Mungkin ada yang salah
mengerti dengan tulisan saya tentang "menampil atribut dajjal",
mungkin juga ada yang tidak mengerti, dan bahkan sangat mungkin tulisan saya
memang tidak dapat dimengerti.
Apapun kemungkinan tersebut, sebenarnya tulisan
itu adalah karena rasa geli dan juga mungkin jengkel yang saya rasakan. Sebab
beberapa kali saya dihadapkan pada situasi yang menggelikan dan kadang
menjengkelkan. Berikut contoh-contohnya:
Saya beberapa kali meluruskan pemahaman tentang
wanita yang memakai cadar. Mereka bilang itu aliran yang berbeda—mungkin tidak
berani frontal mengatakan aliran sesat—lalu ditambahlah dengan cibiran dan
gunjingan. Lalu terkait dengan celana cingkrang alias kependekan, berakhir juga
dengan perkataan yang bernada sinis. Lalu terkait dengan jenggot yang
kepanjangan, akhirnya keluarlah ungkapan PJMM alias Persatuan Jenggot
Morat-marit. Lalu terkait dengan desakan-desakan tumit yang menjengkelkan saat
shalat berjama'ah, akhirnya pada risih.
Menurut saya—meskipun kata "saya" itu
juga kurang pas diucapkan, sebab dahulu dosen saya di LIPIA, Dr. Ahmad Al Khatm
pernah memotong kata-kata teman saya yang berkata, "ana araa" yang
artinya, saya berpendapat...., beliau langsung berkata, "laa yaquulu
"ana" illaa ibliis..." tidak berkata "saya" kecuali
iblis—kebiasaan masyarakat kita adalah menggunjing dan hanya berani bicara di
belakang, dan itu juga terkait dengan para pengajar agama mereka yang tidak
menguasai bahasannya hingga dirinya sendiri tidak memahami masalah-masalah
dalam fiqih, seperti mana yang disepakati ulama dan mana yang diperselisihkan.
Akhirnya semua masalah dianggap sama.
Tapi yang paling utama sebenarnya adalah sikap
dengki, walaupun sangat kecil. Sebab sekecil dan sehalus apa pun sikap dengki
pastilah ia akan tertampakkan juga. Karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berkata,
Iyyaakum wal hasad fa-innal hasad ya'kulul
hasanaat kamaa ta'kulun naarul hathab
"jauhilah olehmu sikap dengki, sebab ia
senantiasa memakan kebaikan-kebaikan laksana api memakan kayu bakar."[1]
Jadi, tidak mungkin kayu bakar itu terbakar sedang
apinya tak tampak.
Akhirnya saya perlu menjelaskan pada mereka bahwa
cadar, celana cingkrang, jenggot panjang dan desakan tumit adalah persoalan
yang ada bahasannya dalam fiqih dan masing-masing harus dihargai dengan
pilihan-pilihannya selama ia berasaskan dalil yang shahih. Adapun persoalan
yang tidak ada bahasannya dalam fiqih maka saya mohon keikhlasan mereka untuk
tidak menjadikannya bagian dari ibadah yang ada bahasannya dalam fiqih, meski
kadang mereka masih menganggapnya bagian dari itu. Jadi, lebih baik kita diam
dari pada bersikap sinis atau menertawakan, sebab kita kuatirkan diri kita
malah sinis dan menertawakan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Pernah ada kejadian yang menggelikan juga, selama
ini saya sering memulai kajian dengan mengutip hadits Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang berbunyi,
"Fa-inna ashdaqal hadiitsi kitaabullah wa
khairal hadyi hadyu muhammadin shallallahu alaihi wasallam wa syarral umuuri
muhdatsaatuhaa wa kulla muhdatsatin bid'ah wa kulla bid'atin dhalaalah wa kulla
dhalaalatin fin naar"
Dari awal kok saya melihat ada muka-muka dingin—ini
juga perlu saya tegaskan kepada siapa saja, bahwa jangan sampai kita bertemu
saudara muslim dengan tampilan wajah yang tidak thalq alias tidak enak
dipandang mata, padahal kita saat memilih calon pasangan hidup juga selalu
ingin yang berwajah thalq—dan ternyata setelah kajian selesai dan saya tidak
buru-buru pulang, saya berbincang sebentar dengan sebagian pemilik muka-muka
dingin tersebut. Sesudah obrolan kesana-kemari dan suasana sudah mencair, saya
beranikan diri bertanya tentang penampakan muka-muka dingin tersebut apakah
karena saya mengutip hadits yang ada ungkapan bid'ahnya itu? Mereka menjawab, Ya,
tadinya mereka mengira bahwa mereka akan menerima tembakan-tembakan panas dari
mulut saya. Tapi bisa jadi menurut saya, bahwa selama ini masyarakat telah
mengalami tiga hal,
Pertama mereka tidak mendapatkan kajian ilmu, tapi
yang mereka dapatkan adalah kajian anggapan, yaitu sesuatu yang dianggap ilmu
padahal bukan.
Kedua mereka tidak terbiasa diajak berdiskusi
tentang perbedaan ulama.
Ketiga mereka seringnya mendapatkan
penalti-penalti tanpa dikasih tahu sebab pelanggarannya. Sebab tidak semua
orang tahu dengan kesalahan yang dilakukannya.
Pernah juga saya meluruskan persepsi salah tentang
istilah salafi dan wahabi. Dan itu adalah yang saya tunggu-tunggu sekalian
membongkar kedok para penganut agama kemaluan wanita yang selama ini selalu berlindung
di balik baju orang lain, padahal mereka jugalah yang meniup fitnah wahabi.
Dan yang terakhir tentang
partai PKS. Kadang saya sangat kasihan dengan kawan-kawan yang merasa seperti
dajjal saat memakai atribut PKS. Memang dosanya apa memakai atribut tersebut?
Toh kadang banyak orang tidak sadar memakai jersey bola luar negeri yang
berlogo salib, lambang sponsor perusahaan judi, logo perusahaan orang-orang
kafir—otomatis kita sebagai iklan gratis mereka—lalu ada juga jersey yang
bertuliskan nama pemain bola dan kafir lagi.
Ya, seharusnya kita tidak
bersikap yang berlebihan terhadap mereka, meskipun ada juga di antara mereka
yang berlebihan dalam menampilkan atributnya hingga seperti lagunya Mbah Surip,
"tak gendong kemana-mana" alias kemana tempat dan kapan waktu selalu
beratribut.
"Jauhilah oleh kalian
ghuluw(berlebihan) dalam agama."[2]
Kalau dalam menjalankan
ibadah saja dilarang ghuluw apalagi dalam menampil atribut.
Dari sekian peristiwa di
atas, saya mengambil kesimpulan sebagaimana sudah saya simpulkan pada tulisan
terkait, bahwa problem mendasar kita adalah sedikitnya iman dan ilmu. Karena dua hal itulah yang menentukan
elegan dan tidaknya sikap kita. Maka tuntutlah ilmu agama kapan saja dan dari
ulama siapa saja—ingat ya, saya memakai kata ulama, bukan syeikh, ustadz, kyai,
guru dll, sebab kualifikasi ulama bisa dilihat dalam surat Faathir ayat 28—karena
dengan ilmu itulah kita akan terbebas dari anggapan-anggapan.
Fairuz
Ahmad.
Bintara,
15 Shafar 1435 H./18 Desember 2013 M.
Catatan:
[1] hadits lemah, bagi yang bisa berbahasa Arab
silakan lihat takhrijnya di:
[2] HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah
dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu.