Sungguh
bukanlah kebetulan saat kita dapati sekian ayat-ayat Alquran yang di dalamnya
terdapat khithab badii'i atau ungkapan penuh keindahan yang Allah tujukan buat
hamba-hamba-Nya yang beriman. Khithab badii'i itu diulang beberapa kali seolah
menegaskan kepada hamba-Nya bahwa Ia adalah Zat Yang Maha Penyayang dan
senantiasa tak pernah lupa akan kasih sayang-Nya. Meski memang sejatinya Ia tak
akan pernah lupa.
Maka
simaklah khithab badii'i-Nya yang Ia ungkapkan dalam surat Ali Imran ayat 104
yang artinya,
"Dan
hendaknya ada di antara kalian segolongan yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada perbuatan baik dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung."
Lalu
lihatlah khtihab badii'i yang ada di surat Az Zumar ayat 73 yang artinya,
"Hingga
saat mereka (orang-orang yang bertaqwa) mendatangi surga dan dibukakanlah
pintu-pintunya."
Juga
lihatlah di surat Al Furqaan ayat 63 yang artinya,
"Dan
hamba-hamba Zat Yang Maha Pengasih adalah mereka yang berjalan di atas muka
bumi dalam keadaan rendah hati.."
Dan
berikutnya adalah surat An Nur ayat 31 yang artinya,
"Dan
katakanlah kepada wanita-wanita beriman agar menundukkan sebagian pandangannya
dan menjaga kemaluannya."
Tentunya
tak mungkin semua mukjizat Alquran di balik khithab badii'i pada keempat ayat
di atas akan terbahas tuntas dalam tulisan ini. Sebab ilmu Sang Pemilik khithab
tentunya tak mungkin ditulis oleh makhluk-Nya dalam lembaran-lembaran yang
sangat berbatas. Namun yang sedikit dan sederhana ini kiranya akan semakin
menambah keyakinan kita saat terpampang di hadapan kita tentang keagungan kalam
dan ungkapan-ungkapan-Nya. Sebab dengan matalah maka Nabiyullah Ibrahim
alahissalam menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah seraya berkata yang
artinya,
"..akan
tetapi agar hatiku semakin tenteram."
Beliau
mengatakan itu saat ingin melihat cara Allah menghidupkan kembali makhluk yang
telah mati, maka Allah bertanya padanya,
"Apakah
engkau belum beriman (kepada-Ku)?"
Beliau
menjawab,
"Betul
(aku telah beriman) akan tetapi agar hatiku semakin tenteram."[1]
Dan
marilah kita bahas keempat khithab badii'i yang ada pada ayat-ayat di atas. Dan
dalam tulisan sederhana ini hanya akan membahas khithab badii'i berupa huruf
wawu. Ya, satu huruf saja, namun cukuplah satu huruf tersebut menunjukkan satu
pelajaran penting berupa irsyaad wa taujiih tentang al akhlaaqul kariimah.
Lihatlah
ayat pertama saat Allah mendahului ayatnya dengan huruf "wa" yang
artinya "dan", Allah berfirman, "waltakun..."
Lalu
ayat kedua saat Ia berfirman, "wa futihat..."
Kemudian
Ia berfirman, "wa 'ibaadurrahmaan..."
Dan
berikutnya "wa qul lilmukminaati..."
Lalu
dimanakah letak mukjizatnya?
Bukankah
kita juga sudah faham akan arti dan maknanya saat ayat-ayat tersebut
diungkapkan tanpa adanya huruf "wa"? Bahwa tidak ada yang menyalahi
kaedah bahasa meskipun tanpa huruf "wa". Sebagai contoh,
"litakun", "futihat", "'ibaadurrahmaan" dan
"qul lilmukminaat". Namun kita sama sekali dilarang mempertanyakan
hal itu, sebab kita yang tidak memiliki ilmu selayaknya sikap kita bukanlah
mempertanyakan, akan tetapi mencari ilmunya. Sebab mempertanyakan ilmu Allah
adalah sebuah bentuk kebodohan yang teramat sangat. Bukankah telah Allah
ajarkan kepada kita sebuah do'a,
"Robbi
zidnii 'ilmaa"
"Ya
Allah tambahkanlah ilmu untukku"[2]
Coba sekarang kita rasakan betapa kakunya saat kalam-kalam
itu tanpa huruf "wa". Seakan secara tiba-tiba dan sekonyong-konyong
ayat itu disampaikan kepada pendengaran kita bila tanpa huruf "wa".
Kadang terasa kaku, kasar, tegas dan penuh dengan tekanan. Namun disebabkan
Allah sedang berbincang dengan orang-orang berimanlah maka Ia haluskan
kata-katanya. Oleh karena itu Ia letakkan huruf “wa” padanya. Dan itulah
kesantunan Allah terhadap orang-orang beriman. Bila Ia sebagai Tuhan saja memperlakukan
orang-orang beriman dengan santun maka bagaimana dengan kita? Bukankah kita
jauh lebih wajib bertutur santun dengan sesama orang beriman? Dan inilah
pelajaran berharga dari huruf "wa" pada ketiga ayat yang pertama.
Lalu
bagaimana dengan ayat yang keempat?
Ayat
yang keempat bahkan jauh lebih dalam. Sebab sebelumnya Allah telah berkata
kepada laki-laki beriman agar menundukkan sebagian pandangan dan menjaga
kemaluannya. Namun saat berbicara untuk laki-laki maka Allah tidak mendahului
ungkapannya dengan huruf "wa", sedang untuk wanita maka Allah
tambahkan huruf "wa". Meski huruf “wa” pada ayat ini berfungsi
segabai huruf ‘athaf yaitu penyambung antara kata yang sebelumnya dengan kata
yang setelahnya, namun ada hikmah yang menarik padanya, sebab sekali lagi tanpa
huruf “wa” pun maknanya sudah bisa kita fahami.
Bukankah
memang salah satu fungsi huruf "wa" adalah menghaluskan kata-kata
sebagaimana paparan di atas? Dan memang berbicara kepada wanita haruslah dengan
kelembutan, tapi itu baru salah satu pelajaran dari adanya huruf
"wa". Apa pelajaran berikutnya? Bahkan lebih tepatnya adalah hikmah
dan isyarat yang biasa para ulama tafsir sebut sebagai lathaa-iful quran. Ya,
ada satu isyarat betapa Maha Lembutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam membenam
isyarat yang harus kita gali agar ia menampakkan keindahannya. Isyarat yang
sangat halus itu adalah dibedakannya antara khithab untuk laki-laki dan khithab
untuk wanita dengan huruf “wa”. Bila kepada kaum lelaki tanpa huruf “wa” yang
mengesankan ketegasan dan tak perlu berlembut kata, maka sebaliknya kepada
wanita Ia memakai huruf “wa”. Lalu apa hikmah kesan bertutur lembut kepada
wanita namun tidak pada lelaki. Maka di antara hikmahnya adalah, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah membedakan kodrat laki-laki dan wanita. Di antara kodrat
laki-laki adalah berpoligami. Karena Allah telah menciptakan kodrat berpoligamilah
maka Ia turunkan syari’at-Nya terkait bolehnya poligami bagi laki-laki. Dan karena
laki-laki memiliki kodrat berpoligami maka selamanya ia akan selalu tertarik
kepada wanita untuk dinikahinya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjelaskan hal ini saat Ia berfirman yang artinya,
“Dijadikan
indah pada pandangan manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita…..”[3]
Dan Rasulullah pun menegaskan,
"Aku telah dicintakan (oleh Allah) terhadap
perkara duniamu berupa wanita dan wewangian"[4]
Dan karena
kodrat inilah maka laki-laki sering terjebak pada mengumbar pandangan mata
kepada wanita. Berbeda dengan wanita yang Allah ciptakan sebagai pendamping
bagi seorang laki-laki, lalu ditetapkan atasnya syari’at pelarangan menikah
dengan lebih dari satu laki-laki, maka sesuai kodratnya seorang wanita mukminah
tidak akan ada ketertarikan terhadap laki-laki lain untuk menikah dengannya selain
suaminya. Oleh karena itulah ia jarang terjebak pada mengumbar pandangan
matanya terhadap laki-laki lain.
Boleh
jadi karena perbedaan kodrat inilah sehingga Allah isyaratkan perintah menjaga
pandangan mata dengan huruf “wa” bagi wanita dan tanpa huruf “wa” bagi
laki-laki. Bila wanita sudah tak dibolehkan bersuami lebih dari satu laki-laki
maka sesuai kodratnya ia tidak akan mengumbar pandangan matanya, sebab selain
dosa maka pandangan matanya tidak ada guna sama sekali. Namun berbeda dengan laki-laki,
meski mengumbar pandangan mata juga berdosa, namun suatu saat ia terjebak melakukannya
sebab ia masih boleh mencari wanita lebih dari satu. Karena ada peluang boleh
itulah maka perintah Allah kepadanya lebih tegas karena dikuatirkan ia akan
jelalatan, sedang kepada wanita lebih lembut, karena buat apa ia jelalatan
sedang tak ada manfaat sedikit pun yang kembali padanya. Wallahu A’lam.
Fairuz
Ahmad.
Bintara,
26 Shafar 1435 H./ 29 Desember 2013 M.
Catatan:
[1]
QS. Albaqarah : 260.
[2]
QS. Thaahaa : 114.
[3]
QS. Ali Imran : 14.
[4] Musnad Imam Ahmad
3/128,199,285. Nasa'i 7/61 dari Anas bin Malik dengan sanad yang hasan, juga
disahkan oleh Al-Hakim.