Saya akhirnya menyimpulkan sekaligus
menambahkan dalam tulisan ini bahwa kesalahan keyakinan ini sebenarnya bisa
dicari dasarnya dari sebuah ayat Alquran dan juga hadits Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Ayat yang bisa dijadikan sandaran bahwa ujian itu pasti
datang meski sudah dilakukan antisipasi sebelumnya adalah ayat 63 di surat Al
Furqaan saat Allah berfirman yang artinya,
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang senantiasa berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.”
Saat Allah berkata “khaathaba”
yang artinya menyapa, mengatai dan lain-lain, maka Ia menggunakan kata kerja
bentuk lampau. Dan sebagaimana dalam bahasa Arab bahwa salah satu fungsi kata
kerja bentuk lampau adalah menjelaskan tentang benar terjadinya pekerjaan. Artinya,
orang-orang jahil itu sudah dipastikan ada dan pekerjaan mereka yang
mengata-ngatai itu pun pasti ada. Padahal Allah telah menjelaskan sebelumnya
bahwa hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu hendaknya berjalan di atas bumi
dengan rendah hati, namun demikian ujian orang-orang jahil tetaplah ada.
Demikian juga saat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Jika Allah mencintai suatu
kaum maka ia (pasti) mengujinya.”
Saat beliau berkata “Ia (Allah)
mengujinya” maka beliau menggunakan kata kerja bentuk lampau. Artinya, Allah
pasti memberikan ujian padanya, meski ia telah memperiapkan diri dengan ilmu,
aktif di kajian-kajian agama, selalu berusaha menjadi hamba yang shaleh dan
lain sebagainya. Saat ia semakin dicintai oleh Allah maka ia harus tahu bahwa
cintanya kepada Allah juga harus diuji dan dibuktikan. Apakah mereka lulus dari
ujian pertengkaran dalam rumah tangga sehingga masih tetap mempertahankannya
hingga selamat sampai surga.
Kita kembali pada nasehat kawan
saya, sebab kalau banyak penambahan dari saya nanti isi nasehat yang tadinya manis
akan berubah asam, karena bagaimana pun juga yang namanya tambahan itu dapat
menyebabkan perubahan. Kalau dalam ilmu hadits ada masalah ziyaadatunnash atau
ziyaadaturraawi, yaitu matan tambahan, dan matan tambahan ini seringkali
menjadi persoalan rumit bagi para ahli hadits.
Baliau mengatakan bahwa ujian
paling berat adalah perbedaan. Beliau menjelaskan ada dua perbedaan mendasar sesuai
dengan kasus-kasus yang pernah beliau tangani yaitu;
Latar belakang didikan orang tua.
Pada pembahasan ini beliau agak
serius sebab rata-rata kasus yang sampai padanya adalah pertengkaran yang
disebabkan oleh karakter yang sifatnya “accident” (kalau bahasa Arabnya, thabii’ah
muktasabah, kebalikan dari thabii’ah wiraatsiyyah). Karakter ini diperoleh dari
latar belakang dan lingkungan rumah tangga orang tuanya. Ternyata banyak kasus
penelitian beliau bahwa yang melatarbelakangi seseorang menjadi berkarakter
tertentu banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga orang tuanya. Bila broken
home maka biasanya rumah tangga anaknya akan menyerempet dan bahkan meniru
seperti rumah tangga orang tuanya. Maka dari itu karakter baik dan buruk semua
kembali kepada orang tua. Sampai disini saya akan tambahkan dulu,
Sepertinya masalah pembentukan karakter ini perlu diseriusi
oleh siapa pun yang akan menjadi suami atau istri. Sebab mereka akan menjadi
orang tua. Bila ia mewariskan karakter baik pada anak-anaknya maka anak-anaknya
akan membahagiakan pasangan masing-masing. Begitu pula sebaliknya. Maka hati-hatilah
wahai orang tua, suatu saat kita telah mati namun tak sadar dosa-dosa masih terus
mengalir. Apa sebabnya? Sebabnya kita telah membuat lingkungan buruk yang
lantas diadopsi oleh anak-anak kita, selanjutnya ia memiliki rumah tangga yang
menyeramkan dunia karena tiap saatnya berisi pertengkaran. Bukankah pertengkaran
itu membuat luka hati? Dan luka hati itu berpotensi menumpuk dosa? Maka dari
manakah dosa itu disebabkan kecuali dari didikan orang tua yang salah kepada
anak-anaknya. Bila ditakdirkan anak-anaknya terus memiliki keturunan sampai
hari kiamat dengan karakter yang sama, maka janganlah kita mencela kecuali diri
kita sendiri. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah
memperingatkan kita,
“Dan barang siapa yang mencontohkan keburukan maka
baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya.”
Latar belakang ilmu agama.
Sebenarnya latar belakang didikan orang tua yang salah masih
bisa diantisipasi oleh asupan ilmu agama. Namun problemnya adalah kemauan untuk
belajar.
Dua latar belakang inilah yang menentukan siapa sejatinya
suami dan siapa sejatinya istri. Bagaimana ia memandang dan memanajemen hidup
rumah tangga tergantung pada dua latar belakang ini. Bagaimana ia memandang
kebahagiaan, pertengkaran, kesantunan terhadap pasangan, penghargaan terhadap pasangan,
kewajiban berbuat baik dan meneladankan kebaikan kepada anak-anak, sampai pada
urusan memandang hal-hal yang kadang terlihat sepele seperti
pekerjaan-pekerjaan rumah. Bila latar belakang didikan orang tuanya baik dan
latar belakang ilmu agamanya juga baik maka rumah tangganya akan baik pula.
Beliau lantas mencontohkan sebuah kasus yang sebenarnya
lumrah terjadi, ada pasangan yang memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Bisa
dikatakan hampir 180 derajat--tanpa celcius, karena bukan sedang membicarakan
temperatur udara. Yang satu memandang bahwa kebahagiaan adalah bila pasangannya
mampu membahagiakannya. Sedang pasangannya tidak demikian, yang namanya
kebahagiaan tidak bisa didatangkan dari luar, sebab merasa bahagia itu apabila
dirinya sendiri bahagia apa pun kondisinya, baik kondisi pasangannya,
anak-anaknya, orang tua sampai tetangga-tetangganya. Karena betapa pun baiknya
orang-orang di sekitarnya tapi bila dirinya menganggap kebaikannya itu masih
kurang ya tetap saja ia tak akan meraih bahagia. Oleh karena itu, di antara
keluhan orang tersebut kata beliau adalah, selalu mengatakan bahwa pasangannya
tak pernah bisa membahagiakannya. Kata beliau, ya mana mungkin kamu bisa
bahagia lha wong mendefinisikan kebahagiaan saja sesuai dengan maunya
sendiri.
Disnilah kata beliau sabar ukuran XXL itu sangat dituntut. Dan
kebanyakan yang dituntut bersabar ukuran jumbo ini adalah laki-laki. Beliau mengambil
kesimpulan itu dari wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum
lelaki,
“Dan berwasiatlah kepada wanita-wanita dengan kebaikan.”
Itu adalah perintah kepada kaum lelaki. Saya jadi teringat
seorang dosen dari Mesir bernama Dr. Rabii’, saat menjelaskan tentang pelajaran
nahwu ada sedikit menyinggung tentang wanita, tiba-tiba ia langsung komentar,
“Az zaujatu katriiran maa tansaa fadhla zaujihi,
khaashshatan idzaa dhahara minhu maa takrahuhu wa in kaana qaliilan”
Saya akan artikan namun sebelumnya saya mohon maaf kepada
yang merasa tersungging, ini dari dosen saya bukan dari saya,
“Seorang istri itu sering lupa kebaikan suaminya,
khususnya jika telah tampak sesuatu darinya apa yang istrinya tidak suka
padanya, meski sesuatu itu sedikit.”
Akhirnya beliau (beliau disini adalah kawan saya dan bukan
dosen saya) menambahkan, bisa dibayangkan bila ada pasangan yang memiliki
perbedaan pada semua hal, satu suka warna hitam satunya putih, satu suka
jalan-jalan satunya tidak suka, satunya suka asin satu lagi suka manis, satu
suka satu lagi tidak suka. Walhasil bakal ramai dunia. Dari perang baratayudha sampai
perang malvinas juga bakalan kalah ramai. Dan kuncinya hanya satu, apalagi
kalau bukan sabar.
---masih bersambung lagi, karena baru sampai Jawa Tengah,
moga dapat dilanjutkan sampai Merauke,,,
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal
1435 H./4 Januari 2014 M.