Ada semacam pemaksaan untuk menjadikannya
sebuah keharusan dan kebenaran. Namun bila difahami dan ditelaah secara serius,
sebenarnya kalimat itu mengandung celah yang dapat menjadikannya sebuah kalimat
yang salah alias ngawur.
Sebab setiap kata atau kalimat, kadang
kala memiliki dampak dan konsekwensi tertentu bila ia diucapkan atau diamalkan
atas dasar keyakinan, atau kesengajaan dan bahkan karena ketidaksengajaan.
Contoh misalnya ketika orang mengucapkan
kalimat, "Allah tidak mungkin bergembira"
atas dasar keyakinan
bahwa Allah itu berbeda dengan manusia yang bisa bergembira. Jadi bila Allah
bergembira maka sama saja dengan makhluk seperti manusia. Tapi dasar keyakinan
inilah yang justru menempatkan pengucapnya dalam kesalahan, karena salah satu
sifat Allah yang tersebut dalam hadits adalah bergembira.
"Sungguh Allah sangat bergembira
dengan taubat seorang hamba-NYA melebihi gembiranya seseorang di antara kalian
yang menemukan kembali ontanya setelah ia hilang di padang pasir". [Muttafaq
alaihi dari Anas bin Malik]
Atau ada seorang suami yang bercanda
dengan istrinya lalu mengucapkan padanya "kamu saya cerai" atas dasar
ketidaksengajaan karena ia bercanda. Namun bercanda dalam masalah seperti ini
adalah dilarang, sebab bila ia diucapkan dalam keadaan serius maupun bercanda
tetap saja hukumnya sama yaitu jatuh talak.
Lalu apa dampak dari pengucapan kalimat "setia
pada satu pasangan hidup atau istri"?
Paling
tidak ada dua celah yang membuatnya berdampak pada hal-hal seperti ini:
- Bila diyakini bahwa hal itu merupakan wujud kesetiaan suami terhadap istrinya, menghargai kesetiaan istrinya, memanusiakan istrinya dan cukupnya seorang suami pada satu istrinya, maka pertanyaan yang muncul adalah, bukankah keyakinan seperti itu akan menghinakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sebagian sahabatnya radhiyallahu anhum, sebab mereka telah menikah lebih dari satu istri? apa kita kemudian layak mengatakan bahwa mereka tidak setia pada istrinya?
- Bila kesetiaan pada satu istri dianggap sebagai pendapat yang kebenarannya mutlak dalam perkara hukum poligami, maka pendapat ini pun harus dibangun atas dasar dan argumen yang kokoh dan betul-betul mampu membuat ayat yang mengatur poligami itu tidak bisa diamalkan.
Jadi yang
benar adalah, kita wajib setia hanya pada Allah Azza wa Jalla, sebab kesetiaan
pada-NYA akan melahirkan sikap-sikap terpuji. Orang tidak akan berzina dan
berselingkuh bila ia setia kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia tidak akan berpacaran sebab ia setia kepada
Allah Azza wa Jalla. Ia tidak akan mencuri sebab ia setia kepada Allah Azza wa
Jalla. Maka orang yang sanggup melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan
adalah orang yang setia.
Memang tidak ada yang dapat menjamin bahwa
orang yang terlihat hanya memiliki satu istri itu lantas selamat dari
perselingkuhan dan perzinahan[2], kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta'ala
memberikan karunia rahmat dan penjagaan-NYA sehingga orang tersebut menjadi
setia kepada aturan-NYA.
Namun
dalam Islam kita harus tetap berpegang pada dasar hukum bahwa,
"al-hukmu
mabniyyun ala adh-dhawahir",
hukum
itu dibangun atas dasar yang nampak. Karena manusia hanya dibebani urusan yang
nampak, sedang masalah yang tidak nampak maka itu urusan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, meski bukan berarti setiap yang nampak itu benar adanya lantas
dijadikan patokan dan panutan dalam perkara dhohir maupun bathin. Yang dhohir
kita yakini apa adanya sedang yang bathin kita serahkan ilmunya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sebab semuanya
akan dipastikan kebenarannya kelak di Pengadilan Sang Maha Adil.
Jadi, setia pada Allah sejatinya setia
menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangan-NYA. Dan orang yang
setia kepada Allah tidak berarti bernampak dengan satu istrinya. Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 19 Rajab 1434 H./ 29 Mei 2013 M.
---di sebuah acara Televisi dan di hari
yang sama:
[1] Seorang Ustadzah sangat mantap sekali
membuat statemen ini di hadapan jama'ahnya seakan sebuah pendapat yang sudah putus
dan tak boleh ada pendapat lain.
[2] Seorang Pengacara terkenal di negeri ini
saat wawancara ia mengatakan:
"Saya tidak yakin bahwa suami-suami
yang memiliki satu istri itu tidak "main" di luar sana."
(Penulis bersaksi kepada Allah bahwa
tidaklah yang berbicara demikian (sang pengacara) kecuali setan berbulu
manusia)