"Angkatlah seorang pemimpin bagi kami sehingga kami
berperang di jalan Allah".
Sang Nabi pun bertanya, seraya berharap menemukan kesungguhan
tekad mereka:
"Apakah kalian jujur dengan kata-kata itu, karena aku
khawatir kalian tidak mau berperang jika ia telah diwajibkan pada kalian".
Maka alasan pun disampaikan dengan jelasnya:
"Sesungguhnya kami telah diusir dari tanah-tanah kami
dan anak-anak kami ditawan…!".
Tetapi kemudian sejarah mencatat, bahwa
mereka pada akhirnya berpaling dan enggan melaksanakan kewajiban itu. Dan Alquran pun
memberikan sebutan yang pas bagi mereka; "Orang-orang yang aniaya".
Begitulah akhir dari lakon drama yang dipentaskan orang-orang Yahudi. Dan
selalu begitu akhirnya.
Akan tetapi ada soal lain terkait dengan sebutan "Orang-orang
yang aniaya" oleh Alquran, dimana predikat itu tidak serta-merta lekat
hanya pada mereka orang-orang Yahudi. Toh mereka juga orang-orang beriman pada
saat itu, namun ada penyakit buruk yang sedang menimpa pada sebagian di antara
mereka. Lalu virus inilah yang menggempur bangunan kejujurannya dan terus
meluluhlantakkan pondasi keimanannya. Virus itu tidak lain dan tidak bukan
adalah virus ketidakjujuran. Ketidakserasiannya suasana hati dengan ungkapan
lisan. Itu pula yang digambarkan oleh Alquran dengan; "Mereka
mengatakan dengan mulut-mulut mereka apa yang tidak ada dalam
hati-hatinya".
Padahal, meski secara logika kontek keinginan berperang
mereka sudah sampai pada skala wajib sesuai dengan alasan dan motivasinya; "Sesungguhnya
kami telah diusir dari tanah-tanah kami dan anak-anak kami ditawan…!".
Sungguh suatu alasan yang tidak ada peluang untuk diperdebatkan dan menutup
rapat semua pintu perselisihan. Apa pun alasannya. Namun ternyata, sekuat
apapun motiv dan alasan, setinggi apa pun puncak cita dan harapan, dan
sepanjang apa pun impian, bila spirit kejujurannya lemah dalam geliatnya,
lamban dalam geraknya, apalagi telah rapuh dari dalamnya, maka tak akan didapat
kecuali kerugian, tak akan diraih selain kegagalan. Itulah akhir cerita dari
sekelompok orang-orang Yahudi, yang telah mundur dari keinginannya sendiri
untuk berjuang. Maka mereka sebenarnya telah menolak kemenangan. Ya, kemenangan
dalam kesabaran dan semangat kebertahanan. Sabar dan bertahan dalam menghadapi
ujian perang. Maka disinilah sikap aniaya itu mengalir menemukan arusnya.
Aniaya terhadap diri, orang lain, negara dan agamanya. Sebab tak mampu lagi
menolong dan membantunya, berlepas dari cengkeraman musuh yang juga aniaya.
Dan, disinilah mungkin kita juga menemukan pemandangan lain
dari jiwa-jiwa yang dekat, bahkan juga telah hanyut bersama arus deras
orang-orang yang aniaya. Betapa kita telah mengetahui, merasakan, pun menyadari
akan puluhan motiv dan alasan dalam kenyataan kita, untuk hidup lebih berharga,
lebih bermakna dan berguna bagi apapun dan siapapun.
Banyak di antara kita yang telah berhasil menangkap, lalu
menggenggam erat motiv dan alasan untuk kebermaknaan dalam hidup. Bahkan sudah
kuat terpatri dalam pikirannya, tapi ternyata belum cukup berhasil mendorong
untuk kemudian menghasilkan upaya-upaya nyata dalam meraih keberartian dalam
hidup.
Kalau Ulama' dahulu begitu menghargai waktu, sampai-sampai
ada di antara mereka yang membagi waktu hidupnya hanya untuk sholat, membaca,
menulis dan berceramah sebagaimana Imam Malik bin Anas. Atau Ibnu Sahnun yang
keasyikan menulis sampai pagi tanpa terasa makan malamnya telah disuapkan oleh
pembantunya. Atau Yahya bin Yahya yang sudah jauh-jauh datang dari Andalusia ke
Madinah tidak mau beranjak dari majlis ilmu seperti teman-temannya hanya karena
ingin melihat gajah. Atau Ali Tanthowi yang menghabiskan sepuluh jam setiap
harinya untuk membaca, itu karena mereka sadar benar akan makna hidup. Sehingga
bentuk pemaknaannya pun dilakukan dengan penuh antusias, penuh kejujuran dan
tanggung jawab. Maka sejarah pun mencatat dan mengabadikan kehidupan mereka
yang penuh makna itu. Cukup kuat alasan mereka untuk menjadi Ulama', karena
hanya ilmulah yang diwariskan oleh para Nabi, karena dengan ilmulah derajat mereka
ditinggikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan dengan ilmu pula mereka memberi
warna kehidupan itu dengan sekian banyak arti. Arti bagi kehidupan diri
sendiri, orang lain, negara dan agamanya. Ya, ilmulah yang menjadikan mereka
sanggup memainkan irama hidup yang lebih indah dari orang-orang biasa. Karena
memang tidak sama orang-orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui.
Maka untuk keberartian dalam hidup, mau
tidak mau kita harus melakukan apa yang mereka lakukan. Dan belajar adalah
pilihan satu-satunya. Demi diri kita, keluarga kita, anak dan istri kita,
masyarakat kita, negara dan agama kita, semuanya tak terkecuali.
Begitu juga dengan ragam keberartian yang lain. Bagaimana
kisah orang-orang Muhajirin menyelesaikan persoalan finansial, misalnya. Ketika
Abdur Rahman bin Auf datang ke Madinah tanpa membawa sepeser pun hartanya,
karena ditahan dan diambil orang-orang kafir Quraisy. Lalu ditawarkanlah
padanya untuk memilih salah satu kebun berikut isinya, maka ia pun menjawab,
segera: "Tunjukkan saya pasar". Berikutnya, ia pun tercatat sebagai
pengusaha sukses. Atau Abu Bakar, Umar, maupun Utsman bin Affan, tidak jauh
berbeda keadaan finansialnya dengan Abdur Rahman bin Auf ketika mereka datang
ke Madinah. Tapi puluhan kali pula sejarah mencatat kemampuan mereka
menginfakkan separuh bahkan sampai seluruh hartanya untuk perang di jalan
Allah, lalu memulai kembali pekerjaan bisnisnya dari nol. Begitu seterusnya,
sehingga persoalan finansialnya pun tidak jadi persoalan. Karena mereka
memiliki caranya sendiri bagaimana memulai. Sebab mereka tahu benar bahwa harta
akan memberi banyak arti bagi kehidupan. Bagi diri sendiri, orang lain, negara
dan agamanya, karena "Sebaik-baik harta adalah harta halal yang ada di
tangan orang shalih", sampai Umar pun berkata: "Tak ada
pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari
bisnis".
Di sini pun mau tidak mau, kita dituntut untuk mengerahkan
segala upaya dalam rangka menyelesaikan persoalan finansial kita. Karena
puluhan motiv dan alasan barangkali
sudah terpampang jelas di depan mata kita. Di mulai dari rentetan persoalan
finansial keluarga, yang kadang juga tembus pada persoalan finansial untuk
keberlangsungan dakwah. Semua membutuhkan penyelesaian yang jelas dan segera.
Dan berbisnis adalah pilihan satu-satunya, karena Rasulullah pun secara tegas
mengajarkan pada kita, bahwa "Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri". Sebuah petuah yang mengandung
pendidikan dasar tentang kemandirian untuk membebaskan dari segala bentuk kehinaan.
Itu karena kita, adalah mukmin yang tidak menjadi beban berat bagi orang lain,
apalagi bagi perjalanan dakwah. Wallahu a'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 April 2008 M.