Minggu, 08 Desember 2013

TEPAT MEMILIH PERSOALAN HIDUP

Pernahkah kita, suatu saat membayangkan bahwa kita hidup bebas dari masalah? Hampir semua orang membayangkan hal itu. Karena masalah adalah sumber kegelisahan dan kesusahan, pemantik kesedihan juga kemarahan, pemicu keresahan dan keputusasaan. Semua orang menginginkan bahwa kehidupannya akan mengalir bebas laksana sungai bertemu lautan. Tak satupun halangan dapat mencegat kebebasannya mengalir ke arah yang ia suka. Ya, semua orang ingin bebas. Bebas dari masalah keluarga, kerja, keuangan, hutang, anak, pendidikan anak, orang tua, mertua, kakak, adik, tetangga, kepribadian, mental, harga diri, martabat dan masih banyak lagi.
Tapi pernahkah kita berpikir dan merenung, bahwa masalah-masalah itu muncul justru karena kita yang memunculkannya. Kita yang menciptakannya. Dan kita juga yang mendisainnya.
Kita sebenarnya, sadar atau tidak, mungkin telah lama melakukannya, atau sedang melakukannya, atau akan melakukannya, mendisain sebuah masalah untuk diri kita sendiri, menumpuknya, bahkan membuat daftar masalah yang akan dan perlu untuk dilakukan.
Kalau dahulu seringkali kita mendapatkan cerita para orang tua yang berpesan kapada anak-anaknya, dengan ungkapan yang kadang terdengar sangat sederhana, “Nak, jangan main hujan-hujanan!”, karena dia tahu betul, bahwa main hujan-hujanan kadang bisa menyebabkan demam, flu dan lain-lain. Artinya, akan ada masalah kesehatan bila itu dilakukan. Dan yang pasti, sakit adalah masalah bagi siapa saja. Demam akan membuat si anak menjadi malas, rewel, dan itu akan mengganggu orang tuanya, kakak dan adiknya, mungkin juga kakek dan neneknya, juga tetangga-tetangganya. Sehingga betapa dahsyatnya sebuah masalah yang timbul akibat seorang anak yang bandel main hujan-hujanan. Telah membuat atmosfir hubungan anak dan orang tua menghangat, lalu memanas menyapa para tetangga.
Ada juga misalnya cerita dari ulah lidah, yang ceroboh dalam berkata-kata, enteng dalam berbicara, ceplas-ceplos tanpa tata krama, alias “asbun”. Lalu sampailah kepada kita berita perang antar keluarga, duel antar tetangga, bentrok antar warga dan juga pertikaian antar negara. Semua terjadi karena ulah makhluk kecil tak bertulang kita ini. Alangkah dahsyatnya ulah lidah tatkala ia telah pahit, sehingga menjadikan pahit semua hidangan persaudaraan.
Atau kisah seorang laki-laki yang menikah lagi. Tidak dilarang memang. Akan tetapi karena ada perangkat tertentu yang hilang, maka seluruh bangunan rumah tangganya pun sedikit demi sedikit runtuh, pelan, namun pasti. Ya, karena laki-laki itu kehilangan perangkat penting dalam dirinya. Hati jernihnya. Ia telah tidak bisa mendeteksi siapa calon istri berikutnya itu, yang ternyata adalah bukan calon istri yang baik. Lalu ia menikahinya, Sehingga saat-saat berikutnya adalah episode percekcokan antar anggota keluarga, ia dan istri terdahulunya, ia dan istri berikutnya, ia dan keluarga dari istri-istrinya, ia dan anak-anaknya, ia dan saudara-saudaranya, ia dan orang tuanya, ia dan mertua-mertuanya, ia dan siapa saja. Dahsyat bukan?
Bisa juga problem yang muncul dalam hidup kita adalah kebodohan dan kemiskinan, karena kita sadar atau tidak, telah memilih perahu kemalasan untuk mengantar kita ke pulau itu. Lalu sampailah kita di sana dalam kondisi bermasalah. Sehingga permasalahan kita telah menjadi masalah juga buat anak-anak kita, istri kita, keluarga kita, tetangga kita, dan semua yang ada di sekitar kita.
Masalah kesehatan dan waktu pun sering kita temui. Bukan tidak sadar ketika kita menyantap makanan, menghirup udara, tidur, menyalurkan hobi, dan bekerja. Tapi kadang kala kesadaran kita hilang tatkala di hadapan kita sudah tersedia santapan penambah kolesterol, penumpuk lemak, penyumbat pembuluh darah, perusak ginjal, pembunuh jantung dan paru-paru. Kita telah menjadi lupa bila sudah terbuai kesegaran udara AC. Tidak ingat lagi bahwa jam tidur kita hampir sama dengan tidurnya bayi. Tidak ingat lagi bahwa permainan bulu tangkis kita sudah melebihi jam latihan para atlet bulu tangkis sekalipun. Tidak ingat lagi bahwa urusan tanaman dan bunga di rumah kita pun telah menjadikan kita bak seorang juru taman. Juga kita sering lupa, ternyata urusan pekerjaan kita kadang kala telah menghabiskan 29 jam sehari. Lalu, pilihan-pilihan itu membuat waktu kita menyempit, susah bertemu anak, susah bertemu istri, susah bertemu keluarga, susah bertemu tetangga, susah bertemu teman-teman kita. Tapi sekali lagi, masalah itu kitalah yang telah memilihnya, kadang.
Problem besar kita yang lain adalah, ketidakharmonisan hubungan kita dengan Sang Pencipta telah membuat buta mata hati, mematikan hati nurani, juga menumpulkan kreasi. Deretan masalah telah sering kita temui, do’a yang belum terkabul, cita-cita yang belum terpenuhi, harapan yang makin terasa jauh. Barangkali kita telah lupa dan semakin tidak tahu, bahwa ternyata Sumber Kekuatan itu telah menjauh dari kita. Mungkin juga sudah sangat lama menjauh dari kita, sehingga gapaian tangan cita-cita kita pun tak lagi sampai kepada-Nya. Perjalanan do’a kita pun tak lagi bisa menemui-Nya. Sungguh dahsyat akibat yang kita rasakan bila kita tidak sadar memilih problem hidup seperti itu, apalagi dengan sadar kita melakukannya. Wallahu A’lam.
Fairuz Ahmad
Bintara, 25 Desember 2008 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar