Minggu, 16 Maret 2014
Rabu, 05 Maret 2014
Senin, 24 Februari 2014
Selasa, 18 Februari 2014
Senin, 17 Februari 2014
Minggu, 16 Februari 2014
Kamis, 13 Februari 2014
Rabu, 12 Februari 2014
Selasa, 07 Januari 2014
Drakula Emas
Disebutkan ada hadits dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim
datang kepada Rasulullah SAW membawa perak lalu berkata:
"Ini dari pertambangan kami."
Maka Rasulullah bersabda:
"Akan keluar banyak tambang, dan yang akan mendatanginya adalah orang-orang
jahat." [*]
Dari beberapa penjelasan yang ada tentang hadits ini, ada 2 hal yang
menarik dan sering dibicarakan, yaitu:
-MA'DIN (barang tambang).
Bahwa penyebutan perak dalam hadits tersebut tidak mengisyaratkan bahwa
perak adalah satu-satunya barang tambang yang akan jadi rebutan, dalam riwayat
lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Akan ada banyak barang tambang yang keluar, ada tambang yang
keluar dekat dengan negeri Hijaz, orang-orang jahat akan mendatanginya, tempat
itu disebut sebagai Fir'aun, tatkala mereka sedang bekerja tiba-tiba nampaklah
emas sehingga mereka terpana, kemudian bumi menelan mereka beserta emas-emas
itu" (Musnad Abi Ya'la, no. hadits 8415).
Ada riwayat lain juga yang senada dengan hadits dalam bab ini, seakan
sebuah isyarat bahwa ada banyak tambang yang belum diketahui para sahabat beliau.
-ORANG-ORANG JAHAT.
Banyak juga riwayat hadits yang menyebutkan tentang siapa yang dimaksud
dengan orang-orang jahat secara umum. Ada yang sesuai dengan konteks
orang-orang jahat dalam hadits di atas. Ada juga yang khusus untuk orang-orang
jahat yang lain yang tidak terkait dengan orang-orang jahat yang mendatangi
pertambangan itu.
Tapi ada beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran:
Barang tambang adalah sumber kekayaan yang sebagian besarnya adalah
nyawa bagi sebuah negara yang bersangkutan. Oleh karena itu banyak penjajahan
dilakukan karena urusannya adalah menguasai barang tambang. Sampai ada yang
berpendapat bahwa agresi amerika ke Irak bukan semata-mata karena tuduhan
memiliki persenjataan pemusnah massal (apalagi sudah dibuktikan bahwa itu tidak
terbukti), tapi lebih karena Irak adalah bagian negeri Hijaz, tempat dimana
akan banyak tambang keluar dari sana. Bahkan ada sebuah hadits yang secara
langsung menyebutkan bahwa emas yang tiba-tiba keluar itu dari sebuah gunung
yang nampak dari sungai Efrat. (HR. Muslim), jadi demi menguasai emas-emas
itulah mereka menjajah.
Kenapa mereka sangat menginginkan emas dan perak sebagaimana kebanyakan
hadits dalam hal ini juga berbicara khusus tentang emas dan perak? Karena emas
dan perak adalah penjaga kestabilan kekayaan. Dan dalam hal ini ada fakta dan
fenomena masyarakat sekarang yang sangat bersemangat dan antusias untuk
investasi emas.
Memang tidak ada larangan orang menjaga kestabilan kekayaannya dengan
melakukan saving. Menurut saya pribadi itu adalah bagian dari sunnah yang
diajarkan oleh Nabi Yusuf alaihis salam, yaitu menyimpan persediaan makanan
karena akan ada masa peceklik setelahnya. Namun, baik Nabi Yusuf alaihissalam maupun
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak menganjurkan melakukan saving
dengan menimbun emas meski kalau pun ada yang menimbunnya dan ia tetap
mengeluarkan zakatnya. Tapi anjuran menimbun emas tidak ada. Karena emas adalah
uang, dan uang harus beredar. Bila ia beredar merata maka kestabilan masyarakat
akan terjaga. Sebagaimana Al Qur'an telah berbicara tentang hal ini, yaitu jangan
sampai uang itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Secara tidak
langsung, Al Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa semua orang harus bekerja dan
memiliki usaha riil. Bila emas ditimbun, maka itu artinya menimbun uang, dan
yang bisa melakukannya pasti orang-orang yang kaya raya. Tapi sekali lagi bahwa
saving adalah sunnah yang harus dilakukan, meski tidak harus menimbun emas.
Wallahu A'lam ini pendapat pribadi masih terbuka kemungkinan salah.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 24 Januari 2013.
[*] Takhrij instan terhadap Status hadits dalam situs Islamweb.net :
- Kitab Hadits Abi Al-Fadhl Az-Zuhri : Hasan
- Al-Mu'jamul Awsath Liththabrani : ada 3 jalur dan ketiganya Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
- Akhbaar Ashbahan Li Abi Nu'aim : Dha'if karena ada satu perawinya yang tertuduh melakukan pemalsuan.
- Ma'rifatu Ulumil Hadits Lil Hakim : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
- Al-Fitan Li Nu'aim bin Hamad : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya yang Munkarul hadits.
- Tarikhu Baghdad Lil Khathib : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
- Dala'ilun Nubuwah Lil Baihaqi : ada 2 jalur yang keduanya Hasan, dan 2 jalur lain yang sangat dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
- Kitab Hadits Abi Ali As-Sya'rawi : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
- Musnad Abi Ya'la Al-Maushili : Dha'if, namun bisa berubah Hasan bila ada hadits lain sebagai tawabi'.
- Musnad Ibnu Abi Syaibah : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
- Kitab Musnad Imam Ahmad : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
- Kitab Al Aahaad wal Matsani Ibnu Abi Ashim : Sangat Dha'if karena ada satu perawinya tidak jelas.
Catatan :
- Tulisan ini terkait dengan serangan tentara Perancis terhadap Mali, karena berbagai sumber mengatakan bahwa Mali kaya akan sumber barang tambang, jadi salah satu motivasi serangan biadab terhadap Mali yang juga ada umat Islam di sana karena para penyerang tersebut adalah "DRAKULA EMAS".
- Kalau kita menyukai emas bukan berarti kita tidak boleh memiliki emas simpanan, karena yang dilarang adalah memiliki istri simpanan.
- Bagi wanita yang ingin memiliki banyak emas harap jangan menimbun. Sebaiknya dipakai saja semuanya, siapa tahu nanti bisa menggantikan peran "mak Nok" dalam serial "Tukang Bubur Naik Haji".
Akhlak Dagang vs Otak Dagang
Kalau kita menelusuri sirah
nabawiyyah, akan ada gambaran pendidikan karakter yang kuat saat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menggembala kambing. Lalu saat beliau ikut kafilah dagang dan
dilanjutkan dengan aktifitas Beliau ikut menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu
anha.
Rasa-rasanya beliau tidak pernah
menjadi bos atau owner atas bisnis tertentu. Semua aktivitas beliau bisa
dibilang sebagai karyawan alias bekerja untuk orang lain. Namun inilah cara
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pelajaran berharga bagi umatnya lewat
perjalanan beliau sebagai pengusaha, meski bukan bos atau owner. Karena dalam
haditsnya Beliau mengatakan:
“Tidaklah seseorang berusaha kecuali
yang paling baik adalah apa yang dihasilkan dari tangannya sendiri, dan apa
saja yang ia belanjakan untuk dirinya, keluarganya, anak-anaknya dan
pembantunya adalah sedekah.” (Ibnu Majah 2138).
Juga dalam hadits yang lain beliau
kembali menegaskan:
“Sesungguhnya Nabi Dawud
alaihis salam tidak makan kecuali makanan itu Beliau hasilkan dari usaha
tangannya sendiri.” (Bukhari 1967)
Dari sinilah ada pelajaran
penting tentang pendidikan "survival". Karena secara umum, kebanyakan
manusia hidup bukan sebagai bos atau owner, tapi sebagai karyawan dan pegawai.
Artinya, menjaga kelangsungan hidup tidak harus sebagai bos atau owner, karena
hanya sebagian kecil saja yang mampu melakukan ini. Selebihnya dan ini bagian
yang terbesar adalah menjaga kelangsungan hidup meski sebagai karyawan.
Tulisan ini bukan untuk
membicarakan situasi mana yang paling baik antara owner dan karyawan. Karena
keduanya dalam Islam memiliki timbangan yang hanya Allah saja yang tahu, dengan
syarat semuanya dilakukan sesuai dengan prinsip, aturan, dan moral yang telah
dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai suatu
keharusan bagi yang menjalaninya. Sebab yang terpenting adalah bagaimana
seseorang itu bisa survive, baik sebagai bos atau karyawan.
Salah satu usaha yang dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah berdagang untuk menjaga
kelangsungan hidup beliau. Karena dengan berdagang maka akan menjaga kehormatan
diri dan menjauhkan dari kehinaan meminta-minta. Namun sikap survive yang diteladankan oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah sikap yang tidak hanya
sekedar berusaha. Tidak sekedar bekerja. Tetapi kemudian beliau menjelaskan
tentang prinsip, aturan dan akhlak saat survive. Karena kalau hanya sekedar
bekerja dan berusaha, maka kera dan kambing pun melakukan hal yang sama,
kira-kira seperti itulah ungkapan Buya Hamka.
Ada banyak contoh dalam hal ini
untuk menjelaskan, alangkah maraknya praktek usaha dagang yang jauh dari akhlak
yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga apa pun yang
menjadi miliknya, atau yang dalam kekuasaanya akan menjadi barang dagangan yang
layak dan wajib untuk dijual dengan alasan survival. Misalnya dagang sekolah, dagang
“kursi” sekolah, dagang buku dan seragam sekolah dengan harga lebih tinggi,
dagang nilai ujian, dagang les privat, dagang ijazah sekalian wisudanya dan
lain-lain. Ini baru salah satu contoh kasus di negeri ini, mungkin masih banyak
kasus-kasus “perdagangan” yang lain.
Usaha dagang yang diteladankan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dagang dengan aturan dan
akhlak yang mulia. Tidak semua hal beliau jual, baik miliknya sendiri atau pun
apa yang dalam wewenangnya. Itulah yang dinamakan akhlak dagang. Namun bila ada
seseorang yang kemudian dagang “apa saja” maka ketahuilah, itu yang dinamakan
otak dagang, seolah tidak perlu lagi tahu layakkah hal itu didagangkan.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 14 Dzul Qa’dah 1434
H./20 September 2013 M.
Sabtu, 04 Januari 2014
Sa'ad Bin Abi Waqqash Dan Dendam Kesumat Majusi [1]
Permusuhan
kaum Majusi terhadap Islam dan Arab sepertinya tak akan pernah padam semenjak
api mereka padam. Padam pada saat kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, dan benar-benar padam saat penaklukan Mada'in di masa kekhilafahan Al
Faruq Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Tapi
DR. Shafiyyurahman Al Mubarakfury dalam Ar Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa
riwayat padamnya api sesembahan kaum Majusi tidak diyakini oleh Syeikh Muhammad
Al Ghazali dalam Fiqhus Sirah.[1] Hanya saja cerita dan kabar tentang itu
didapat dari orang-orang yang pada saat kelahiran Nabi shallallahu alaihi
wasallam ia hidup di negeri Persi. Dari merekalah kabar itu didapat seperti apa
yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi (w 450 H.) dalam A'lamun Nubuwwah, bahwa Abu Ayyub Ya'la bin Imran An Nahli
meriwayatkan dari Makhzum bin Hani' Al Makhzumi dari ayahnya, ia berkata,
"Pada malam dilahirkannya Nabi
shallallahu alaihi wasallam bergetarlah istana Kisra hingga sebanyak empat belas
balkonnya runtuh, api Persi pun padam padahal selama seribu tahun belum pernah
padam, dan air danau Sawah mengering. Hal itu membuat Kisra ketakutan, lalu ia
memakai makhkotanya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia mengumpulkan
menteri-menteri dan para pembantunya lalu menceritakan mimpinya tersebut.
Kemudian berkatalah Al Mubidzan[2],
"Adapun saya sendiri, semoga Allah Ta'ala memperbaiki urusan raja, saya melihat
dalam mimpi saya ada unta-unta berat yang menuntun kuda-kuda mahal mengarungi
sungai Dijlah lalu mereka menyebar di negeri-negeri kita.
Kisra bertanya, "Apa arti semua itu
hai Mubidzan?"
Ia
menjawab, "Sebuah peristiwa besar yang datang dari penjuru Arab."
Maka
Kisra menulis surat perintah kepada An Nu'man bin Al Mundzir, "Kirimkan
kepadaku seseorang yang mengetahui agar aku bisa bertanya padanya apa yang aku
inginkan."
Maka
menghadaplah Abdul Masih bin 'Amr bin Nafilah Al Ghassany. Sesampainya di
hadapan Kisra ia lalu diberitahu tentang peristiwa yang terjadi. Kemudian ia berkata, "Wahai raja,
sesungguhnya ilmu tentang hal itu ada pada paman saya. Ia tinggal di bagian
timur negeri Syam. Namanya Suthaih.
Kisra berkata, "Datangi dia dan
tanyalah dengan apa yang telah aku kabarkan kepadamu lalu bawalah jawaban itu
kepadaku."
Singkat cerita, Abdul Masih pun bertanya
tentang keanehan yang dilihat oleh Kisra dan Al Mubidzan. Selanjutnya ia
berkata, "Hai Abdul Masih, jika telah banyak tilawah (tilawah Alquran),
diutus seseorang dari Tihamah (tempat kelahiran Nabi), ada banjir di lembah
Samawah, mengeringnya danau Sawah, dan padamnya api Persi, maka Syam bukan lagi
negeri Syam bagi Suthaih....." Lalu ia pun meninggal."[3]
Pada kenyataannya, api Persi sesembahan
kaum Majusi tersebut telah menyulut api dendam yang sangat membara di kalangan
kaum Majusi. Dan api dendam tersebut tersulut saat Khalifah Al Faruq Umar bin
Khaththab radhiyallahu anhu mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu anhu dalam perang agung, Ma'rakatul Qadishiyah tahun 14 H.
yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Selanjutnya api itu
makin berkobar dan menyala-nyala dengan dibukanya kota Mada'in di tahun 16 H,
simbol kemegahan Kisra Persi, juga di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Dan
di akhir masa pemerintahannya, Khalifah Umar kembali menugaskan salah seorang
sahabat terbaik untuk menyempurnakan jihad ke bumi Persi, beliau adalah An
Nu'man bin Muqarrin radhiyallahu anhu dalam perang Nahawand.
Sebelum berkecamuknya perang Al
Qadishiyah, panglima tentara Persi, Rustum meminta beberapa utusan dari tentara
kaum muslimin. Maka diutuslah beberapa sahabat, di antaranya Rib'i bin Amir
radhiyallahu anhu sebagai pimpinannya. Maka datanglah Rib'i dengan kemuliaannya
sebagai seorang muslim untuk menghadap Rustum. Kedatangan Rib'i dalam keadaan
kepala tegak, lalu menginjakkan kaki-kaki kudanya di atas permadani mewah dan
mengikat tali kudanya pada kursi-kursi mewah mereka, kemudian berdiri di
hadapan Rustum seraya menancapkan ujung tombaknya hingga merobek bantal-bantal
itulah yang membuat para pengawalnya merasa terhina dan murka.
Dalam pertempuran sengit antara kedua
pasukan pun terlihat betapa kuatnya pasukan Persi. Kawanan gajah mereka pun
mampu menyurutkan nyali kuda-kuda pasukan kaum muslimin. Namun akhirnya
keberanian, ketangguhan dan kecerdikan pasukan Islam berhasil mengatasi
gajah-gajah Persi atas izin Allah dengan melempar tombak pada matanya.
Selanjutnya Sa'ad bin Abi Waqqash
radhiyallahu anhu melanjutkan ekspedisi jihadnya menuju kota Mada'in yang
dipisahkan oleh sungai besar Dijlah. Dan sungguh atas izin Allah Azza wa Jalla
maka pasukan kaum muslimin mampu menyeberangi sungai tersebut seakan berjalan
di atas tanah hingga membuat pasukan Persi tak percaya dengan apa yang mereka
lihat seraya berteriak, "Diwana, diwana...!!" yang artinya orang-orang
gila, orang-orang gila..!!
Lambang kemegahan kerajaan Persi itu pun
akhirnya runtuh di tangan orang-orang Islam. Mereka datang dari negeri Arab atas
perintah khalifah agung Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Keruntuhan inilah
yang senantiasa menyulut api dendam kepada Islam, bangsa Arab dan seorang Umar.
Bagaimana tidak, sedang Mada'in adalah simbol kekuasaan, kekayaan dan agama
Majusi. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian percikan-percikan api dendam
itu berkobar menjadi pembangkangan-pembangkangan.
Bersambung insya Allah Ta’ala pada kisah-kisah
pembangkangan, pengkhianatan dan dendam kesumat majusi terhadap Islam, Arab dan
seorang Umar.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./5 Januari 2014 M.
Catatan:
[1] Syeikh DR. Shafiyyurahman Al
Mubarakfury, Ar Rahiqul Makhtum hal.54 cetakan Maktabah Darus Salam-Riyadh 1414
H.
[2] Al Mubidzan adalah rujukan para ulama,
yang mengeluarkan perintah dan tidak boleh ada fatwa kecuali bersumber dari
dirinya, serta diagungkan sebagaimana para penguasa. Dan setiap panguasa
memiliki Al Mubidzan. Abul Fath Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad As
Syahrastany, Al Milal wan Nihal, Tahqiq Al Ustadz Abdul Aziz Muhammad Al Wakil,
hal.231 Darul Fikr Beirut.
[3] Imam Al Mawardi Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin Al Habib Al Bashri Al Baghdadi, A'lamun Nubuwwah halaman 182-183,
cetakan 1 th. 1409 H. Maktabah Al Hilal Beirut.
Nasehat Mengatasi Perang Dunia Ketiga Dalam Rumah Tangga [2]
Saya akhirnya menyimpulkan sekaligus
menambahkan dalam tulisan ini bahwa kesalahan keyakinan ini sebenarnya bisa
dicari dasarnya dari sebuah ayat Alquran dan juga hadits Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Ayat yang bisa dijadikan sandaran bahwa ujian itu pasti
datang meski sudah dilakukan antisipasi sebelumnya adalah ayat 63 di surat Al
Furqaan saat Allah berfirman yang artinya,
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang senantiasa berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.”
Saat Allah berkata “khaathaba”
yang artinya menyapa, mengatai dan lain-lain, maka Ia menggunakan kata kerja
bentuk lampau. Dan sebagaimana dalam bahasa Arab bahwa salah satu fungsi kata
kerja bentuk lampau adalah menjelaskan tentang benar terjadinya pekerjaan. Artinya,
orang-orang jahil itu sudah dipastikan ada dan pekerjaan mereka yang
mengata-ngatai itu pun pasti ada. Padahal Allah telah menjelaskan sebelumnya
bahwa hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu hendaknya berjalan di atas bumi
dengan rendah hati, namun demikian ujian orang-orang jahil tetaplah ada.
Demikian juga saat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Jika Allah mencintai suatu
kaum maka ia (pasti) mengujinya.”
Saat beliau berkata “Ia (Allah)
mengujinya” maka beliau menggunakan kata kerja bentuk lampau. Artinya, Allah
pasti memberikan ujian padanya, meski ia telah memperiapkan diri dengan ilmu,
aktif di kajian-kajian agama, selalu berusaha menjadi hamba yang shaleh dan
lain sebagainya. Saat ia semakin dicintai oleh Allah maka ia harus tahu bahwa
cintanya kepada Allah juga harus diuji dan dibuktikan. Apakah mereka lulus dari
ujian pertengkaran dalam rumah tangga sehingga masih tetap mempertahankannya
hingga selamat sampai surga.
Kita kembali pada nasehat kawan
saya, sebab kalau banyak penambahan dari saya nanti isi nasehat yang tadinya manis
akan berubah asam, karena bagaimana pun juga yang namanya tambahan itu dapat
menyebabkan perubahan. Kalau dalam ilmu hadits ada masalah ziyaadatunnash atau
ziyaadaturraawi, yaitu matan tambahan, dan matan tambahan ini seringkali
menjadi persoalan rumit bagi para ahli hadits.
Baliau mengatakan bahwa ujian
paling berat adalah perbedaan. Beliau menjelaskan ada dua perbedaan mendasar sesuai
dengan kasus-kasus yang pernah beliau tangani yaitu;
Latar belakang didikan orang tua.
Pada pembahasan ini beliau agak
serius sebab rata-rata kasus yang sampai padanya adalah pertengkaran yang
disebabkan oleh karakter yang sifatnya “accident” (kalau bahasa Arabnya, thabii’ah
muktasabah, kebalikan dari thabii’ah wiraatsiyyah). Karakter ini diperoleh dari
latar belakang dan lingkungan rumah tangga orang tuanya. Ternyata banyak kasus
penelitian beliau bahwa yang melatarbelakangi seseorang menjadi berkarakter
tertentu banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga orang tuanya. Bila broken
home maka biasanya rumah tangga anaknya akan menyerempet dan bahkan meniru
seperti rumah tangga orang tuanya. Maka dari itu karakter baik dan buruk semua
kembali kepada orang tua. Sampai disini saya akan tambahkan dulu,
Sepertinya masalah pembentukan karakter ini perlu diseriusi
oleh siapa pun yang akan menjadi suami atau istri. Sebab mereka akan menjadi
orang tua. Bila ia mewariskan karakter baik pada anak-anaknya maka anak-anaknya
akan membahagiakan pasangan masing-masing. Begitu pula sebaliknya. Maka hati-hatilah
wahai orang tua, suatu saat kita telah mati namun tak sadar dosa-dosa masih terus
mengalir. Apa sebabnya? Sebabnya kita telah membuat lingkungan buruk yang
lantas diadopsi oleh anak-anak kita, selanjutnya ia memiliki rumah tangga yang
menyeramkan dunia karena tiap saatnya berisi pertengkaran. Bukankah pertengkaran
itu membuat luka hati? Dan luka hati itu berpotensi menumpuk dosa? Maka dari
manakah dosa itu disebabkan kecuali dari didikan orang tua yang salah kepada
anak-anaknya. Bila ditakdirkan anak-anaknya terus memiliki keturunan sampai
hari kiamat dengan karakter yang sama, maka janganlah kita mencela kecuali diri
kita sendiri. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah
memperingatkan kita,
“Dan barang siapa yang mencontohkan keburukan maka
baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya.”
Latar belakang ilmu agama.
Sebenarnya latar belakang didikan orang tua yang salah masih
bisa diantisipasi oleh asupan ilmu agama. Namun problemnya adalah kemauan untuk
belajar.
Dua latar belakang inilah yang menentukan siapa sejatinya
suami dan siapa sejatinya istri. Bagaimana ia memandang dan memanajemen hidup
rumah tangga tergantung pada dua latar belakang ini. Bagaimana ia memandang
kebahagiaan, pertengkaran, kesantunan terhadap pasangan, penghargaan terhadap pasangan,
kewajiban berbuat baik dan meneladankan kebaikan kepada anak-anak, sampai pada
urusan memandang hal-hal yang kadang terlihat sepele seperti
pekerjaan-pekerjaan rumah. Bila latar belakang didikan orang tuanya baik dan
latar belakang ilmu agamanya juga baik maka rumah tangganya akan baik pula.
Beliau lantas mencontohkan sebuah kasus yang sebenarnya
lumrah terjadi, ada pasangan yang memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Bisa
dikatakan hampir 180 derajat--tanpa celcius, karena bukan sedang membicarakan
temperatur udara. Yang satu memandang bahwa kebahagiaan adalah bila pasangannya
mampu membahagiakannya. Sedang pasangannya tidak demikian, yang namanya
kebahagiaan tidak bisa didatangkan dari luar, sebab merasa bahagia itu apabila
dirinya sendiri bahagia apa pun kondisinya, baik kondisi pasangannya,
anak-anaknya, orang tua sampai tetangga-tetangganya. Karena betapa pun baiknya
orang-orang di sekitarnya tapi bila dirinya menganggap kebaikannya itu masih
kurang ya tetap saja ia tak akan meraih bahagia. Oleh karena itu, di antara
keluhan orang tersebut kata beliau adalah, selalu mengatakan bahwa pasangannya
tak pernah bisa membahagiakannya. Kata beliau, ya mana mungkin kamu bisa
bahagia lha wong mendefinisikan kebahagiaan saja sesuai dengan maunya
sendiri.
Disnilah kata beliau sabar ukuran XXL itu sangat dituntut. Dan
kebanyakan yang dituntut bersabar ukuran jumbo ini adalah laki-laki. Beliau mengambil
kesimpulan itu dari wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum
lelaki,
“Dan berwasiatlah kepada wanita-wanita dengan kebaikan.”
Itu adalah perintah kepada kaum lelaki. Saya jadi teringat
seorang dosen dari Mesir bernama Dr. Rabii’, saat menjelaskan tentang pelajaran
nahwu ada sedikit menyinggung tentang wanita, tiba-tiba ia langsung komentar,
“Az zaujatu katriiran maa tansaa fadhla zaujihi,
khaashshatan idzaa dhahara minhu maa takrahuhu wa in kaana qaliilan”
Saya akan artikan namun sebelumnya saya mohon maaf kepada
yang merasa tersungging, ini dari dosen saya bukan dari saya,
“Seorang istri itu sering lupa kebaikan suaminya,
khususnya jika telah tampak sesuatu darinya apa yang istrinya tidak suka
padanya, meski sesuatu itu sedikit.”
Akhirnya beliau (beliau disini adalah kawan saya dan bukan
dosen saya) menambahkan, bisa dibayangkan bila ada pasangan yang memiliki
perbedaan pada semua hal, satu suka warna hitam satunya putih, satu suka
jalan-jalan satunya tidak suka, satunya suka asin satu lagi suka manis, satu
suka satu lagi tidak suka. Walhasil bakal ramai dunia. Dari perang baratayudha sampai
perang malvinas juga bakalan kalah ramai. Dan kuncinya hanya satu, apalagi
kalau bukan sabar.
---masih bersambung lagi, karena baru sampai Jawa Tengah,
moga dapat dilanjutkan sampai Merauke,,,
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal
1435 H./4 Januari 2014 M.
Nasehat Mengatasi Perang Dunia Ketiga Dalam Rumah Tangga [1]
Suatu hari selepas shalat asar saya bertemu dengan seorang
kawan. Kawan lama jadinya sudah sangat akrab. Ada banyak perbincangan yang
menarik. Namun yang paling menarik adalah beberapa nasehatnya tentang keluarga
dan rumah tangga. Sepertinya beliau sekarang aktif di dunia konsultasi. Namun beliau
enggan berterus terang.
Menurut beliau, banyak sekarang problem rumah tangga yang
makin hari makin runyam. Dari masalah cinta rumah tangga yang menapak tua
hingga merasa sudah seperti tak ada lagi rasa. Kemudian masalah komunikasi
suami istri yang berantakan. Masalah perbedaan mendefinisi kebahagiaan. Masalah
finansial yang sering memicu “nyanyian”. Masalah perbedaan latar belakang didikan
keluarga. Sampai masalah perbedaan visi hidup setelah mati. Meskipun beliau
membahasnya tidak serius tapi ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil untuk ditulis.
Beberapa potongan nasehat beliau yang sempat terekam secara
acak adalah:
Seorang suami walaupun punya duit banyak dan kehidupan rumah
tangganya tercukupi agar jangan setiap hari berada di rumah. Selalu nampak
setiap saat di depan istrinya. Sebab wanita itu memiliki rasa bosan dan jenuh
yang melebihi laki-laki. Kalau tidak percaya lihat saja kebiasaannya
menggonta-ganti letak perabotan rumah. Oleh karena itu suami akan dilihat juga di
mata istrinya seperti perabotan yang akan nampak membosankan bila setiap saat
berada di rumah. Maka saran beliau, keluar dan tinggalkanlah rumah meski tidak
ada urusan apa pun. Sebab rasa bosan bila tidak terobati maka dapat berujung
pada perang dunia ketiga.
Saya jadi ingat dengan syair Abu Tammam saat berkata,
وطول مقام المرء في
الحي مخلق # لذيباجتيه فاغترب تتجدد
فإني رأيت الشمس زيدت
محبة # علي الناس أن ليست عليهم بسرمد
"Dan diamnya
seseorang di kampungnya itu sangatlah membosankan dengan selalu memakai dua
kainnya. Maka dari itu pergilah niscaya kamu akan menjadi baru"
"Sungguh aku
melihat matahari yang bertambah dicinta oleh manusia, saat ia tidak selalu
nampak pada mereka"
Dan memang manusia itu dicipta oleh Allah dengan memiliki
sifat keluh kesah. Maka apabila kondisi suami yang punya uang saja seperti itu,
apalagi bila ia suami yang bukan beruang.
Nasehat berikutnya
adalah, seorang suami itu dituntut sabar ukuran XXL. Kodrat laki-laki yang
berlogika lebih banyak akan selalu terbentur dengan kodrat wanita yang lebih
banyak bermain rasa. Misalnya, rasanya tidak enak deh kalau meja dan lemari
setiap hari selalu berada pada tempatnya, maka jadilah rutinitas bahwa perabotan-perabotan
yang tak berdosa itu selalu berganti posisi. Kadang jadi striker, kadang pula
harus menjadi kiper. Pekan depan menjadi winger. Lalu pekan depannya lagi
menjadi stopper. Padahal dalam benak suaminya, bila sebuah meja seumur hidupnya
menjadi kiper pun ia akan menerimanya ikhlas sepenuh hati. Meja tak akan protes
sebagaimana seorang Carlos Tevez yang protes kepada Mancini. Namun itulah rumah
tangga, yang di dalamnya ada dua makhluk Allah yang satu sama lain telah
dicipta berbeda. Jadi nasehat beliau kepada suami, hendaknya ia turuti saja
siklus pergeseran perabot-perabot rumah tangga. Meski kasihan juga nasib
perabotan-perabotan itu, selalu digeser-geser tanpa tahu kenapa. Mudah-mudahan
ia dapat menghibur dirinya dengan bernyanyi,
“tanpa kutahu dosaku”
“tanpa kutahu salahku”
Misalnya lagi, rasanya tidak enak deh kalau tampilan baju,
sandal, sepatu, tas, jilbab dan lain sebagainya itu sama pada setiap saatnya. Kalau
rasa yang ini sih betul juga, namun bila setiap saatnya harus selalu tampil
beda maka pandangan seperti itu yang kadang tidak masuk pada logika seorang
lelaki. Sebab sekali lagi suami biasanya berpikirnya adalah fungsi. Bila sudah
tercapai tujuannya maka fungsi dianggap sempurnya. Makanya berbeda dengan
wanita yang kebanyakan berpikir estetika. Mencapai tujuan harus juga dengan
memoles fungsi. Yah, begitulah rumah tangga. Bila suami tak berusaha bersabar
tingkat ulul azmi maka siap-siap saja rumah tangganya bernasib seperti
perusahaan yang akhirnya gulung tikar.
Tentang sabar ini beliau memberikan nasehat yang agak aneh. Sebenarnya
bukan aneh, namun kelihatannya tidak nyambung. Beliau memberi nasehat bila
seorang istri sedang berada pada puncak ketidakmoodannya alias sedang tidak
menampil diri sebagai permaisuri atau seorang bidadari, maka cukuplah seorang suami
beristighfar sebanyak-banyaknya. Ternyata beliau melihat kekuatan instighfar
dari surat Nuh ayat 10-12 saat Allah berfirman yang artinya,
“maka aku katakan kepada mereka:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,
niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat,
dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
Beliau berkesimpulan bahwa ayat
ini adalah ayat tentang turunnya rahmat Allah kepada orang yang telah meminta
ampun kepada-Nya. Dan boleh jadi rahmat Allah yang lain berupa suasana toto
tentrem lohjinawi dalam rumah tangga juga akan diturunkan oleh Allah bila ada
yang beristighfar di antara suami atau istrinya saat kondisi ribet dan ruwet. Yang
pasti beliau memberikan testimoni, bahwa beliau telah berkali-kali berhasil
menyelamatkan bahtera rumah tangganya dari gangguan-gangguan. Baik gangguan
sinyal maupun gangguan sandal.
Beliau menjelaskan bahwa hampir
tidak ada rumah tangga yang bebas dari pertengkaran, perselisihan, perdongkolan
dan percemberutan. Hampir mustahil kata beliau. Toh rumah tangga Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pun pernah mengalaminya. Apalagi kita. Maka di antara
kesalahan suami atau istri adalah saat mereka telah menanamkan keyakinan bahwa
dengan latar belakang keilmuan mereka karena sama-saa sarjana, atau sama-sama
telah aktif mengikuti kajian-kajian agama, atau sama-sama dari keluarga
terdidik, atau sama-sama keturunan darah biru atau darah merah atau darah putih
atau darah orange, atau sama-sama telah berpenampilan islami, maka tidak bakal
ada sesuatu yang namanya ujian rumah tangga. Tidak akan ada lagi ujian
percekcokan. Tidak akan ada lagi persoalan berjudul pertengkaran.
Atau ada juga kesalahan mereka
saat telah berhasil mengatasi pertengkaran, lalu serta-merta berkeyakinan bahwa
pertengkaran yang semisalnya tidak akan ada lagi. Sebab mereka sudah mampu
mengatasi. Keyakinan ini kata beliau adalah hidden virus yang mematikan. Ya,
mematikan sebab kata beliau bila ada suami atau istri yang berkeyakinan tidak
akan ada pertengkaran maka ia sedang menempatkan dirinya pada posisi yang
lengah. Akhirnya setan dengan tangan kosongnya akan mampu menaklukkannya dengan
sekali sentil. Sebab sekuat apa pun seseorang bila ia dalam posisi lengah maka
sangat mudah menjatuhkannya.
---capek nulis sambil
mengingat-ingat, jadi berhenti dulu sampai disini, mau muroja’ah dulu,,,
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi’ul Awwal 1435 H./4
Januari 2014 M.
Kisah Segar Di Hari Jum’at: Manajemen Komando
Sudah sekitar lima kali ini seorang khathib kebagian tugas
menjadi khathib jum’at di sebuah masjid di tanah Jakarta Timur. Pada kali
pertama menunaikan tugasnya terbilang sukses. Tak ada peristiwa apa pun baik
yang menyegarkan maupun yang menyedihkan. Namun mulai kedua sampai yang kelima,
empat kali berturut-turut terjadilah empat kali kisah yang menyegarkan. Berikut
kronologinya:
Jum’at kedua. Sang khtahib dihubungi agar menjadi khathib,
itu sudah pasti sebab mana mungkin ia dihubungi agar menjadi presenter.
Sesampainya di tempat kejadian perkara, ternyata ada khathib “aki-aki” sudah
datang duluan. Saat ditanya oleh pengurus harian masjid, katanya sudah ada yang
memberi komando agar datang sebagai khathib. Akhirnya khathib yang datang kedua
pun duduk manis sembari merubah niat dari nawaitu khathiiban menjadi nawaitu
makhthuuban.
Jum’at ketiga. Karena pengurus harian masjid merasa tidak
enak dengan sang khathib yang telah dihubungi maka ia meminta dengan hormat
agar jum’at depannya ia bersedia kembali menjadi khathib. Sang khathib pun menyanggupinya,
dari pada nanti dikira jual mahal dan disangka ngambek. Pada hari jum’at yang
telah ditentukan maka sang khathib pun datang. Namun gantian sekarang
pengurusnya yang kaget. Ternyata mereka lupa dengan permohonan mereka pada sang
khathib di jum’at sebelumnya hingga mereka sudah menghubungi khathib lain.
Selanjutnya khathib yang dihubungi itu pun datang. Tapi karena merasa tidak
enak apalagi dengan kejadian jum’at sebelumnya, akhirnya mereka memohon maaf
pada khathib yang telah dihubungi untuk merelakan kesempatannya diganti dulu
oleh sang khathib yang sebelumnya sudah dimohon menjadi khathib.
Berikutnya adalah jum’at keempat. Seperti biasanya sang
khathib diminta untuk menjadi khathib. Ia pun akhirnya datang. Namun apa daya
ternyata jama’ah masjid sama sekali tidak ada. Sebab hari itu tepat hari demo
para buruh. Jadi mereka pergi jum’atan sambil demo atau pergi demo sambil jum’atan.
Wallahu A’lam hanya Allah yang tahu mana yang betul. Yang pasti sang khathib
tidak jadi mendemokan khutbahnya.
Selanjutnya jum’at kelima. Apa yang terjadi? Sang khathib
yang telah dihubungi lagi-lagi merasa tidak enak, terlebih pengurus harian
masjid. Sebab ada lagi “aki-aki” tiba-tiba datang mendahuluinya atas komando
seseorang. Karena masih teringat kejadian perkara pada jum’at kedua, maka
mereka memohon maaf kepada sang khathib “aki-aki” agar merelakan kesempatannya
sekarang kepada khathib yang sudah dihubungi oleh pengurus harian, tak lupa
memohon agar ia datang lagi jum’at depan untuk mendemokan khutbahnya. Semoga mereka
tidak lupa dengan permohonannya.
Jum’at keenam. Wallahu A’lam. Yang jelas persoalan mendasar
masjid tersebut terkait dengan jadwal khathib yang berantakan adalah adanya
pengurus lama yang masih punya otoritas komando jarak jauh. Khathib-khathib di
masa kejayaannya pun masih dalam komandonya hingga perintah sekedar “ya, bapak
bisa datang besok” pun jadilah sebagai pedoman. Walhasil, mereka datang atas
komando mantan panglima sedang ia tak tahu bahwa komandan lapangan juga punya
komando.
Ternyata masjid tersebut awalnya dimiliki oleh sebuah
perusahaan. Setelah perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain otomatis
pengurus masjidnya pun berganti sesuai dengan bergantinya penghuni baru. Nah panglima
lama yang disegani inilah problemnya, karena kedekatannya dengan para khathib
di masanya maka beberapa khathib kadang ada yang datang atau menghubungi beliau
secara khusus agar bisa menjadi khathib, dan karena merasa tidak enak sebab
sudah kenal lama akhirnya ia mainkan komando saktinya.
Yang pasti, ada sebagian orang yang menjadikan masjid
sebagai “makaan lil-irtizaaq”. Maka kita maklumi saja.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.
Kamis, 02 Januari 2014
Sunnah-sunnah Yang Hampir Sulit Diamalkan
Siapa di antara kita yang pernah mengamalkan sebuah hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam berkaitan dengan bolehnya menolak tamu yang datang?
Saya pastikan hampir tidak ada yang pernah. Sebab mengamalkan hadits tentang bolehnya
menolak tamu ibarat mengusir tamu, padahal memang boleh. Namun nyatanya kita masih
menganggap bahwa menolak tamu adalah satu bentuk kesombongan. Saya pernah
sekali mencobanya dan hasilnya sama persis dengan perkiraan dalam hati, pasti
setelahnya ia akan acuh dan malas bertemu lagi, jangankan mampir.
Padahal sejatinya saat Nabi membolehkan menolak tamu adalah
dalam rangka menghargai sang tamu, sebaliknya sang tamu juga menghargai sang
tuan rumah. Tamu yang datang harus dimuliakan, namun di saat tuan rumah repot
maka dikuatirkan bila tetap menerima tamu akan melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya diketahui oleh tamu. Tentunya tidak afdhal bila akhirnya bertamu
kemudian pulang dengan membawa oleh-oleh aib tuan rumah dalam hal kurang
maksimalnya menerima tamu. Maka disinilah sang tamu harus mengerti bahwa ia pun
sebenarnya diselamatkan oleh sunnah Nabinya agar pulang dalam keadaan bersih
tanpa membawa aib tuan rumah. Sebab mulut kita diciptakan tanpa kunci, maka
dari itu ia seringkali lepas kontrol alias dol.
Sunnah bolehnya menolak tamu adalah hadits muttafaq alaih
dari jalan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Meminta izin itu tiga kali, bila diizinkan maka boleh
bagimu dan bila tidak maka kembalilah.”
Dan tahukah kita bahwa meminta izin itu disyari’atkan oleh
Nabi dalam rangka menjaga mata kita dari melihat aib tuan rumah. Begitulah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan pada kita dalam hadits muttafaq alaih
dari jalan Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu yang artinya,
“Sesungguhnya meminta izin itu dibuat demi menjaga
pandangan.”
Beruntung zaman kita sekarang ada teknologi telepon dan
mengirim sms, hingga akhirnya tuan rumah bisa memberi alasan sibuk saat akan
kedatangan tamu. Bayangkan bila teknologi tersebut tidak ada, pasti seringnya
kita adalah berpura-pura ikhlas menerima tamu, padahal boleh kita menolaknya. Itu
pun bila kita berani. Dan keberanian itu karena kita, sebagai tuan rumah atau
sebagai tamu telah mengerti bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
mengajarkannya kepada kita. Bila kita tidak tahu tentang sunnah mulia tersebut pastilah
kita anggap sunnah mulia itu sebagai ajaran aneh bin nyeleneh, hingga akhirnya
kita beranggapan bahwa kita lebih sopan dari beliau. Sebab menolak tamu menurut
kita saat kita tidak tahu adalah suatu bentuk ketidaksopanan.
Dan siapakah di antara kita yang berani sekaligus ikhlas
sepenuh hati mencelup lalat yang jatuh pada minuman kita sedang kita berada di
hadapan orang-orang yang kita anggap orang? Tentu jarang yang berani. Meskipun ada
yang berani pasti pertama-tama ia merasa harus bermuka tebal setebal-tebalnya. Padahal
itu adalah sunnah Nabi kita. Beliau pun telah menjelaskan tentang wahyu dan kebenaran
hikmah di balik pencelupan dan penenggelaman sementara sang lalat yang ia
sendiri pasti tak sengaja nyemplung ke dalam minuman kita.
Sekali lagi, ketidaktahuan kita tentang sunnah mulia ini
akan membuat diri kita menganggap bahwa pebuatan aneh tersebut adalah perkara
yang menjijikkan dan ketidaksopanan yang sejatinya bila kita menganggapnya
seperti itu, maka kita telah menahbiskan diri kita lebih sopan dan lebih bersih
dari Nabi, panutan kita.
Dan tahukah kita bahwa dampak negatif paling nyata yang
ditimbulkan dari ketidaktahuan akan perkara agama adalah seringnya kita membuat
definisi sendiri tentang kebenaran dan kesalahan, juga kebaikan dan keburukan. Yang
benar adalah menurut kita dan yang salah adalah juga menurut kita, yang baik
adalah menurut kita dan yang buruk adalah juga menurut kita.
Bila setiap saat kita membuat definisi sendiri tentang kebenaran
dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, kesantunan dan ketidaksantunan sesuai
dengan anggapan kita dan bukan sesuai dengan agama kita, maka sejatinya kita
telah mengacak-acak ajaran Nabi kita. Dan itu adalah bukti bahwa kita adalah
orang-orang pendusta. Ya, berdusta telah mencintai Nabinya padahal kita tak mau
mengikuti sunnah-sunnahnya.
Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Ali Imran : 31)
Fairuz Ahmad.
Bintara, 1 Rabi’ul Awwal 1435 H./2
Januari 2014 M.
Rabu, 01 Januari 2014
Lelaki Berjubah Lengkap Dengan Sorbannya
Namun tiba-tiba datanglah seseorang yang mengenakan jubah
lengkap dengan sorbannya. Lalu duduk bersama jama'ah turut mendengarkan sang
imam. Demi melihat tamu yang datang, disertai aneka atribut keulamaan yang
dikenakannya, serta merta sang imam menarik kedua kakinya sebagai rasa hormat
padanya. Ya, sang imam mendapati tamu mulia, maka ia memuliakannya. Terlebih
sang tamu adalah seorang ulama juga, begitu kira-kira dalam pikiran sang imam.
Selesai ceramah tibalah saat-saat
bertanya. Dan sang ulama pun mengangkat tangan, tanda mau bertanya. Melihat itu,
sang imam pun bergegas menyiapkan diri untuknya, untuk menjawab pertanyaan sang
ulama.
“Wahai Abu Hanifah, kapankah seseorang sudah boleh berbuka
puasa?”
“Saat matahari telah terbenam.” Abu Hanifah
menjawabnya dengan singkat.
Lalu sang ulama bertanya lagi,
“Bagaimana kalau hari itu matahari belum terbenam?"
Demi mendengar pertanyaan "sang ulama", sang imam
pun segera menyelonjorkan kedua kakinya kembali seraya berkata,
"Telah tiba saatnya bagi Abu Hanifah untuk
menyelonjorkan kakinya kembali".
Bila kita cermati, betapa sosok-sosok
"sang ulama" di atas sungguh sering kita jumpai, bahkan ada pada
semua kalangan masyarakat kita. Sosok yang lebih dikenal dalam peribahasa kita sebagai "tong
kosong nyaring bunyinya", yang juga diungkapkan dalam peribahasa arab "faaqidus
syai'i laa yu'thi", yang tidak memiliki apapun, tak akan memberi
apapun.
Sebuah ironi memang, tapi itulah
kenyataannya.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.
Saat Mata Tersambung Dengan Hati
"Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di
dalam dada."[1]
Mata adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang sangat penting. Ia memiliki fungsi untuk melihat, membaca, menerawang,
menoropong, meneliti dan mungkin masih banyak lagi. Karena ia adalah alat
pengumpul informasi, maka ia ibarat jendela dan pintu masuk bagi rumah ilmu dan
penelitian. Tidak mungkin orang bisa mendapatkan ilmu tanpa membaca, dan juga
tidak mungkin orang dapat melakukan penelitian tanpa dibantu oleh mata.
Walhasil, mata adalah nikmat dari Allah untuk menjadikan kita banyak bersyukur,
seharusnya.
Lihatlah apa jawaban Nabi kita Ibrahim alaihissalam saat ia ditanya oleh Allah, kenapa
masih ingin melihat-Nya?
"Allah berfirman: "Belum
yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi
agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."[2]
Kadang kala kita harus melihat untuk menambah
mantap ilmu dan pengetahuan kita. Karena dengan melihat, mata akan mengumpulkan
informasi tambahan sebagai penguat tentang kebenaran atau ketidakbenaran.
Namun jangan lupa, bahwa Nabi Ibrahim tidak
ingin melihat dengan mata beliau semata lalu urusan selesai. Akan tetapi hasil
penglihatan mata itu kemudian beliau sambungkan dengan keimanan, dan iman
adalah wilayah hati. Sebelumnya, beliau sudah beriman. Sudah menata hati untuk
senantiasa dicondongkan kepada keimanan. Karena hati adalah pusatnya, maka mata
pun akan tunduk kepada hati. Saat mata melihat dan mengumpulkan informasi
penting, ia sudah langsung otomatis tersambung dengan hati. Maka tidak ada
penglihatan yang sia-sia. Semua akan menjadi ilmu. Dan ketersambungan inilah
yang dinamakan "bashirah", gabungan antara penglihatan mata dan
penglihatan hati. Oleh karena itu, Allah menyebut "Ulil Abshaar" bagi
siapa saja yang memiliki kemampuan mengambil "ibrah" dari setiap pengalaman
hidupnya. Dan kemampuan itu mensyaratkan adanya keimanan kepada Allah selaku
Pemilik hati dan mata yang sebenarnya.
Para ahli
tafsir mengatakan, yang dimaksud mengambil ibrah adalah melihat hakikat sesuatu
dan arah maksud dan tujuannya agar mengetahui sesuatu yang lain pada sesuatu
yang dilihatnya itu. Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu berkata, Ulil Abshaar
adalah orang yang memiliki akal dan bashirah.[3]
Saat Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada
kita, bahwa ada sepotong daging di tubuh kita yang menjadi pusat kendali atas
potongan-potongan daging lainnya, maka beliau menyebutkan itulah hati.[4]
Namun yang menjadi masalah besar bagi kita
adalah, bagaimana kita dapat menjadikan sepotong daging itu memiliki fungsi
yang baik dan benar?
Bukankah beliau juga menganjurkan kepada kita
agar selalu bertanya kepada hati? bila kita dihadapkan kepada situasi yang
menuntut kita untuk memilih satu di antara dua perkara, maka beliau menyuruh
kita untuk meminta fatwa hati kita saat beliau mengatakan:
"Mintalah fatwa
kepada hatimu"[5]
Lalu hati yang bagaimanakah yang mampu
memberikan fatwa yang benar itu?
Itulah yang telah disinggung oleh Nabi
Ibrahim pada ayat di atas. Bahwa harus ada iman di dalam hati agar hati menjadi
benar, dan keimanan harus senantiasa diupayakan agar ia terus bertambah, salah
satunya dengan melihat, dan itu pekerjaan mata.
Banyak orang bisa melihat banjir, namun
banyak juga yang kemudian tidak bisa melihat kenapa bisa banjir?
Bukankah kita harus bisa melihat diri,
kebiasaan dan mungkin budaya kita, bahwa kita seenaknya membuang sampah?
Sampah termasuk sesuatu yang harus
disingkirkan karena ia mengganggu mata dan lingkungan, bahkan tak jarang ia bisa
menyebabkan pertengkaran. Karenanya, Islam menyebutkan bahwa menyingkirkan
gangguan baik di jalanan maupun di lingkungan adalah bagian dari cabang
keimanan.[6]
Banyak orang bisa melihat akibat kemarau,
namun banyak juga yang tidak bisa melihat kenapa kemarau bisa ada dan bahkan
sangat panjang?
Barangkali sudah sangat banyak orang yang
tidak bisa lagi melihat, perilaku apa yang harus dilakukan sehingga keberkahan
Allah itu bisa turun dari langit ? Bukankah kita harus bisa melihat, bahwa di
antara penyebab kemarau adalah banyaknya orang yang menahan zakat ?, atau berperilaku
"aneh dan nyeleneh" terhadap alam sekitar?[7]
Jadi, kadang kita terlihat aneh bila hanya
melihat banjir sebagai banjir, kemarau sebagai kemarau, lalu diakhiri dan
dikunci dengan ungkapan gerutuan dan keluhan.
Maka, marilah kita lihat diri kita
masing-masing, adakah perilaku yang terasa "aneh"?
Tapi, tentunya hanya bisa merasa aneh bila
hatinya tidak "aneh". Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, ahad pagi 13 Rabi'ul Akhir 1434 H./
24 Februari 2013 M.
------------
Catatan :
[1] (Al-Hajj: 46).
[2] (Al-Baqarah 260).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, Surat Al-Hasyr ayat 2
oleh Imam Fahruddin Ar-Razy Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain
Al-Qurasyi At-Thibristany. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut. Cet. 1425 H./ 2004
M.
[4] Hadits riwayat Bukhari dari An-Nu'man bin
Basyir, Kitabul Iman No. 52.
[5] Dari Wabishah bin
Ma'bad ra, ia berkata :
"Saya mendatangi
Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang
kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada
hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu
menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu
di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.”
(Imam Nawawi berkata,
"Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari dua kitab Musnad; Ahmad
bin Hanbal 17545.dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
[6] Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu
berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Iman memiliki
lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah
perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang
iman." (Shahih Muslim, Kitabul Iman No. 35.)
[7] Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
bersabda :
“Wahai sekalian Muhajirin, kalau kalian
sudah tertimpa lima hal, tapi aku berlindung
kepada Allah agar kalian tidak menemui lima
hal ini :
- Tidak akan merajalela suatu perbuatan keji (zina dan sejenisnya) pada suatu kaum sampai-sampai mereka berani melakukannya terang-terangan kecuali Allah akan mewabahkan penyakit Tha’un dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada sebelum mereka.
- Kalau mereka sudah mengurangi takaran dan timbangan maka mereka akan ditimpa paceklik dan beban hidup yang berat serta kebegisan penguasa.
- Kalau mereka tidak mau mengeluarkan zakat harta mereka maka hujan akan ditahan dari langit dan kalau bukan karena hewan mereka tidak akan diberi hujan.
- Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari kelompok di luar mereka yang merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
- Selama para pemimpin mereka TIDAK MAU BERHUKUM DENGAN KITAB Allah DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENCARI KEBAIKAN DALAM APA YANG DITURUNKAN Allah niscaya Allah akan membuat mereka saling menyakiti satu sama lain.”
(HR. Ibnu Majah, dianggap shahih oleh
Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 105, no. 106 karena
mempetimbangkan banyak jalur yg menguatkannya).
Berikan Meski Hanya Sisa
Pasti akan ada banyak ungkapan mengenai kata itu. Yang
sering muncul adalah bayangan kita tentang sesuatu yang sudah tidak perlu lagi
diperhatikan, semisal sisa makanan atau sisa minuman.
Atau bayangan kita tentang sesuatu yang kadang dianggap
sepele, dan bisa juga sangat berharga. Misalnya, ketika pemalas berkata:
"masih ada sisa waktu untuk dilakukan nanti",
dan seorang yang bermental optimis yang berkata:
"mumpung masih ada sisa waktu".
Semua ungkapan tentang kata "sisa" yang berbeda,
sesuai dengan perbedaan dalam memaknai kata itu.
Tapi, pernahkah kita memberi arti lain pada kata sisa saat ia
digandeng dengan kata senyuman? Sehingga kata-katanya menjadi seperti ini, sisa
senyuman. Mungkin kita juga akan mengartikan, bahwa sisa senyuman adalah
sesuatu yang sepele. Yang tinggal sisanya dan tak perlu lagi untuk
diperhatikan. Yang ketika kita tidak mendapatkan bagiannya pun tidak menjadi
masalah. Karena hanya sisa, sisa dari senyuman.
Namun, ketika kita memberi arti sisa senyuman dengan arti
bekas, mungkin akan nampak perbedaannya. Akan berbeda antara makanan dan
minuman bersisa dengan senyuman bersisa, apalagi antara bekas makanan dan bekas
senyuman.
Manakala kita menyisakan senyuman untuk tetangga kita, atau
kita diberikan sebuah senyuman yang panjang, boleh jadi itu adalah senyuman
yang penuh keikhlasan, bukan sekedar senyuman basa-basi. Karena ikhlas akan
memunculkan tanda, dan tandanya adalah bekas.
Karena pada dasarnya mulut kita yang tersenyum adalah hasil
pekerjaan hati. Dan apa yang dilakukan hati adalah hasil pekerjaan ikhlas. Dan
muara ikhlas adalah iman.
Maka, sisakanlah senyuman di mulut kita sebagai tanda, itu
bukan basa-basi. Senyum kita di mulut, juga senyum kita di hati. Suasana mulut,
adalah suasana hati. Seorang Penyair Arab berkata :
إن الكلام لفي الفؤاد وإنما جعل اللسان علي
الفؤاد دليلا
"Sungguh kata-kata adanya di dalam hati, sedang
lidah, ia dicipta sebagai petunjuk hati"
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 April 2009 M.
Kenapa Mereka Membunuhku..?
Syeikh Sayyid Quthub semoga Allah merahmatinya.
Apa gerangan yang telah dilakukan oleh orang mulia ini ?
Beliau
dihukum mati karena menulis buku Ma'alim Fit Thariq. Beliau dipenjara,
diasingkan dan divonis dengan hukuman mati. Saat itulah datang Presiden
Irak meminta dan bersumpah kepada Presiden Jamal Abden Naser agar tidak
menghukum mati Sayyid Quthub. Ia akan membawa beliau pergi ke Irak.
Karena Presiden Abdul Karim Arif (sepertinya ada kesalahan sebut nama,
seharusnya Abdus Salam Arif, sedangkan Abdul Karim nama belakangnya
Qasim, ia Presiden Irak yang mati dalam perebutan kekuasaan dan
digantikan oleh Abdus Salam Arif tahun 1383 H. /1963, penerj.) saat
berada dipenjara, ia sangat terpengaruh dengan tulisan-tulisan Syeikh
Sayyid Quthub. Maka ketika ia sampai di penjara Sayyid Quthub, ia
menyampaikan kepadanya bahwa ia ingin membawanya ke Irak dan akan
memberinya semua kemudahan baginya. Ia boleh menerapkan syari'at,
menegakkan khilafah, mendakwahkan kebenaran dan mengajak kepada agama
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi Syeikh Sayyid Quthub menolak
semuanya dan berkata :
"Demi Allah sungguh bodoh sekali
saat ada orang yang telah datang kepadanya nikmat syahid setelah 60
tahun umurnya lalu ia menolak."
Selanjutnya Syeikh Sayyid
Quthub tetap memegang prinsip dan fatwanya. Akhirnya mereka membawa
saudara perempuan beliau ke penjara. Mereka tahu bahwa saudarinya ini
memiliki tempat khusus di hati Syeikh, beliau sangat mencintai
saudarinya tersebut.
Mereka mendatangkan saudarinya agar
dapat mempengaruhi Syeikh dan memelas kepadanya karena kedudukannya di
hati Syeikh. Maka setibanya ia di penjara Sayyid Quthub dan memohon agar
beliau mau menarik pendapatnya, Syeikh menolaknya.
Berikutnya
beliau bermimpi sebelum kematiannya melihat sebuah botol berisi madu
yang pecah, selanjutnya madu itu mengalir di kamar sampai keluar pintu
dan terus mengalir. Beliau kemudian menafsirkannya bahwa ilmunya yang
mana ia akan mati karenanya, akan tersebar sampai ke segenap penjuru
dunia. Dan terbukti bahwa hal itu telah terjadi, ilmunya telah menyebar.
Kemudian
mereka membawa Syeikh untuk dihukum mati. Namun sebelumnya mereka
mendatangkan beberapa Masyayikh atau orang-orang yang menisbatkan
dirinya kepada ilmu ke hadapan beliau dan berkata kepada Syeikh Sayyid
Quthub:
"Katakanlah Asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulallah..".
Maka beliau menjawab padanya:
"Dan
anda adalah bagian terakhir dari drama ini…anda berkata kepada saya
agar mengucapkan Laa ilaaha illallah sedang saya dihukum mati karena hal
itu.."
Syeikh pun tertawa dan berlalu. Selanjutnya beliau mendapatkan syahidnya fi sabilillah.
Terjemahan oleh: Fairuz Ahmad
Sepenggal Hikmah Tentang Prioritas Cinta
Ada banyak gambaran tentang indahnya malam pertama, bulan madu dan
berbagai sebutan yang lain, bagi pasangan suami – istri yang baru saja
disahkan status hukumnya dalam sebuah ritual pernikahan. Wajar jika
peristiwa itu digambarkan secara indah bahkan melodramatis, karena
memang peristiwa itu indah, membahagiakan dan penuh harapan tentang situasi yang kan lebih baik dan sempurna.
Segala resah rindu dan gelora hati yang membadai seakan mengalami proses penuntasan, pada saat seseorang baru saja melangsungkan pernikahan. Karena itu, banyak kalangan yang begitu mengistimewakan bulan madu mereka, dengan harapan segala keindahan itu dapat terpatri kuat dalam hati masing-masing pasangan, bahwa mereka pernah begitu dekat, saling menyayangi dan saling membutuhkan. Mereka ingin mengabadikan peristiwa sakral tersebut dan berharap hari – hari indah itu tidak akan pernah berlalu.
Maka tidak banyak pasangan suami-istri yang sedang berbulan madu yang mau terganggu oleh urusan-urusan lain, karena akan mengurangi upaya mereka dalam menikmati indahnya menjadi pengantin baru. Apa lagi agama juga mensunahkan adanya proses semacam bulan madu ini.
Demikian juga yang sedang dialami oleh Hanzhalah bin Abu Amir. Ia baru saja melangsungkan upacara pernikahan. Sehingga statusnya adalah pengantin baru. Pada zaman Rasulullah bulan madu tidak dilakukan dengan rekreasi atau jalan-jalan ketempat romantis, mereka melakukannya dengan tinggal di rumah dengan menikmati apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah azza wa jalla bagi mereka. Demikian juga yang dilakukan oleh Hanzhalah, ia dan istrinya berbulan madu dengan menikmati kebersamaan mereka di rumah. Meski tanpa pesta dan riasan yang bermacam-macam rupa, Hanzhalah dan istrinya dapat menikmati kebahagiaan yang sempurna sebagai pasangan suami-istri baru. Semuanya serba sederhana namun perpaduan cinta yang tulus dalam ikatan suci tali pernikahan yang diberkahi Allah, mendatangkan berbagai kemewahan rasa spiritual yang melampaui segala macam pesta dan hura-hura yang pernah dibikin manusia.
Ketika kebahagiaan itu membuncah dalam cinta dan kasih-sayang yang murni, ketika rasa memiliki terhadap kekasih begitu cepat berurat-berakar dalam hati, ketika kebersamaan diantara mereka terasa begitu indah dan keinginan untuk selalu bersama tanpa terpisahkan menjadi doa dan harapan yang paling mereka inginkan, tiba-tiba genderang perang itu di tabuh. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mengumumkan kepada segenap kaum muslimin untuk bersiaga. Mereka akan mencegat pasukan kafir Qurays di bukit Uhud. Semua kaum laki-laki baligh yang sehat jasmani & ruhani wajib untuk turut berjihad di jalan Allah.
Hanzhalah Sang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madunya, mendengar seruan-seruan itu. Ia sedang memadu kasih ketika itu, sehingga meskipun seruan itu telah ia dengar Hanzhalah tidak sempat untuk menyiapkan diri sebagaimana mestinya.
Begitu keluar rumah, kaum muslimin telah bergerak memenuhi panggilan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam untuk berjihad. Tanpa pikir panjang Hanzalah pun menyambar peralatan perangnya, serta bergegas untuk bergabung dengan pasukan Islam yang lain. Ia tinggalkan istrinya, ia tinggalkan semua keindahan yang berhak ia nikmati di rumahnya, karena panggilan jihad membela agama Allah adalah diatas segalanya.
Ketika peperangan berkecamuk, para sahabat Rasulullah yang lain menyaksikan betapa garangnya Hanzhalah di medan laga. Hanzhalah mampu terus merangsek maju membabat musuh-musuh Allah hingga ia dapat berhadapan langsung dengan panglima kafir Qurays yakni Abu Sufyan bin Harb. Hanzhalah bahkan telah mampu menundukkan Abu Sufyan, namun ketika eksekusi akan ia lakukan terhadap Abu Sufyan, tiba-tiba tikaman pedang Syaddad bin Al-Aswad salah salah satu anggota laskar kafir Qurays mendahului menembus dadanya.
Hanzhalah pun gugur. Bersama para syuhada Uhud yang lain. Para sejarawan dan penulis tarikh menyebutkan bahwa ada 73 orang tentara muslim yang menemui syahidnya pada peperangan ini. Arwah mereka langsung menuju kehadirat Allah. Syurga yang telah dijanjikan Allah sudah menunggu.
Hanzhalah adalah salah seorang dari mereka. Ia tidak sekedar sahid, tetapi ia juga memberikan pelajaran cinta yang begitu agung bagi generasi muslim setelahnya. Prioritas cintanya kepada Allah dan Rasulnya yang telah berhasil ditempatkannya pada proporsi yang semestinya, dimana cinta itu melampaui cintanya kepada apapun di muka bumi ini. Termasuk cinta kepada istri yang baru saja dinikahinya.
Ketika peperangan usai, mayat para syuhada itu pun di kumpulkan oleh para prajurit Islam untuk diurus sebagaimana mestinya. Para prajurit dan sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kemudian menemukan jasad Hanzhalah agak terpisah dibandingkan jasad yang lain. Mereka menemukan kejanggalan pada jasad Hanzhalah. Jasadnya terbujur di gundukan tanah yang lebih tinggi, dalam keadaan basah seperti habis dimandikan, demikian juga tanah dan pasir disekeliling nya masih menyisakan percikan air. Padahal ketika itu hari tidak turun hujan.
Para sahabat mendatangkan Rasulullah ketempat itu dan melaporkan apa yang mereka lihat. Kemudian Rasulullah setelah menghampiri tempat terbaringnya jasad Hanzhalah, beliau bersabda; “ Para malaikat sedang memandikan jenazah Hanzhalah. Kemudian Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menanyakan perihal Hanzhalah, sebelum berangkat ke medan tempur, kepada keluarganya.
Sepulang dari medan pertempuran, Dari Istrinya Hanzhalah, para sahabat Rasulullah tersebut memperoleh penjelasan, bahwa pada saat pengumuman perang dikumandangkan, Hanzhalah sedang bercumbu dengannya. Kemudian setelah selesai Hanzhalah tidak sempat mandi, padahal ia sedang dalam kondisi junub. Hanzhalah langsung menyambar aperalatan perangnya dan langsung bergabung dengan pasukan Islam.
Dengan adanya peristiwa ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat). Sungguh mulia iman Hanzhalah. Ia bukan malas atau menunda-nunda untuk mandi junub, tetapi situasilah yang membuat ia tergesa, sehingga tidak ada kesempatan untuk sekedar bersuci.
Allah yang Maha Tahu, berkenan memberikan penghormatan yang tinggi pada jasad mujahid ini, sehingga mandi yang ditunda oleh Hanzhalah demi jihad di jalan Allah langsung digantikan oleh Allah. Hanzhalah dimandikan oleh Malaikat Allah. Sungguh penghormatan dan penghargaan yang sangat langka. Seorang hamba biasa, bukan Nabi bukan pula Rasul Allah, tetapi malaikat turun ke bumi untuk mensucikannya.
*di kutip dari Buku Jejak Malaikat di Bumi Karya M. Hilal Tri Anwari, terbitan Pustaka Al Kautsar
Segala resah rindu dan gelora hati yang membadai seakan mengalami proses penuntasan, pada saat seseorang baru saja melangsungkan pernikahan. Karena itu, banyak kalangan yang begitu mengistimewakan bulan madu mereka, dengan harapan segala keindahan itu dapat terpatri kuat dalam hati masing-masing pasangan, bahwa mereka pernah begitu dekat, saling menyayangi dan saling membutuhkan. Mereka ingin mengabadikan peristiwa sakral tersebut dan berharap hari – hari indah itu tidak akan pernah berlalu.
Maka tidak banyak pasangan suami-istri yang sedang berbulan madu yang mau terganggu oleh urusan-urusan lain, karena akan mengurangi upaya mereka dalam menikmati indahnya menjadi pengantin baru. Apa lagi agama juga mensunahkan adanya proses semacam bulan madu ini.
Demikian juga yang sedang dialami oleh Hanzhalah bin Abu Amir. Ia baru saja melangsungkan upacara pernikahan. Sehingga statusnya adalah pengantin baru. Pada zaman Rasulullah bulan madu tidak dilakukan dengan rekreasi atau jalan-jalan ketempat romantis, mereka melakukannya dengan tinggal di rumah dengan menikmati apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah azza wa jalla bagi mereka. Demikian juga yang dilakukan oleh Hanzhalah, ia dan istrinya berbulan madu dengan menikmati kebersamaan mereka di rumah. Meski tanpa pesta dan riasan yang bermacam-macam rupa, Hanzhalah dan istrinya dapat menikmati kebahagiaan yang sempurna sebagai pasangan suami-istri baru. Semuanya serba sederhana namun perpaduan cinta yang tulus dalam ikatan suci tali pernikahan yang diberkahi Allah, mendatangkan berbagai kemewahan rasa spiritual yang melampaui segala macam pesta dan hura-hura yang pernah dibikin manusia.
Ketika kebahagiaan itu membuncah dalam cinta dan kasih-sayang yang murni, ketika rasa memiliki terhadap kekasih begitu cepat berurat-berakar dalam hati, ketika kebersamaan diantara mereka terasa begitu indah dan keinginan untuk selalu bersama tanpa terpisahkan menjadi doa dan harapan yang paling mereka inginkan, tiba-tiba genderang perang itu di tabuh. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mengumumkan kepada segenap kaum muslimin untuk bersiaga. Mereka akan mencegat pasukan kafir Qurays di bukit Uhud. Semua kaum laki-laki baligh yang sehat jasmani & ruhani wajib untuk turut berjihad di jalan Allah.
Hanzhalah Sang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madunya, mendengar seruan-seruan itu. Ia sedang memadu kasih ketika itu, sehingga meskipun seruan itu telah ia dengar Hanzhalah tidak sempat untuk menyiapkan diri sebagaimana mestinya.
Begitu keluar rumah, kaum muslimin telah bergerak memenuhi panggilan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam untuk berjihad. Tanpa pikir panjang Hanzalah pun menyambar peralatan perangnya, serta bergegas untuk bergabung dengan pasukan Islam yang lain. Ia tinggalkan istrinya, ia tinggalkan semua keindahan yang berhak ia nikmati di rumahnya, karena panggilan jihad membela agama Allah adalah diatas segalanya.
Ketika peperangan berkecamuk, para sahabat Rasulullah yang lain menyaksikan betapa garangnya Hanzhalah di medan laga. Hanzhalah mampu terus merangsek maju membabat musuh-musuh Allah hingga ia dapat berhadapan langsung dengan panglima kafir Qurays yakni Abu Sufyan bin Harb. Hanzhalah bahkan telah mampu menundukkan Abu Sufyan, namun ketika eksekusi akan ia lakukan terhadap Abu Sufyan, tiba-tiba tikaman pedang Syaddad bin Al-Aswad salah salah satu anggota laskar kafir Qurays mendahului menembus dadanya.
Hanzhalah pun gugur. Bersama para syuhada Uhud yang lain. Para sejarawan dan penulis tarikh menyebutkan bahwa ada 73 orang tentara muslim yang menemui syahidnya pada peperangan ini. Arwah mereka langsung menuju kehadirat Allah. Syurga yang telah dijanjikan Allah sudah menunggu.
Hanzhalah adalah salah seorang dari mereka. Ia tidak sekedar sahid, tetapi ia juga memberikan pelajaran cinta yang begitu agung bagi generasi muslim setelahnya. Prioritas cintanya kepada Allah dan Rasulnya yang telah berhasil ditempatkannya pada proporsi yang semestinya, dimana cinta itu melampaui cintanya kepada apapun di muka bumi ini. Termasuk cinta kepada istri yang baru saja dinikahinya.
Ketika peperangan usai, mayat para syuhada itu pun di kumpulkan oleh para prajurit Islam untuk diurus sebagaimana mestinya. Para prajurit dan sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kemudian menemukan jasad Hanzhalah agak terpisah dibandingkan jasad yang lain. Mereka menemukan kejanggalan pada jasad Hanzhalah. Jasadnya terbujur di gundukan tanah yang lebih tinggi, dalam keadaan basah seperti habis dimandikan, demikian juga tanah dan pasir disekeliling nya masih menyisakan percikan air. Padahal ketika itu hari tidak turun hujan.
Para sahabat mendatangkan Rasulullah ketempat itu dan melaporkan apa yang mereka lihat. Kemudian Rasulullah setelah menghampiri tempat terbaringnya jasad Hanzhalah, beliau bersabda; “ Para malaikat sedang memandikan jenazah Hanzhalah. Kemudian Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menanyakan perihal Hanzhalah, sebelum berangkat ke medan tempur, kepada keluarganya.
Sepulang dari medan pertempuran, Dari Istrinya Hanzhalah, para sahabat Rasulullah tersebut memperoleh penjelasan, bahwa pada saat pengumuman perang dikumandangkan, Hanzhalah sedang bercumbu dengannya. Kemudian setelah selesai Hanzhalah tidak sempat mandi, padahal ia sedang dalam kondisi junub. Hanzhalah langsung menyambar aperalatan perangnya dan langsung bergabung dengan pasukan Islam.
Dengan adanya peristiwa ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat). Sungguh mulia iman Hanzhalah. Ia bukan malas atau menunda-nunda untuk mandi junub, tetapi situasilah yang membuat ia tergesa, sehingga tidak ada kesempatan untuk sekedar bersuci.
Allah yang Maha Tahu, berkenan memberikan penghormatan yang tinggi pada jasad mujahid ini, sehingga mandi yang ditunda oleh Hanzhalah demi jihad di jalan Allah langsung digantikan oleh Allah. Hanzhalah dimandikan oleh Malaikat Allah. Sungguh penghormatan dan penghargaan yang sangat langka. Seorang hamba biasa, bukan Nabi bukan pula Rasul Allah, tetapi malaikat turun ke bumi untuk mensucikannya.
*di kutip dari Buku Jejak Malaikat di Bumi Karya M. Hilal Tri Anwari, terbitan Pustaka Al Kautsar
Langganan:
Postingan (Atom)