Rabu, 01 Januari 2014

Berikan Meski Hanya Sisa

Apa yang terbayang di pikiran kita tatkala kita mendengar kata "sisa"?

Pasti akan ada banyak ungkapan mengenai kata itu. Yang sering muncul adalah bayangan kita tentang sesuatu yang sudah tidak perlu lagi diperhatikan, semisal sisa makanan atau sisa minuman.

Atau bayangan kita tentang sesuatu yang kadang dianggap sepele, dan bisa juga sangat berharga. Misalnya, ketika pemalas berkata:

"masih ada sisa waktu untuk dilakukan nanti",

dan seorang yang bermental optimis yang berkata:

"mumpung masih ada sisa waktu".

Semua ungkapan tentang kata "sisa" yang berbeda, sesuai dengan perbedaan dalam memaknai kata itu.

Tapi, pernahkah kita memberi arti lain pada kata sisa saat ia digandeng dengan kata senyuman? Sehingga kata-katanya menjadi seperti ini, sisa senyuman. Mungkin kita juga akan mengartikan, bahwa sisa senyuman adalah sesuatu yang sepele. Yang tinggal sisanya dan tak perlu lagi untuk diperhatikan. Yang ketika kita tidak mendapatkan bagiannya pun tidak menjadi masalah. Karena hanya sisa, sisa dari senyuman.

Namun, ketika kita memberi arti sisa senyuman dengan arti bekas, mungkin akan nampak perbedaannya. Akan berbeda antara makanan dan minuman bersisa dengan senyuman bersisa, apalagi antara bekas makanan dan bekas senyuman.

Manakala kita menyisakan senyuman untuk tetangga kita, atau kita diberikan sebuah senyuman yang panjang, boleh jadi itu adalah senyuman yang penuh keikhlasan, bukan sekedar senyuman basa-basi. Karena ikhlas akan memunculkan tanda, dan tandanya adalah bekas.

Karena pada dasarnya mulut kita yang tersenyum adalah hasil pekerjaan hati. Dan apa yang dilakukan hati adalah hasil pekerjaan ikhlas. Dan muara ikhlas adalah iman.

Maka, sisakanlah senyuman di mulut kita sebagai tanda, itu bukan basa-basi. Senyum kita di mulut, juga senyum kita di hati. Suasana mulut, adalah suasana hati. Seorang Penyair Arab berkata :

إن الكلام لفي الفؤاد وإنما جعل اللسان علي الفؤاد دليلا


"Sungguh kata-kata adanya di dalam hati, sedang lidah, ia dicipta sebagai petunjuk hati"

Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 April 2009 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar