Rabu, 01 Januari 2014

Mengubur Motivasi

Tiba-tiba mereka bersepakat untuk datang menjumpai sang Nabi dan berkata:
"Angkatlah seorang pemimpin bagi kami sehingga kami berperang di jalan Allah".
Sang Nabi pun bertanya, seraya berharap menemukan kesungguhan tekad mereka:
"Apakah kalian jujur dengan kata-kata itu, karena aku khawatir kalian tidak mau berperang jika ia telah diwajibkan pada kalian".
Maka alasan pun disampaikan dengan jelasnya:
"Sesungguhnya kami telah diusir dari tanah-tanah kami dan anak-anak kami ditawan…!".
Tetapi kemudian sejarah mencatat, bahwa mereka pada akhirnya berpaling dan enggan melaksanakan kewajiban itu. Dan Alquran pun memberikan sebutan yang pas bagi mereka; "Orang-orang yang aniaya". Begitulah akhir dari lakon drama yang dipentaskan orang-orang Yahudi. Dan selalu begitu akhirnya.
Akan tetapi ada soal lain terkait dengan sebutan "Orang-orang yang aniaya" oleh Alquran, dimana predikat itu tidak serta-merta lekat hanya pada mereka orang-orang Yahudi. Toh mereka juga orang-orang beriman pada saat itu, namun ada penyakit buruk yang sedang menimpa pada sebagian di antara mereka. Lalu virus inilah yang menggempur bangunan kejujurannya dan terus meluluhlantakkan pondasi keimanannya. Virus itu tidak lain dan tidak bukan adalah virus ketidakjujuran. Ketidakserasiannya suasana hati dengan ungkapan lisan. Itu pula yang digambarkan oleh Alquran dengan; "Mereka mengatakan dengan mulut-mulut mereka apa yang tidak ada dalam hati-hatinya".
Padahal, meski secara logika kontek keinginan berperang mereka sudah sampai pada skala wajib sesuai dengan alasan dan motivasinya; "Sesungguhnya kami telah diusir dari tanah-tanah kami dan anak-anak kami ditawan…!". Sungguh suatu alasan yang tidak ada peluang untuk diperdebatkan dan menutup rapat semua pintu perselisihan. Apa pun alasannya. Namun ternyata, sekuat apapun motiv dan alasan, setinggi apa pun puncak cita dan harapan, dan sepanjang apa pun impian, bila spirit kejujurannya lemah dalam geliatnya, lamban dalam geraknya, apalagi telah rapuh dari dalamnya, maka tak akan didapat kecuali kerugian, tak akan diraih selain kegagalan. Itulah akhir cerita dari sekelompok orang-orang Yahudi, yang telah mundur dari keinginannya sendiri untuk berjuang. Maka mereka sebenarnya telah menolak kemenangan. Ya, kemenangan dalam kesabaran dan semangat kebertahanan. Sabar dan bertahan dalam menghadapi ujian perang. Maka disinilah sikap aniaya itu mengalir menemukan arusnya. Aniaya terhadap diri, orang lain, negara dan agamanya. Sebab tak mampu lagi menolong dan membantunya, berlepas dari cengkeraman musuh yang juga aniaya.
Dan, disinilah mungkin kita juga menemukan pemandangan lain dari jiwa-jiwa yang dekat, bahkan juga telah hanyut bersama arus deras orang-orang yang aniaya. Betapa kita telah mengetahui, merasakan, pun menyadari akan puluhan motiv dan alasan dalam kenyataan kita, untuk hidup lebih berharga, lebih bermakna dan berguna bagi apapun dan siapapun.
Banyak di antara kita yang telah berhasil menangkap, lalu menggenggam erat motiv dan alasan untuk kebermaknaan dalam hidup. Bahkan sudah kuat terpatri dalam pikirannya, tapi ternyata belum cukup berhasil mendorong untuk kemudian menghasilkan upaya-upaya nyata dalam meraih keberartian dalam hidup.
Kalau Ulama' dahulu begitu menghargai waktu, sampai-sampai ada di antara mereka yang membagi waktu hidupnya hanya untuk sholat, membaca, menulis dan berceramah sebagaimana Imam Malik bin Anas. Atau Ibnu Sahnun yang keasyikan menulis sampai pagi tanpa terasa makan malamnya telah disuapkan oleh pembantunya. Atau Yahya bin Yahya yang sudah jauh-jauh datang dari Andalusia ke Madinah tidak mau beranjak dari majlis ilmu seperti teman-temannya hanya karena ingin melihat gajah. Atau Ali Tanthowi yang menghabiskan sepuluh jam setiap harinya untuk membaca, itu karena mereka sadar benar akan makna hidup. Sehingga bentuk pemaknaannya pun dilakukan dengan penuh antusias, penuh kejujuran dan tanggung jawab. Maka sejarah pun mencatat dan mengabadikan kehidupan mereka yang penuh makna itu. Cukup kuat alasan mereka untuk menjadi Ulama', karena hanya ilmulah yang diwariskan oleh para Nabi, karena dengan ilmulah derajat mereka ditinggikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan dengan ilmu pula mereka memberi warna kehidupan itu dengan sekian banyak arti. Arti bagi kehidupan diri sendiri, orang lain, negara dan agamanya. Ya, ilmulah yang menjadikan mereka sanggup memainkan irama hidup yang lebih indah dari orang-orang biasa. Karena memang tidak sama orang-orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui.
Maka untuk keberartian dalam hidup, mau tidak mau kita harus melakukan apa yang mereka lakukan. Dan belajar adalah pilihan satu-satunya. Demi diri kita, keluarga kita, anak dan istri kita, masyarakat kita, negara dan agama kita, semuanya tak terkecuali.
Begitu juga dengan ragam keberartian yang lain. Bagaimana kisah orang-orang Muhajirin menyelesaikan persoalan finansial, misalnya. Ketika Abdur Rahman bin Auf datang ke Madinah tanpa membawa sepeser pun hartanya, karena ditahan dan diambil orang-orang kafir Quraisy. Lalu ditawarkanlah padanya untuk memilih salah satu kebun berikut isinya, maka ia pun menjawab, segera: "Tunjukkan saya pasar". Berikutnya, ia pun tercatat sebagai pengusaha sukses. Atau Abu Bakar, Umar, maupun Utsman bin Affan, tidak jauh berbeda keadaan finansialnya dengan Abdur Rahman bin Auf ketika mereka datang ke Madinah. Tapi puluhan kali pula sejarah mencatat kemampuan mereka menginfakkan separuh bahkan sampai seluruh hartanya untuk perang di jalan Allah, lalu memulai kembali pekerjaan bisnisnya dari nol. Begitu seterusnya, sehingga persoalan finansialnya pun tidak jadi persoalan. Karena mereka memiliki caranya sendiri bagaimana memulai. Sebab mereka tahu benar bahwa harta akan memberi banyak arti bagi kehidupan. Bagi diri sendiri, orang lain, negara dan agamanya, karena "Sebaik-baik harta adalah harta halal yang ada di tangan orang shalih", sampai Umar pun berkata: "Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis".
Di sini pun mau tidak mau, kita dituntut untuk mengerahkan segala upaya dalam rangka menyelesaikan persoalan finansial kita. Karena puluhan motiv dan alasan  barangkali sudah terpampang jelas di depan mata kita. Di mulai dari rentetan persoalan finansial keluarga, yang kadang juga tembus pada persoalan finansial untuk keberlangsungan dakwah. Semua membutuhkan penyelesaian yang jelas dan segera. Dan berbisnis adalah pilihan satu-satunya, karena Rasulullah pun secara tegas mengajarkan pada kita, bahwa "Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri". Sebuah petuah yang mengandung pendidikan dasar tentang kemandirian untuk membebaskan dari segala bentuk kehinaan. Itu karena kita, adalah mukmin yang tidak menjadi beban berat bagi orang lain, apalagi bagi perjalanan dakwah. Wallahu a'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar