepada
setiap orang, baik muslimnya maupun kafirnya yang ahludz dzimmah (dalam
perlindungan pemerintah Islam) atau yang harbinya (musuh yang harus diperangi) ,
lalu kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya harus
rela berdarah-darah dalam rangka jihad fi sabilillah ?
Kenapa beliau
harus melakukan peperangan Badar, Uhud, Ahzab dan Tabuk ? kenapa harus
memerangi dan mengusir kabilah-kabilah Yahudi Qainuqa, Nadhir dan Quraidhzah
dari Madinah ?
Semua jihad Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah bukti dari keimanan beliau dan
pengamalan terhadap kewajiban sebagai seorang mukmin. Bukankah beliau
bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya :
"Aku diperintah agar memerangi manusia sampai mereka
bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melaksanakannya, maka
mereka telah melindungi darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali ada
hak (yang harus ditunaikan), dan perhitungan mereka hanya kepada Allah."[8]
Demikian juga para sahabat mulia beliau, mereka mencontoh
dan meneladani jihad beliau sehingga Abu Bakar dalam masa kekhilafannya harus
melanjutkan ekspedisi pasukan yang telah disiapkan oleh Nabi untuk memerangi
Romawi di Syam yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid lalu dilanjutkan dengan perang
Yarmuk yang diikuti oleh sahabat-sahabat besar seperti Abu Ubaidah bin
Al-Jarrah, Zubair bin Awwam, Abdullah bin Mas'ud, Abu Darda', Abu Hurairah,
Syurahbil bin Hasanah, Amr bin Ash, Abu Sufyan bin Harb, Yazid bin Abu Sufyan
dan Ikrimah bin Abu Jahal, mengutus Khalid bin Walid untuk ekspedisi ke negeri
irak dalam perang Dzatus Salasil, memerangi kaum murtad dari kabilah Bani Asad
dan Ghathfan, Bani Kandah, Bani Madzhaj, Bani Hanifah, Bani Sulaim dan Bani
Tamim, lalu memerangi dan membunuh nabi-nabi palsu seperti Al-Aswad Al-'Unsiy,
Thulaihah Al-Asadiy, Musailimah Al-Kadzdzab dalam perang Yamamah.
Selanjutnya
Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu pun melakukan hal yang sama,
mencontoh dan meneladani para pendahulunya dengan melakukan ekspedisi besar ke
negeri Persia yang beragama Majusi dalam peperangan yang tercatat sebagai
perang agung yaitu Ma'rakatul Qadishiyyah, lalu pembukaan kota Tustur dan Shush
dan terakhir perang Nahawand hingga runtuhlah Kisra Persi. Dan runtuhnya Kisra
Persi dan padamnya api Majusi inilah yang senantiasa meledakkan dendam kesumat terhadap
Islam, Arab, dan seorang Umar oleh orang Majusi yang sekarang bertopeng syi'ah.
Beliau juga
melakukan ekspedisi menuju negeri Syam yang dikuasai oleh Romawi, sehingga
tercatatlah perang Ajnadin dimana pasukan kaum muslimin dipimpin oleh Amr bin
Ash.
Lalu pembukaan
Baitul maqdis dengan pasukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.
Begitu juga
dengan dua Khalifah berikutnya yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhuma.
Pada masa
kekhilafahan Utsman bin Affan terjadilah pembukaan negeri Afrika bagian utara
dan Iskandariah. Lalu Armenia dan Azerbeijan dan juga menyempurnakan penaklukan
atas negeri Persia.
Terlibat
peperangan dengan Romawi dalam perang Dzatus Shawariy di Bilaadil Maghrib
(sekarang Libia, Tunis, Aljazair, Maroko dan Mauritania) hingga tercatat dalam
sejarah Islam bahwa pada masa beliaulah awal mula pembuatan Armada Laut yang
pertama. Lalu pertempuran melawan pasukan Barbar yang juga di bawah pimpinan
Panglima Abdullah bin Sa'd bin Abis Sarh.
Adapun Khalifah
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, maka masa kekhilafahannya adalah masa
yang penuh ujian dan fitnah besar yang dikobarkan oleh orang-orang Majusi
kelompok Abdullah bin Saba', seorang Yahudi dari Yaman.
