Rabu, 11 Desember 2013

Di Kubang Matre Matre

Zaman semakin maju, katanya. Tapi manusia makin menjadi budak. Diperas segala apa yang ia punya. Waktu. Tenaga. Pikiran. Terpaksa juga dipaksa. Hanya untuk memenuhi kebutuhan yang ia bukanlah kebutuhan. Tapi ia dibutuh-butuhkan hingga menjadi kewajiban.

Kini waktu, tenaga, dan pikiran dikerahkan mati-matian, agar ia dapat berganti uang. Berubah menjadi kepingan-kepingan atau lembaran-lembaran yang bernilai materi. Selama waktu masih berjalan. Selama tenaga masih kokoh. Selama pikiran masih berputar, maka semuanya bisa untuk diperas agar dapat mengeluarkan sari-sari materi. Tak peduli apakah dapat mengeluarkan materi yang banyak ataukah sedikit. Sebab yang dipentingkan adalah ia mampu mengeluarkan.


Hampir-hampir tak ada lagi sudut kehidupan manusia pada zaman ini yang bersih dari lembar dan keping materi. Bahkan ia telah sesak. Semua sudutnya seolah telah tertimbun sampah-sampah materi. Ibarat mencari oase di padang gersang, maka yang didapat adalah bayang fatamorgana. Ya, oase itu adalah Kalamullah di Kitab-NYA yang Mulia,

"..mereka (orang-orang Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung."[1]

Sehari dalam kehidupan hari-hari ini adalah saat-saat yang penuh dengan kelelahan mengais keping dan lembar materi. Waktu telah hampir seluruhnya hilang. Tenaga telah hampir seluruhnya terbuang. Pikiran telah hampir seluruhnya terkuras. Dan itu semua sekali lagi demi menggantinya dengan keping dan lembar materi.

Maka tidaklah aneh bila kemudian bermunculan sosok-sosok para penjual agama. Demi sesuap nasi ia menjual diri. Demi sebungkus supermi ia menggadai aqidah. Demi diterima dalam komunitas materi dan sosial ia korbankan waktu dan harga diri. Hampir semua aspek dalam kehidupan hari-hari ini telah terhargai dengan materi. Sejatinya hari-hari ini adalah hari-hari perbudakan manusia. Hari-hari ini adalah hari perbudakan dunia pendidikan, sebab alangkah banyaknya waktu, tenaga dan pikiran tergadai hanya karena menutup kewajiban pendidikan. Juga hari perbudakan dunia keagamaan, sebab betapa banyaknya waktu, tenaga dan pikiran tergadai hanya karena menutup kewajiban dalam beragama. Dan juga hari perbudakan dunia politik, sosial, ekonomi dan apa saja. Semua telah memperbudak. Dan manusia adalah budaknya.

Akhirnya, hanya sedikit waktu kita yang tersisa setelah waktu-waktu melelahkan dalam perjuangan kita mengais keping dan lembar materi. Tapi sisa waktu yang sedikit itupun senantiasa menempatkan kita pada perjuangan selanjutnya, dan bahkan ia adalah peperangan. Ya, perang antara kepentingan diri kita dengan kepentingan ibadah kepada Pencipta kita, meski sejatinya ia adalah kepentingan kita juga. Sayang amunisi tenaga, waktu dan pikiran telah banyak kita muntahkan dalam perang mengais keping dan lembar materi. Pada akhirnya kita sering menyerah dan kalah takluk saat kita harus memuntahkan amunisi tenaga, waktu dan pikiran kita dalam perang meraih tingginya puncak surga. Alangkah benar apa yang disampaikan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam saat ia berkata,

"Bersegeralah dalam amal-amal kebaikan sebelum datangnya fitnah-fitnah (musibah dan ujian) laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita, saat itu ada seseorang yang di pagi harinya masih beriman namun menjadi kafir di sore harinya, atau di sore harinya masih beriman namun menjadi kafir di pagi harinya, ia menjual agamanya dengan perhiasan dunia"[2]

Bukankah gara-gara menutup kebutuhan yang ia bukanlah kebutuhan, maka ada orang yang rela mencampakkan agamanya, harga dirinya, moralnya, waktunya, tenaganya, pikirannya dan semua hal yang ia punya. Itulah fatamorgana hari-hari ini. Hari-hari perbudakan manusia yang semakin maju zaman dan teknologinya, namun maju pula kedekatannya dengan fitnah-fitnah. Selayaknya manusia dituntut masih memiliki lampu di saat malam. Memiliki senjata untuk melindungi diri di saat malam. Dan memiliki cukup bekal makanan hingga datangnya waktu pagi. Dan sejatinya lampu, senjata dan bekal makanan itu adalah iman dan ilmu. Sebab bila manusia memasuki malam tanpa lampu, senjata dan bekal, maka ia harus memilih satu dari dua hal; mati diterkam binatang buas atau mati karena kelaparan, atau ia terjebak menjual dan memperbudak dirinya demi mendapatkan lampu fatamorgana, senjata fatamorgana dan juga bekal fatamorgana.

Fairuz Ahmad.

Bintara di awal pagi, 28 Dzluqa'dah 1434 H./ 4 Oktober 2013 M.
-----------
Catatan:

[1] QS. Al Hasyr : 9.
[2] HR. Muslim dari Abu Hurairah no.118.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar