Selasa, 10 Desember 2013

USIA SEPENDEK DUA KOTA

Hampir setiap saat di hari minggu dan tanggal merah sekelompok manusia-manusia membentang usianya di jalanan Jakarta-Bogor. Weekend adalah intinya. Jalan-jalan adalah caranya. Makan-makan adalah mampirnya. Belanja-belanja adalah kegembiraannya. Sedang bermacet-macet adalah kebiasaan di awal dan akhirnya. Seolah sudah ritual bagi manusia-manusia itu untuk menghias bentangan umur mereka dengan selalu berweekend-ria setiap hari minggu dan tanggal merah. Ada weekend yang terencana, ada pula yang dadakan. Namun intinya sama, tidak jauh dari mengosongkan isi kantong, isi tangki, isi umur, dan juga isi tenaga.

Bagi manusia-manusia itu, itulah cara untuk mengisi dan membangkitkan kembali jiwa-jiwa lelah, jemu, penat, suntuk, galau, muram, dan sedih akan situasi hidup mereka.
Pekerjaan yang membelenggu waktu, memasung raga, mengikat pikiran, dan juga menguras tenaga. Namun betulkah weekend yang ditekadkan untuk hal tersebut benar-benar tercapai?

Jawaban atas pertanyaan yang bersifat nisbi tersebut tidaklah mudah. Sebab setiap orang pastilah memiliki standar makna kebahagiaan masing-masing. Namun bila manusia-manusia itu jujur, pasti tak akan sulit untuk menjawabnya. Sebab bahagia itu tidak mungkin ada di awal pekerjaan, sebagaimana kepuasan juga tak mungkin ada di permulaan. Dan kebahagiaan berweekend nyatanya hanya ada di awal pekerjaan.

Maka dari itu hendaklah mereka jujur menjawabnya saat sudah sampai kembali di rumah-rumah mereka.

Bahagiakah saat berada di jalanan yang macet berjam-jam?

Bahagiakah saat dalam kondisi macet dan panas menyengat meski dalam kendaraan ber-AC?

Bahagiakah lisan-lisan mereka dengan tetap tersenyum, ramah, sopan dan santun terhadap pengendara yang di dalam mobilnya sendiri atau pun pengendara lain saat kondisi seperti itu?

Bahagiakah suasana hati mereka dengan kondisi tersebut, ataukah hati mereka menggerutu, mengumpat, mencaci, dan bahkan menghina?

"Macet sialan"
"Panas sialan"
"Kempes sialan"
"Mogok sialan"
"Mobil sialan"
"Pintu tol sialan"
"Petugas sialan"
"Rest area sialan"
"Anak rewel sialan"
"Anak muntah sialan"
"Restoran sialan"
"Pom bensin sialan"
"Nyasar sialan"

Ternyata daftar sialan-sialan itu sangatlah banyak. Dan bila mereka sudah mampu mengatasi sialan-sialan itu, maka itulah kebahagiaan, meski baru bahagia di mulut, tapi itu sumbernya dari hati. Sebab biasanya suasana mulut adalah gambaran suasana hati. Sebagaimana syair seorang penyair,

"Innal kalaama lafil fu-aadi wa innamaa, ju'ilal lisaanu 'alal fu-aadi daliila"

Sungguh ucapan itu asalnya ada di dalam hati, dan sejatinya lidah itu dicipta hanyalah untuk mengungkap isi hati.

Dan kalau mau lebih jujur lagi, sungguh weekend dengan cara seperti itu adalah salah satu bentuk kebodohan. Bukan karena tak berakal mereka bodoh. Bukan pula karena tidak mengenyam pendidikan mereka bodoh. Namun lebih karena satu hal saja. Ya, hanya satu hal.

Sejatinya mereka adalah benar-benar para penunggu kematian yang tulen dan sejati, alias ikhlas sepenuh jiwa dan juga hati. Sebab setiap hari-hari itu mereka merelakan diri, berteman jalanan macet yang jarang sekali memberi manfaat pasti.

Bukankah kebahagiaan dapat diganti. Dengan tetap berada di baiti jannati. Bisa dengan menyeruput kopi buatan bidadari. Atau membantunya mengurus si kakak dan si bayi. Atau membaca buku dengan duduk di kursi. Menjelajah dunia ke masa lampau atau yang masa kini. Atau menulis menumpahkan isi hati. Siapa tahu ia dibaca hingga menjadi amal setelah mati.

-------------
Fairuz Ahmad.

Bintara, 20 Syawal 1434 H./ 27 Agustus 2013 M.

Sumber inspirasi: Cibinong-Pulo Gadung via Jagorawi di atas Kowanbisata
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar