Sabtu, 04 Januari 2014

Nasehat Mengatasi Perang Dunia Ketiga Dalam Rumah Tangga [2]

Saya akhirnya menyimpulkan sekaligus menambahkan dalam tulisan ini bahwa kesalahan keyakinan ini sebenarnya bisa dicari dasarnya dari sebuah ayat Alquran dan juga hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ayat yang bisa dijadikan sandaran bahwa ujian itu pasti datang meski sudah dilakukan antisipasi sebelumnya adalah ayat 63 di surat Al Furqaan saat Allah berfirman yang artinya,

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang senantiasa berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”

Saat Allah berkata “khaathaba” yang artinya menyapa, mengatai dan lain-lain, maka Ia menggunakan kata kerja bentuk lampau. Dan sebagaimana dalam bahasa Arab bahwa salah satu fungsi kata kerja bentuk lampau adalah menjelaskan tentang benar terjadinya pekerjaan. Artinya, orang-orang jahil itu sudah dipastikan ada dan pekerjaan mereka yang mengata-ngatai itu pun pasti ada. Padahal Allah telah menjelaskan sebelumnya bahwa hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu hendaknya berjalan di atas bumi dengan rendah hati, namun demikian ujian orang-orang jahil tetaplah ada.
Demikian juga saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Jika Allah mencintai suatu kaum maka ia (pasti) mengujinya.”

Saat beliau berkata “Ia (Allah) mengujinya” maka beliau menggunakan kata kerja bentuk lampau. Artinya, Allah pasti memberikan ujian padanya, meski ia telah memperiapkan diri dengan ilmu, aktif di kajian-kajian agama, selalu berusaha menjadi hamba yang shaleh dan lain sebagainya. Saat ia semakin dicintai oleh Allah maka ia harus tahu bahwa cintanya kepada Allah juga harus diuji dan dibuktikan. Apakah mereka lulus dari ujian pertengkaran dalam rumah tangga sehingga masih tetap mempertahankannya hingga selamat sampai surga.

Kita kembali pada nasehat kawan saya, sebab kalau banyak penambahan dari saya nanti isi nasehat yang tadinya manis akan berubah asam, karena bagaimana pun juga yang namanya tambahan itu dapat menyebabkan perubahan. Kalau dalam ilmu hadits ada masalah ziyaadatunnash atau ziyaadaturraawi, yaitu matan tambahan, dan matan tambahan ini seringkali menjadi persoalan rumit bagi para ahli hadits.
Baliau mengatakan bahwa ujian paling berat adalah perbedaan. Beliau menjelaskan ada dua perbedaan mendasar sesuai dengan kasus-kasus yang pernah beliau tangani yaitu;

Latar belakang didikan orang tua.
Pada pembahasan ini beliau agak serius sebab rata-rata kasus yang sampai padanya adalah pertengkaran yang disebabkan oleh karakter yang sifatnya “accident” (kalau bahasa Arabnya, thabii’ah muktasabah, kebalikan dari thabii’ah wiraatsiyyah). Karakter ini diperoleh dari latar belakang dan lingkungan rumah tangga orang tuanya. Ternyata banyak kasus penelitian beliau bahwa yang melatarbelakangi seseorang menjadi berkarakter tertentu banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga orang tuanya. Bila broken home maka biasanya rumah tangga anaknya akan menyerempet dan bahkan meniru seperti rumah tangga orang tuanya. Maka dari itu karakter baik dan buruk semua kembali kepada orang tua. Sampai disini saya akan tambahkan dulu,

Sepertinya masalah pembentukan karakter ini perlu diseriusi oleh siapa pun yang akan menjadi suami atau istri. Sebab mereka akan menjadi orang tua. Bila ia mewariskan karakter baik pada anak-anaknya maka anak-anaknya akan membahagiakan pasangan masing-masing. Begitu pula sebaliknya. Maka hati-hatilah wahai orang tua, suatu saat kita telah mati namun tak sadar dosa-dosa masih terus mengalir. Apa sebabnya? Sebabnya kita telah membuat lingkungan buruk yang lantas diadopsi oleh anak-anak kita, selanjutnya ia memiliki rumah tangga yang menyeramkan dunia karena tiap saatnya berisi pertengkaran. Bukankah pertengkaran itu membuat luka hati? Dan luka hati itu berpotensi menumpuk dosa? Maka dari manakah dosa itu disebabkan kecuali dari didikan orang tua yang salah kepada anak-anaknya. Bila ditakdirkan anak-anaknya terus memiliki keturunan sampai hari kiamat dengan karakter yang sama, maka janganlah kita mencela kecuali diri kita sendiri. Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan kita,

“Dan barang siapa yang mencontohkan keburukan maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya.”

Latar belakang ilmu agama.
Sebenarnya latar belakang didikan orang tua yang salah masih bisa diantisipasi oleh asupan ilmu agama. Namun problemnya adalah kemauan untuk belajar.

Dua latar belakang inilah yang menentukan siapa sejatinya suami dan siapa sejatinya istri. Bagaimana ia memandang dan memanajemen hidup rumah tangga tergantung pada dua latar belakang ini. Bagaimana ia memandang kebahagiaan, pertengkaran, kesantunan terhadap pasangan, penghargaan terhadap pasangan, kewajiban berbuat baik dan meneladankan kebaikan kepada anak-anak, sampai pada urusan memandang hal-hal yang kadang terlihat sepele seperti pekerjaan-pekerjaan rumah. Bila latar belakang didikan orang tuanya baik dan latar belakang ilmu agamanya juga baik maka rumah tangganya akan baik pula.

Beliau lantas mencontohkan sebuah kasus yang sebenarnya lumrah terjadi, ada pasangan yang memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Bisa dikatakan hampir 180 derajat--tanpa celcius, karena bukan sedang membicarakan temperatur udara. Yang satu memandang bahwa kebahagiaan adalah bila pasangannya mampu membahagiakannya. Sedang pasangannya tidak demikian, yang namanya kebahagiaan tidak bisa didatangkan dari luar, sebab merasa bahagia itu apabila dirinya sendiri bahagia apa pun kondisinya, baik kondisi pasangannya, anak-anaknya, orang tua sampai tetangga-tetangganya. Karena betapa pun baiknya orang-orang di sekitarnya tapi bila dirinya menganggap kebaikannya itu masih kurang ya tetap saja ia tak akan meraih bahagia. Oleh karena itu, di antara keluhan orang tersebut kata beliau adalah, selalu mengatakan bahwa pasangannya tak pernah bisa membahagiakannya. Kata beliau, ya mana mungkin kamu bisa bahagia lha wong mendefinisikan kebahagiaan saja sesuai dengan maunya sendiri.

Disnilah kata beliau sabar ukuran XXL itu sangat dituntut. Dan kebanyakan yang dituntut bersabar ukuran jumbo ini adalah laki-laki. Beliau mengambil kesimpulan itu dari wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum lelaki,

“Dan berwasiatlah kepada wanita-wanita dengan kebaikan.”

Itu adalah perintah kepada kaum lelaki. Saya jadi teringat seorang dosen dari Mesir bernama Dr. Rabii’, saat menjelaskan tentang pelajaran nahwu ada sedikit menyinggung tentang wanita, tiba-tiba ia langsung komentar,

“Az zaujatu katriiran maa tansaa fadhla zaujihi, khaashshatan idzaa dhahara minhu maa takrahuhu wa in kaana qaliilan”

Saya akan artikan namun sebelumnya saya mohon maaf kepada yang merasa tersungging, ini dari dosen saya bukan dari saya,

“Seorang istri itu sering lupa kebaikan suaminya, khususnya jika telah tampak sesuatu darinya apa yang istrinya tidak suka padanya, meski sesuatu itu sedikit.”

Akhirnya beliau (beliau disini adalah kawan saya dan bukan dosen saya) menambahkan, bisa dibayangkan bila ada pasangan yang memiliki perbedaan pada semua hal, satu suka warna hitam satunya putih, satu suka jalan-jalan satunya tidak suka, satunya suka asin satu lagi suka manis, satu suka satu lagi tidak suka. Walhasil bakal ramai dunia. Dari perang baratayudha sampai perang malvinas juga bakalan kalah ramai. Dan kuncinya hanya satu, apalagi kalau bukan sabar.

---masih bersambung lagi, karena baru sampai Jawa Tengah, moga dapat dilanjutkan sampai Merauke,,,

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Rabi’ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar