Sabtu, 04 Januari 2014

Kisah Segar Di Hari Jum’at: Manajemen Komando

Sudah sekitar lima kali ini seorang khathib kebagian tugas menjadi khathib jum’at di sebuah masjid di tanah Jakarta Timur. Pada kali pertama menunaikan tugasnya terbilang sukses. Tak ada peristiwa apa pun baik yang menyegarkan maupun yang menyedihkan. Namun mulai kedua sampai yang kelima, empat kali berturut-turut terjadilah empat kali kisah yang menyegarkan. Berikut kronologinya:

Jum’at kedua. Sang khtahib dihubungi agar menjadi khathib, itu sudah pasti sebab mana mungkin ia dihubungi agar menjadi presenter. Sesampainya di tempat kejadian perkara, ternyata ada khathib “aki-aki” sudah datang duluan. Saat ditanya oleh pengurus harian masjid, katanya sudah ada yang memberi komando agar datang sebagai khathib. Akhirnya khathib yang datang kedua pun duduk manis sembari merubah niat dari nawaitu khathiiban menjadi nawaitu makhthuuban.

Jum’at ketiga. Karena pengurus harian masjid merasa tidak enak dengan sang khathib yang telah dihubungi maka ia meminta dengan hormat agar jum’at depannya ia bersedia kembali menjadi khathib. Sang khathib pun menyanggupinya, dari pada nanti dikira jual mahal dan disangka ngambek. Pada hari jum’at yang telah ditentukan maka sang khathib pun datang. Namun gantian sekarang pengurusnya yang kaget. Ternyata mereka lupa dengan permohonan mereka pada sang khathib di jum’at sebelumnya hingga mereka sudah menghubungi khathib lain. Selanjutnya khathib yang dihubungi itu pun datang. Tapi karena merasa tidak enak apalagi dengan kejadian jum’at sebelumnya, akhirnya mereka memohon maaf pada khathib yang telah dihubungi untuk merelakan kesempatannya diganti dulu oleh sang khathib yang sebelumnya sudah dimohon menjadi khathib.

Berikutnya adalah jum’at keempat. Seperti biasanya sang khathib diminta untuk menjadi khathib. Ia pun akhirnya datang. Namun apa daya ternyata jama’ah masjid sama sekali tidak ada. Sebab hari itu tepat hari demo para buruh. Jadi mereka pergi jum’atan sambil demo atau pergi demo sambil jum’atan. Wallahu A’lam hanya Allah yang tahu mana yang betul. Yang pasti sang khathib tidak jadi mendemokan khutbahnya.

Selanjutnya jum’at kelima. Apa yang terjadi? Sang khathib yang telah dihubungi lagi-lagi merasa tidak enak, terlebih pengurus harian masjid. Sebab ada lagi “aki-aki” tiba-tiba datang mendahuluinya atas komando seseorang. Karena masih teringat kejadian perkara pada jum’at kedua, maka mereka memohon maaf kepada sang khathib “aki-aki” agar merelakan kesempatannya sekarang kepada khathib yang sudah dihubungi oleh pengurus harian, tak lupa memohon agar ia datang lagi jum’at depan untuk mendemokan khutbahnya. Semoga mereka tidak lupa dengan permohonannya.

Jum’at keenam. Wallahu A’lam. Yang jelas persoalan mendasar masjid tersebut terkait dengan jadwal khathib yang berantakan adalah adanya pengurus lama yang masih punya otoritas komando jarak jauh. Khathib-khathib di masa kejayaannya pun masih dalam komandonya hingga perintah sekedar “ya, bapak bisa datang besok” pun jadilah sebagai pedoman. Walhasil, mereka datang atas komando mantan panglima sedang ia tak tahu bahwa komandan lapangan juga punya komando.

Ternyata masjid tersebut awalnya dimiliki oleh sebuah perusahaan. Setelah perusahaan itu dibeli oleh perusahaan lain otomatis pengurus masjidnya pun berganti sesuai dengan bergantinya penghuni baru. Nah panglima lama yang disegani inilah problemnya, karena kedekatannya dengan para khathib di masanya maka beberapa khathib kadang ada yang datang atau menghubungi beliau secara khusus agar bisa menjadi khathib, dan karena merasa tidak enak sebab sudah kenal lama akhirnya ia mainkan komando saktinya.

Yang pasti, ada sebagian orang yang menjadikan masjid sebagai “makaan lil-irtizaaq”. Maka kita maklumi saja.

Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Rabi'ul Awwal 1435 H./4 Januari 2014 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar