Zaman semakin maju, katanya.
Tapi manusia makin menjadi budak. Diperas segala apa yang ia punya. Waktu.
Tenaga. Pikiran. Terpaksa juga dipaksa. Hanya untuk memenuhi kebutuhan yang ia
bukanlah kebutuhan. Tapi ia dibutuh-butuhkan hingga menjadi kewajiban.
Kini waktu, tenaga, dan
pikiran dikerahkan mati-matian, agar ia dapat berganti uang. Berubah menjadi
kepingan-kepingan atau lembaran-lembaran yang bernilai materi. Selama waktu
masih berjalan. Selama tenaga masih kokoh. Selama pikiran masih berputar, maka
semuanya bisa untuk diperas agar dapat mengeluarkan sari-sari materi. Tak
peduli apakah dapat mengeluarkan materi yang banyak ataukah sedikit. Sebab yang
dipentingkan adalah ia mampu mengeluarkan.
Hampir-hampir tak ada lagi
sudut kehidupan manusia pada zaman ini yang bersih dari lembar dan keping
materi. Bahkan ia telah sesak. Semua sudutnya seolah telah tertimbun sampah-sampah
materi. Ibarat mencari oase di padang
gersang, maka yang didapat adalah bayang fatamorgana. Ya, oase itu adalah Kalamullah di Kitab-NYA yang
Mulia,
"..mereka (orang-orang
Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang
beruntung."[1]
Sehari dalam kehidupan
hari-hari ini adalah saat-saat yang penuh dengan kelelahan mengais keping dan
lembar materi. Waktu telah hampir seluruhnya hilang. Tenaga telah hampir
seluruhnya terbuang. Pikiran telah hampir seluruhnya terkuras. Dan itu semua
sekali lagi demi menggantinya dengan keping dan lembar materi.
Maka tidaklah aneh bila
kemudian bermunculan sosok-sosok para penjual agama. Demi sesuap nasi ia
menjual diri. Demi sebungkus supermi ia menggadai aqidah. Demi diterima dalam
komunitas materi dan sosial ia korbankan waktu dan harga diri. Hampir semua aspek
dalam kehidupan hari-hari ini telah terhargai dengan materi. Sejatinya
hari-hari ini adalah hari-hari perbudakan manusia. Hari-hari ini adalah hari
perbudakan dunia pendidikan, sebab alangkah banyaknya waktu, tenaga dan pikiran
tergadai hanya karena menutup kewajiban pendidikan. Juga hari perbudakan dunia
keagamaan, sebab betapa banyaknya waktu, tenaga dan pikiran tergadai hanya
karena menutup kewajiban dalam beragama. Dan juga hari perbudakan dunia
politik, sosial, ekonomi dan apa saja. Semua telah memperbudak. Dan manusia
adalah budaknya.
Akhirnya, hanya sedikit waktu
kita yang tersisa setelah waktu-waktu melelahkan dalam perjuangan kita mengais
keping dan lembar materi. Tapi sisa waktu yang sedikit itupun senantiasa
menempatkan kita pada perjuangan selanjutnya, dan bahkan ia adalah peperangan.
Ya, perang antara kepentingan diri kita dengan kepentingan ibadah kepada
Pencipta kita, meski sejatinya ia adalah kepentingan kita juga. Sayang amunisi
tenaga, waktu dan pikiran telah banyak kita muntahkan dalam perang mengais
keping dan lembar materi. Pada akhirnya kita sering menyerah dan kalah takluk
saat kita harus memuntahkan amunisi tenaga, waktu dan pikiran kita dalam perang
meraih tingginya puncak surga. Alangkah benar apa yang disampaikan oleh Nabi
kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam saat ia berkata,
"Bersegeralah dalam amal-amal kebaikan sebelum datangnya
fitnah-fitnah (musibah dan ujian) laksana potongan-potongan malam yang gelap
gulita, saat itu ada seseorang yang di pagi harinya masih beriman namun menjadi
kafir di sore harinya, atau di sore harinya masih beriman namun menjadi kafir
di pagi harinya, ia menjual agamanya dengan perhiasan dunia"[2]
Bukankah gara-gara menutup
kebutuhan yang ia bukanlah kebutuhan, maka ada orang yang rela mencampakkan
agamanya, harga dirinya, moralnya, waktunya, tenaganya, pikirannya dan semua
hal yang ia punya. Itulah fatamorgana hari-hari ini. Hari-hari perbudakan manusia
yang semakin maju zaman dan teknologinya, namun maju pula kedekatannya dengan
fitnah-fitnah. Selayaknya manusia dituntut masih memiliki lampu di saat malam.
Memiliki senjata untuk melindungi diri di saat malam. Dan memiliki cukup bekal
makanan hingga datangnya waktu pagi. Dan sejatinya lampu, senjata dan bekal
makanan itu adalah iman dan ilmu. Sebab bila manusia memasuki malam tanpa
lampu, senjata dan bekal, maka ia harus memilih satu dari dua hal; mati
diterkam binatang buas atau mati karena kelaparan, atau ia terjebak menjual dan
memperbudak dirinya demi mendapatkan lampu fatamorgana, senjata fatamorgana dan
juga bekal fatamorgana.
Fairuz Ahmad.
Bintara di awal pagi, 28 Dzluqa'dah 1434 H./ 4 Oktober 2013 M.
-----------
Catatan:
[1] QS. Al Hasyr : 9.
[2] HR. Muslim dari Abu
Hurairah no.118.