Sudah sekitar lima kali ini seorang khathib kebagian tugas
menjadi khathib jum’at di sebuah masjid di tanah Jakarta Timur. Pada kali
pertama menunaikan tugasnya terbilang sukses. Tak ada peristiwa apa pun baik
yang menyegarkan maupun yang menyedihkan. Namun mulai kedua sampai yang kelima,
empat kali berturut-turut terjadilah empat kali kisah yang menyegarkan. Berikut
kronologinya:
Jum’at kedua. Sang khtahib dihubungi agar menjadi khathib,
itu sudah pasti sebab mana mungkin ia dihubungi agar menjadi presenter.
Sesampainya di tempat kejadian perkara, ternyata ada khathib “aki-aki” sudah
datang duluan. Saat ditanya oleh pengurus harian masjid, katanya sudah ada yang
memberi komando agar datang sebagai khathib. Akhirnya khathib yang datang kedua
pun duduk manis sembari merubah niat dari nawaitu khathiiban menjadi nawaitu
makhthuuban.
Jum’at ketiga. Karena pengurus harian masjid merasa tidak
enak dengan sang khathib yang telah dihubungi maka ia meminta dengan hormat
agar jum’at depannya ia bersedia kembali menjadi khathib. Sang khathib pun menyanggupinya,
dari pada nanti dikira jual mahal dan disangka ngambek. Pada hari jum’at yang
telah ditentukan maka sang khathib pun datang. Namun gantian sekarang
pengurusnya yang kaget. Ternyata mereka lupa dengan permohonan mereka pada sang
khathib di jum’at sebelumnya hingga mereka sudah menghubungi khathib lain.
Selanjutnya khathib yang dihubungi itu pun datang. Tapi karena merasa tidak
enak apalagi dengan kejadian jum’at sebelumnya, akhirnya mereka memohon maaf
pada khathib yang telah dihubungi untuk merelakan kesempatannya diganti dulu
oleh sang khathib yang sebelumnya sudah dimohon menjadi khathib.
Berikutnya adalah jum’at keempat. Seperti biasanya sang
khathib diminta untuk menjadi khathib. Ia pun akhirnya datang. Namun apa daya
ternyata jama’ah masjid sama sekali tidak ada. Sebab hari itu tepat hari demo
para buruh. Jadi mereka pergi jum’atan sambil demo atau pergi demo sambil jum’atan.
Wallahu A’lam hanya Allah yang tahu mana yang betul. Yang pasti sang khathib
tidak jadi mendemokan khutbahnya.
Selanjutnya jum’at kelima. Apa yang terjadi? Sang khathib
yang telah dihubungi lagi-lagi merasa tidak enak, terlebih pengurus harian
masjid. Sebab ada lagi “aki-aki” tiba-tiba datang mendahuluinya atas komando
seseorang. Karena masih teringat kejadian perkara pada jum’at kedua, maka
mereka memohon maaf kepada sang khathib “aki-aki” agar merelakan kesempatannya
sekarang kepada khathib yang sudah dihubungi oleh pengurus harian, tak lupa
memohon agar ia datang lagi jum’at depan untuk mendemokan khutbahnya. Semoga mereka
tidak lupa dengan permohonannya.
Jum’at keenam. Wallahu A’lam. Yang jelas persoalan mendasar
masjid tersebut terkait dengan jadwal khathib yang berantakan adalah adanya
pengurus lama yang masih punya otoritas komando jarak jauh. Khathib-khathib di
masa kejayaannya pun masih dalam komandonya hingga perintah sekedar “ya, bapak
bisa datang besok” pun jadilah sebagai pedoman. Walhasil, mereka datang atas
komando mantan panglima sedang ia tak tahu bahwa komandan lapangan juga punya
komando.
Ternyata masjid tersebut awalnya dimiliki oleh sebuah
perusahaan. Setelah perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain otomatis
pengurus masjidnya pun berganti sesuai dengan bergantinya penghuni baru. Nah panglima
lama yang disegani inilah problemnya, karena kedekatannya dengan para khathib
di masanya maka beberapa khathib kadang ada yang datang atau menghubungi beliau
secara khusus agar bisa menjadi khathib, dan karena merasa tidak enak sebab
sudah kenal lama akhirnya ia mainkan komando saktinya.
Yang pasti, ada sebagian orang yang menjadikan masjid
sebagai “makaan lil-irtizaaq”. Maka kita maklumi saja.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.