Hasutan kelompok
As-Sabaiyyah inilah yang meletuskan perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi
Thalib dan pasukan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha.
Fitnah
berikutnya adalah terjadinya perang Shiffin antara pasukan Ali bin Abi Thalib
dan Mu'awiyah bin Abu Shufyan radhiyallahu anhum jami'an, yang berlanjut pada
fitnah dalam kisah Tahkim yang di kemudian hari memunculkan kelompok Khawarij,
dimana kelompok inilah yang memerangi Ali dalam perang Nahrawan. Saat itu
mereka menuntut Ali dengan teriakan "Tidak ada hukum kecuali hukum
Allah", dan Ali pun berkata saat mendengar teriakan tersebut, "Sebuah
kalimat haq tapi mereka menginginkan kebatilan dengannya". Selanjutnya Ali
memerangi mereka dan mengalahkannya lantaran mereka telah terlebih dulu
membunuh sahabat mulia Abdullah bin Khabbab dan istri beliau serta membedah
perutnya yang sedang hamil tua.
Semua ulama
Ahlus sunnah bersepakat untuk bersikap tawaqquf yaitu menyerahkan semua
urusannya kepada Allah dengan tetap berhusnudz-dzan terhadap sikap para sahabat,
sebab para ulama takut akan kelancangan lidah bila sampai bersikap salah kepada
para sahabat, di mana sikap ini sangat bertolak belakang dengan sikap yang
diambil oleh kaum Syi'ah, Khawarij, Nawashib dan Mu'tazilah atas fitnah perang
dan pertumpahan darah yang terjadi antar para sahabat Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam di masa Khalifah Ali.
Imam Ahmad bin
Hambal pernah ditanya tentang siapa kelompok pembangkang (al-fi'atul baghiyah) yang
membunuh Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu yang saat perang Shiffin beliau ikut
bergabung dalam kelompok Ali dan beliau menemui syahidnya dalam peperangan itu ?
maka beliau menjawab :
"Aku tidak
akan membicarakan siapa mereka, karena meninggalkan pembicaraan tentangnya
adalah lebih selamat."[9]
Al-Hafidz Ibnu
Hajar berkata :
"Mayoritas
Ahlus Sunnah membenarkan kelompok Ali. Sedangkan yang memeranginya adalah
kelompok pembangkang, namun mereka sepakat tidak mencela satu pun darinya sebab
mereka telah berijtihad walaupun salah."[10]
Sebab para Ulama
pun tahu ada hadits tentang larangan untuk mencaci para sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam :
"Janganlah
kalian mencela para sahabatku, jika ada diantara kalian yang sedekah emas
sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan mampu menyamai satu orang dari
mereka, bahkan setengahnya."[11]
Sungguh
peperangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, Khulafa'ur
Rasyidin, para sahabat radhiyallahu anhum dan pasukan kaum muslimin setelah
mereka adalah panggilan atas kewajiban menegakkan kalimat Allah, untuk
membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada
Tuhannya manusia. Namun simaklah sejarah perperangan mereka yang juga diakui oleh
sebagian sejarawan Barat, bahwa tidak ada akhlak mulia yang dipraktekkan dalam
berperang kecuali oleh pasukan Islam. Tidak membunuh wanita, anak-anak dan
orang tua. Tidak membumihanguskan rumah-rumah dan tempat ibadah. Tidak
mencincang musuh-musuhnya yang sudah menyerah atau bahkan yang sudah tewas. Sebab
Islam tidak mengenal dan tidak mengajarkan kebencian yang membabi buta. Semua ada
batasnya, sebab itulah rasa benci harus ada tambahannya yaitu benci karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan karena itulah ia berpahala.
Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai akhlak dan perilaku. Menghargai
nyawa, akal, harta, badan dan kehormatan. Kelima hal itu dijaga dan haram
merusaknya. Oleh karena itulah ajaran Islam tentang akhlak mulia sesama muslim yang
tertuang dalam Al-Qur'an dan Sunnah sangatlah banyak. Semua perilaku yang
merusak kelima hal di atas dilarang. Cukuplah seorang muslim mengerti dan
memahami perintah Allah Azza wa Jalla dan Nabi-NYA shallallahu alaihi wasallam
:
Allah berfirman yang
artinya :
"Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan."[12]
Dan Rasul-NYA bersabda yang artinya :
"Dari Abu Hurairah ra. dia berkata: Rasulullah SAW
bersabda : "Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah
dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah
dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak
menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya.
Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang
muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya."[13]
Namun sekali
lagi bahwa ajaran tentang cinta dan kasih sayang di atas adalah untuk situasi
dimana tidak ada satu orang pun yang sedang berupaya berbuat makar dan
pengrusakan. Bila terbukti ada upaya makar dan pengrusakan, maka berlakulah
aturan "illaa bihaqqil islaam", ia harus dituntut sesuai hukum Islam.
Dan bila yang berbuat makar dan pengrusakan adalah musuh dari luar agama Islam,
maka yang berlaku adalah jihad dan pembelaan. Karena bila tidak melakukan jihad
dan pembelaan terhadap agama, maka saat itulah ia layak disebut dengan sebutan
yang telah Rasulullah katakan dalam haditsnya :
"Barangsiapa
yang mati dan belum pernah berperang serta tidak meniatkan dirinya untuk itu
maka dia mati dalam salah satu cabang kemunafikan."[14]
Selanjutnya
adalah tanggapan kepada penceramah atas kedustaan dan penipuannya, baik
penipuan terhadap sejarah, ayat Al-Qur'an, hadits Nabi, mazhab, sikap ulama
Ahlus Sunnah terhadap agama syi'ah, pengingkaran terhadap Al-Qur'an sampai pada
tuduhan keji kepada umat Islam dan pengaburan pemahaman yang dapat menimbulkan
opini yang salah. Semuanya ia sampaikan dengan gaya yang sangat halus, sebab
kelihatannya ia sudah faham betul bahwa orang awam akan mudah dipengaruhi
dengan sikap-sikap yang lembut dan tidak kasar. Yang pasti, gaya seperti inilah
yang dahulu sudah dipraktekkan oleh orang-orang Saba'iyyah dalam meletuskan
perang Jamal setelah kedua belah pihak yaitu pasukan Ali bin Abi Thalib dan
pasukan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anhuma bersepakat untuk berdamai.
Tapi bagi siapa
saja yang mengerti sepak terjang mereka, akan sangat mudah mendeteksi, sebab
dibalik kelembutan tersebut ternyata menimbulkan keresahan hubungan antara
jama'ah-jama'ah Islam, karena memang tujuan mereka adalah bagaimana bisa
diterima dengan baik dengan cara mengadu domba antar jama'ah yang ada.
Modus-modus seperti inilah yang mirip dengan Harakatut Tabsyir atau gerakan
misionaris yang bisa kita baca dalam buku Al-Gharatu 'Alal 'Alamil Islami
Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib.
Karena tidak
mengira bahwa akan ada penceramah dari sebuah Radio swasta tersebut, maka penulis
hanya mencatatnya dengan bantuan alat komunikasi beberapa tema yang diangkat
dalam ceramahnya, dan penulis bersaksi di hadapan Allah Azza wa Jalla bahwa apa
yang dikatakan oleh penceramah dan apa yang penulis tulis adalah benar adanya,
semoga Allah menjadi saksi kelak di hari kiamat.
Yang aneh
adalah, ia berjanji akan berbicara tentang khitanan, karena memang ia diundang dalam
acara tasyakuran khitanan, namun sampai ia mengucap salam penutup, sedikit pun
tak keluar dari mulutnya tema tentang khitanan, ia malah sibuk membangun opini agar
hadirin memiliki sikap selalu mencintai persatuan walaupun ada perbedaan, meski
yang ia maksud adalah menerima perbedaan agama antara Islam dengan Syi'ah, ia
berkali-kali menyebut mazhab agar hadirin mengerti bahwa syi'ah adalah bagian
dari mazhab Islam di bidang fikih.
[catatan kaki ada di bagian 4]