"Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di
dalam dada."[1]
Mata adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang sangat penting. Ia memiliki fungsi untuk melihat, membaca, menerawang,
menoropong, meneliti dan mungkin masih banyak lagi. Karena ia adalah alat
pengumpul informasi, maka ia ibarat jendela dan pintu masuk bagi rumah ilmu dan
penelitian. Tidak mungkin orang bisa mendapatkan ilmu tanpa membaca, dan juga
tidak mungkin orang dapat melakukan penelitian tanpa dibantu oleh mata.
Walhasil, mata adalah nikmat dari Allah untuk menjadikan kita banyak bersyukur,
seharusnya.
Lihatlah apa jawaban Nabi kita Ibrahim alaihissalam saat ia ditanya oleh Allah, kenapa
masih ingin melihat-Nya?
"Allah berfirman: "Belum
yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi
agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."[2]
Kadang kala kita harus melihat untuk menambah
mantap ilmu dan pengetahuan kita. Karena dengan melihat, mata akan mengumpulkan
informasi tambahan sebagai penguat tentang kebenaran atau ketidakbenaran.
Namun jangan lupa, bahwa Nabi Ibrahim tidak
ingin melihat dengan mata beliau semata lalu urusan selesai. Akan tetapi hasil
penglihatan mata itu kemudian beliau sambungkan dengan keimanan, dan iman
adalah wilayah hati. Sebelumnya, beliau sudah beriman. Sudah menata hati untuk
senantiasa dicondongkan kepada keimanan. Karena hati adalah pusatnya, maka mata
pun akan tunduk kepada hati. Saat mata melihat dan mengumpulkan informasi
penting, ia sudah langsung otomatis tersambung dengan hati. Maka tidak ada
penglihatan yang sia-sia. Semua akan menjadi ilmu. Dan ketersambungan inilah
yang dinamakan "bashirah", gabungan antara penglihatan mata dan
penglihatan hati. Oleh karena itu, Allah menyebut "Ulil Abshaar" bagi
siapa saja yang memiliki kemampuan mengambil "ibrah" dari setiap pengalaman
hidupnya. Dan kemampuan itu mensyaratkan adanya keimanan kepada Allah selaku
Pemilik hati dan mata yang sebenarnya.
Para ahli
tafsir mengatakan, yang dimaksud mengambil ibrah adalah melihat hakikat sesuatu
dan arah maksud dan tujuannya agar mengetahui sesuatu yang lain pada sesuatu
yang dilihatnya itu. Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu berkata, Ulil Abshaar
adalah orang yang memiliki akal dan bashirah.[3]
Saat Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada
kita, bahwa ada sepotong daging di tubuh kita yang menjadi pusat kendali atas
potongan-potongan daging lainnya, maka beliau menyebutkan itulah hati.[4]
Namun yang menjadi masalah besar bagi kita
adalah, bagaimana kita dapat menjadikan sepotong daging itu memiliki fungsi
yang baik dan benar?
Bukankah beliau juga menganjurkan kepada kita
agar selalu bertanya kepada hati? bila kita dihadapkan kepada situasi yang
menuntut kita untuk memilih satu di antara dua perkara, maka beliau menyuruh
kita untuk meminta fatwa hati kita saat beliau mengatakan:
"Mintalah fatwa
kepada hatimu"[5]
Lalu hati yang bagaimanakah yang mampu
memberikan fatwa yang benar itu?
Itulah yang telah disinggung oleh Nabi
Ibrahim pada ayat di atas. Bahwa harus ada iman di dalam hati agar hati menjadi
benar, dan keimanan harus senantiasa diupayakan agar ia terus bertambah, salah
satunya dengan melihat, dan itu pekerjaan mata.
Banyak orang bisa melihat banjir, namun
banyak juga yang kemudian tidak bisa melihat kenapa bisa banjir?
Bukankah kita harus bisa melihat diri,
kebiasaan dan mungkin budaya kita, bahwa kita seenaknya membuang sampah?
Sampah termasuk sesuatu yang harus
disingkirkan karena ia mengganggu mata dan lingkungan, bahkan tak jarang ia bisa
menyebabkan pertengkaran. Karenanya, Islam menyebutkan bahwa menyingkirkan
gangguan baik di jalanan maupun di lingkungan adalah bagian dari cabang
keimanan.[6]
Banyak orang bisa melihat akibat kemarau,
namun banyak juga yang tidak bisa melihat kenapa kemarau bisa ada dan bahkan
sangat panjang?
Barangkali sudah sangat banyak orang yang
tidak bisa lagi melihat, perilaku apa yang harus dilakukan sehingga keberkahan
Allah itu bisa turun dari langit ? Bukankah kita harus bisa melihat, bahwa di
antara penyebab kemarau adalah banyaknya orang yang menahan zakat ?, atau berperilaku
"aneh dan nyeleneh" terhadap alam sekitar?[7]
Jadi, kadang kita terlihat aneh bila hanya
melihat banjir sebagai banjir, kemarau sebagai kemarau, lalu diakhiri dan
dikunci dengan ungkapan gerutuan dan keluhan.
Maka, marilah kita lihat diri kita
masing-masing, adakah perilaku yang terasa "aneh"?
Tapi, tentunya hanya bisa merasa aneh bila
hatinya tidak "aneh". Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, ahad pagi 13 Rabi'ul Akhir 1434 H./
24 Februari 2013 M.
------------
Catatan :
[1] (Al-Hajj: 46).
[2] (Al-Baqarah 260).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, Surat Al-Hasyr ayat 2
oleh Imam Fahruddin Ar-Razy Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain
Al-Qurasyi At-Thibristany. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Beirut. Cet. 1425 H./ 2004
M.
[4] Hadits riwayat Bukhari dari An-Nu'man bin
Basyir, Kitabul Iman No. 52.
[5] Dari Wabishah bin
Ma'bad ra, ia berkata :
"Saya mendatangi
Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang
kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada
hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu
menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu
di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.”
(Imam Nawawi berkata,
"Hadits hasan, kami meriwayatkannya dari dua kitab Musnad; Ahmad
bin Hanbal 17545.dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
[6] Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu
berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Iman memiliki
lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah
perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang
iman." (Shahih Muslim, Kitabul Iman No. 35.)
[7] Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
bersabda :
“Wahai sekalian Muhajirin, kalau kalian
sudah tertimpa lima hal, tapi aku berlindung
kepada Allah agar kalian tidak menemui lima
hal ini :
- Tidak akan merajalela suatu perbuatan keji (zina dan sejenisnya) pada suatu kaum sampai-sampai mereka berani melakukannya terang-terangan kecuali Allah akan mewabahkan penyakit Tha’un dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada sebelum mereka.
- Kalau mereka sudah mengurangi takaran dan timbangan maka mereka akan ditimpa paceklik dan beban hidup yang berat serta kebegisan penguasa.
- Kalau mereka tidak mau mengeluarkan zakat harta mereka maka hujan akan ditahan dari langit dan kalau bukan karena hewan mereka tidak akan diberi hujan.
- Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari kelompok di luar mereka yang merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
- Selama para pemimpin mereka TIDAK MAU BERHUKUM DENGAN KITAB Allah DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENCARI KEBAIKAN DALAM APA YANG DITURUNKAN Allah niscaya Allah akan membuat mereka saling menyakiti satu sama lain.”
(HR. Ibnu Majah, dianggap shahih oleh
Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 105, no. 106 karena
mempetimbangkan banyak jalur yg menguatkannya).