Rabu, 01 Januari 2014

Saat Mata Tersambung Dengan Hati

Setiap orang memiliki mata untuk melihat, namun sayangnya tidak semua mata bisa untuk melihat. Bukan karena ia buta. Bukan pula tertutup karena sedang tidur. Atau sengaja sedang memakai penutup mata. Akan tetapi ada di antara mata-mata itu yang secara fisik masih berfungsi normal. Tak ada gangguan sedikit pun, namun telah hilang kemampuan dirinya untuk melihat.
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada."[1]
Mata adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat penting. Ia memiliki fungsi untuk melihat, membaca, menerawang, menoropong, meneliti dan mungkin masih banyak lagi. Karena ia adalah alat pengumpul informasi, maka ia ibarat jendela dan pintu masuk bagi rumah ilmu dan penelitian. Tidak mungkin orang bisa mendapatkan ilmu tanpa membaca, dan juga tidak mungkin orang dapat melakukan penelitian tanpa dibantu oleh mata. Walhasil, mata adalah nikmat dari Allah untuk menjadikan kita banyak bersyukur, seharusnya.
Lihatlah apa jawaban Nabi kita Ibrahim alaihissalam saat ia ditanya oleh Allah, kenapa masih ingin melihat-Nya?
"Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."[2]
Kadang kala kita harus melihat untuk menambah mantap ilmu dan pengetahuan kita. Karena dengan melihat, mata akan mengumpulkan informasi tambahan sebagai penguat tentang kebenaran atau ketidakbenaran.
Namun jangan lupa, bahwa Nabi Ibrahim tidak ingin melihat dengan mata beliau semata lalu urusan selesai. Akan tetapi hasil penglihatan mata itu kemudian beliau sambungkan dengan keimanan, dan iman adalah wilayah hati. Sebelumnya, beliau sudah beriman. Sudah menata hati untuk senantiasa dicondongkan kepada keimanan. Karena hati adalah pusatnya, maka mata pun akan tunduk kepada hati. Saat mata melihat dan mengumpulkan informasi penting, ia sudah langsung otomatis tersambung dengan hati. Maka tidak ada penglihatan yang sia-sia. Semua akan menjadi ilmu. Dan ketersambungan inilah yang dinamakan "bashirah", gabungan antara penglihatan mata dan penglihatan hati. Oleh karena itu, Allah menyebut "Ulil Abshaar" bagi siapa saja yang memiliki kemampuan mengambil "ibrah" dari setiap pengalaman hidupnya. Dan kemampuan itu mensyaratkan adanya keimanan kepada Allah selaku Pemilik hati dan mata yang sebenarnya.
Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud mengambil ibrah adalah melihat hakikat sesuatu dan arah maksud dan tujuannya agar mengetahui sesuatu yang lain pada sesuatu yang dilihatnya itu. Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu berkata, Ulil Abshaar adalah orang yang memiliki akal dan bashirah.[3]
Saat Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada kita, bahwa ada sepotong daging di tubuh kita yang menjadi pusat kendali atas potongan-potongan daging lainnya, maka beliau menyebutkan itulah hati.[4]
Namun yang menjadi masalah besar bagi kita adalah, bagaimana kita dapat menjadikan sepotong daging itu memiliki fungsi yang baik dan benar?
Bukankah beliau juga menganjurkan kepada kita agar selalu bertanya kepada hati? bila kita dihadapkan kepada situasi yang menuntut kita untuk memilih satu di antara dua perkara, maka beliau menyuruh kita untuk meminta fatwa hati kita saat beliau mengatakan:
"Mintalah fatwa kepada hatimu"[5]
Lalu hati yang bagaimanakah yang mampu memberikan fatwa yang benar itu?
Itulah yang telah disinggung oleh Nabi Ibrahim pada ayat di atas. Bahwa harus ada iman di dalam hati agar hati menjadi benar, dan keimanan harus senantiasa diupayakan agar ia terus bertambah, salah satunya dengan melihat, dan itu pekerjaan mata.
Banyak orang bisa melihat banjir, namun banyak juga yang kemudian tidak bisa melihat kenapa bisa banjir?
Bukankah kita harus bisa melihat diri, kebiasaan dan mungkin budaya kita, bahwa kita seenaknya membuang sampah?
Sampah termasuk sesuatu yang harus disingkirkan karena ia mengganggu mata dan lingkungan, bahkan tak jarang ia bisa menyebabkan pertengkaran. Karenanya, Islam menyebutkan bahwa menyingkirkan gangguan baik di jalanan maupun di lingkungan adalah bagian dari cabang keimanan.[6]
Banyak orang bisa melihat akibat kemarau, namun banyak juga yang tidak bisa melihat kenapa kemarau bisa ada dan bahkan sangat panjang?
Barangkali sudah sangat banyak orang yang tidak bisa lagi melihat, perilaku apa yang harus dilakukan sehingga keberkahan Allah itu bisa turun dari langit ? Bukankah kita harus bisa melihat, bahwa di antara penyebab kemarau adalah banyaknya orang yang menahan zakat ?, atau berperilaku "aneh dan nyeleneh" terhadap alam sekitar?[7]
Jadi, kadang kita terlihat aneh bila hanya melihat banjir sebagai banjir, kemarau sebagai kemarau, lalu diakhiri dan dikunci dengan ungkapan gerutuan dan keluhan.
Maka, marilah kita lihat diri kita masing-masing, adakah perilaku yang terasa "aneh"?
Tapi, tentunya hanya bisa merasa aneh bila hatinya tidak "aneh". Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, ahad pagi 13 Rabi'ul Akhir 1434 H./ 24 Februari 2013 M.
------------
Catatan :
[1] (Al-Hajj: 46).
[2] (Al-Baqarah 260).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, Surat Al-Hasyr ayat 2 oleh Imam Fahruddin Ar-Razy Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain Al-Qurasyi At-Thibristany. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut. Cet. 1425 H./ 2004 M.
[4] Hadits riwayat Bukhari dari An-Nu'man bin Basyir, Kitabul Iman No. 52.
[5] Dari Wabishah bin Ma'bad ra, ia berkata :
"Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.”
(Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal 17545.dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
[6] Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." (Shahih Muslim, Kitabul Iman No. 35.)
[7] Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Wahai sekalian Muhajirin, kalau kalian sudah tertimpa lima hal, tapi aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menemui lima hal ini :
  1. Tidak akan merajalela suatu perbuatan keji (zina dan sejenisnya) pada suatu kaum sampai-sampai mereka berani melakukannya terang-terangan kecuali Allah akan mewabahkan penyakit Tha’un dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada sebelum mereka.
  2. Kalau mereka sudah mengurangi takaran dan timbangan maka mereka akan ditimpa paceklik dan beban hidup yang berat serta kebegisan penguasa.
  3. Kalau mereka tidak mau mengeluarkan zakat harta mereka maka hujan akan ditahan dari langit dan kalau bukan karena hewan mereka tidak akan diberi hujan.
  4. Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari kelompok di luar mereka yang merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
  5. Selama para pemimpin mereka TIDAK MAU BERHUKUM DENGAN KITAB Allah DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENCARI KEBAIKAN DALAM APA YANG DITURUNKAN Allah niscaya Allah akan membuat mereka saling menyakiti satu sama lain.”
(HR. Ibnu Majah, dianggap shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 105, no. 106 karena mempetimbangkan banyak jalur yg menguatkannya).
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar