Kalau kita menelusuri sirah
nabawiyyah, akan ada gambaran pendidikan karakter yang kuat saat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menggembala kambing. Lalu saat beliau ikut kafilah dagang dan
dilanjutkan dengan aktifitas Beliau ikut menjualkan dagangan Khadijah radhiyallahu
anha.
Rasa-rasanya beliau tidak pernah
menjadi bos atau owner atas bisnis tertentu. Semua aktivitas beliau bisa
dibilang sebagai karyawan alias bekerja untuk orang lain. Namun inilah cara
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pelajaran berharga bagi umatnya lewat
perjalanan beliau sebagai pengusaha, meski bukan bos atau owner. Karena dalam
haditsnya Beliau mengatakan:
“Tidaklah seseorang berusaha kecuali
yang paling baik adalah apa yang dihasilkan dari tangannya sendiri, dan apa
saja yang ia belanjakan untuk dirinya, keluarganya, anak-anaknya dan
pembantunya adalah sedekah.” (Ibnu Majah 2138).
Juga dalam hadits yang lain beliau
kembali menegaskan:
“Sesungguhnya Nabi Dawud
alaihis salam tidak makan kecuali makanan itu Beliau hasilkan dari usaha
tangannya sendiri.” (Bukhari 1967)
Dari sinilah ada pelajaran
penting tentang pendidikan "survival". Karena secara umum, kebanyakan
manusia hidup bukan sebagai bos atau owner, tapi sebagai karyawan dan pegawai.
Artinya, menjaga kelangsungan hidup tidak harus sebagai bos atau owner, karena
hanya sebagian kecil saja yang mampu melakukan ini. Selebihnya dan ini bagian
yang terbesar adalah menjaga kelangsungan hidup meski sebagai karyawan.
Tulisan ini bukan untuk
membicarakan situasi mana yang paling baik antara owner dan karyawan. Karena
keduanya dalam Islam memiliki timbangan yang hanya Allah saja yang tahu, dengan
syarat semuanya dilakukan sesuai dengan prinsip, aturan, dan moral yang telah
dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai suatu
keharusan bagi yang menjalaninya. Sebab yang terpenting adalah bagaimana
seseorang itu bisa survive, baik sebagai bos atau karyawan.
Salah satu usaha yang dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah berdagang untuk menjaga
kelangsungan hidup beliau. Karena dengan berdagang maka akan menjaga kehormatan
diri dan menjauhkan dari kehinaan meminta-minta. Namun sikap survive yang diteladankan oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah sikap yang tidak hanya
sekedar berusaha. Tidak sekedar bekerja. Tetapi kemudian beliau menjelaskan
tentang prinsip, aturan dan akhlak saat survive. Karena kalau hanya sekedar
bekerja dan berusaha, maka kera dan kambing pun melakukan hal yang sama,
kira-kira seperti itulah ungkapan Buya Hamka.
Ada banyak contoh dalam hal ini
untuk menjelaskan, alangkah maraknya praktek usaha dagang yang jauh dari akhlak
yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga apa pun yang
menjadi miliknya, atau yang dalam kekuasaanya akan menjadi barang dagangan yang
layak dan wajib untuk dijual dengan alasan survival. Misalnya dagang sekolah, dagang
“kursi” sekolah, dagang buku dan seragam sekolah dengan harga lebih tinggi,
dagang nilai ujian, dagang les privat, dagang ijazah sekalian wisudanya dan
lain-lain. Ini baru salah satu contoh kasus di negeri ini, mungkin masih banyak
kasus-kasus “perdagangan” yang lain.
Usaha dagang yang diteladankan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dagang dengan aturan dan
akhlak yang mulia. Tidak semua hal beliau jual, baik miliknya sendiri atau pun
apa yang dalam wewenangnya. Itulah yang dinamakan akhlak dagang. Namun bila ada
seseorang yang kemudian dagang “apa saja” maka ketahuilah, itu yang dinamakan
otak dagang, seolah tidak perlu lagi tahu layakkah hal itu didagangkan.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 14 Dzul Qa’dah 1434
H./20 September 2013 M.