Salah
satu ciri Ibaadur Rahman (hamba-hamba Dzat Yang Maha Penyayang) yang
disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat
Al-Furqan ayat 68 adalah mereka yang tidak melakukan dosa-dosa besar.
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)."
Mari kita bedah beberapa mukjizat yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan
kata yang digunakan oleh Allah Sang Pemilik Kalam.
Beberapa mukjizat kalam
inilah yang akan mengantarkan kita pada satu kesimpulan, bahwa ia adalah wahyu
ilahi yang tiada sedikit pun mengandung kesalahan. Dan apabila ia hanya
mengandung kebenaran, maka menjadi kewajiban bagi kita untuk mengetahui dimana
letak kebenarannya.
Pertama adalah penggunaan
kata "laa yad'uuna".
Secara bahasa, "yad'u"
berarti memanggil, mengajak dan berdo'a. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh
Allah Ta'ala dalam ayat itu adalah menyekutukan atau berbuat syirik kepada
Allah. Dan Allah tidak menggunakan kata yang memiliki arti spesifik terhadap
kesyirikan yaitu "yusyrikuuna".
Telah kita ketahui bersama
bahwa apa pun bentuk ibadah maka sedikitpun tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Tapi
tahukah kita bahwa ada satu ibadah yang paling sering dilakukan oleh manusia,
baik dikala senang maupun susah. Ibadah tersebut adalah berdo'a, baik meminta
pertolongan, perlindungan, kekuatan, keselamatan, keberkahan dan lain
sebagainya. Saat senang biasanya lisan secara otomatis berucap Alhamdulillah.
Namun pada saat susahlah berdo'a itu menjadi rutinitas yang tak pernah ada
jedanya. Artinya, berdo'a adalah ibadah yang selalu menjadi kebiasaan, sengaja
maupun tidak.
Maka disinilah letak mukjizat kalam yang
mengandung kebenaran itu. Bahwa ibadah yang kadang tampak sepele dan biasa saja
dilarang untuk ditujukan kepada selain Allah, apalagi dengan ibadah yang sampai
melibatkan harta, jiwa dan sebagian besar fisik kita. Karena itulah Allah tidak
secara langsung menyebut "yusyrikuuna" yang artinya
menyekutukan, tapi kata yang dipilih adalah "yad'uuna", sebab dari
sesuatu yang kecil inilah manusia terjebak pada dosa dan kesalahan.
Kedua adalah penggunaan kata "ma'allahi"
yang secara bahasa berarti bersama Allah atau dengan Allah.
Pada kenyataannya, orang yang menyekutukan
Allah Ta'ala tak selamanya ia tampak seratus persen seperti orang musyrik yang
tak lagi melakukan shalat, puasa, zakat, haji bahkan jihad fi sabilillah. Akan
tetapi ada di antara mereka yang masih tampak melakukan ibadah itu semua. Namun
ia melakukannya "sambil" secara sadar atau tidak sadar
berbarengan dengan niat dan tujuan kepada tuhan lain selain Allah.
Sebab itulah Allah mengungkapkannya dengan
"ma'allahi", karena ada orang yang tampak bersama Allah namun
ia telah berselingkuh, bahkan secara fisik berpenampilan mesra dengan Allah
namun ternyata hati lebih berasyik masyuk dengan selingkuhannya.
Ketiga adalah penggunaan shighat atau
bentuk pecahan morfologis pada kata kerja "yad'uuna", "yaqtuluuna",
dan "yaznuuna". Dimana semuanya adalah bentuk kata kerja yang
memiliki keterkaitan waktu sekarang dan akan datang.
Bahwa perbuatan dosa besar bila dilakukan
satu kali saja sudah sangat berat tanggungan dosanya, apalagi bila ia
senantiasa dan setiap waktu dilakukan, maka pantaslah saat Allah menyebutkan
pembalasannya dengan "atsaama" bentuk jamak dari "itsm"
yaitu dosa-dosa.
Keempat adalah penggunaan kata "yalqa"
yang secara bahasa berarti bertemu atau ketemu.
Tidak ada kata terjemahan yang pas dari
bahasa Indonesia terhadap kata ini kecuali terjemahan maksudnya, yaitu
mendapat, sebab bila tetap dipaksakan dengan memberinya arti bertemu atau
ketemu, maka akan sedikit janggal.
Namun di sinilah letak mukjizat kalam itu,
dan di sinilah munasabah atau letak hubungan pembahasan dengan judul tulisan
yang diambil dari ungkapan bahasa Jawa,
"Kembang Kenderat mekar sore, awak
melarat dijarak dewe."
Sesungguhnya kebanyakan orang yang
kehidupannya sempit itu disebabkan karena ulahnya sendiri. Ia bertemu dan
ketemu dosa-dosa sebab ulahnya sendiri yang menyekutukan Allah, membunuh jiwa
tak berdosa dan juga berzina. Dan begitulah yang diungkapkan Allah dalam
ayat-NYA:
"Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit.." [Thaha : 124]
Bila ia diartikan dengan mendapat, maka
seolah-olah ia mendapatkan dosa-dosa itu dari Allah dan Allahlah yang
memberinya. Oleh karena itulah Allah tidak menggunakan kata yang mempunyai arti
mendapat, sebab Allah tidak menzalimi hamba-hamba-NYA. Perbuatan merekalah yang
menjadi sebab atas dosa-dosa itu. Di sini pun Allah mengajarkan adab kepada
kita agar tidak sekali-kali menghubungkan suatu kejelekan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu A'lam.
Fairuz
Ahmad.
Bintara, 11 Rajab 1434 H./ 21 Mei 2013 M.