Pernahkah kita, suatu saat membayangkan bahwa kita
hidup bebas dari masalah? Hampir semua orang membayangkan hal itu.
Karena masalah adalah sumber kegelisahan dan kesusahan, pemantik kesedihan juga
kemarahan, pemicu keresahan dan keputusasaan. Semua orang menginginkan bahwa
kehidupannya akan mengalir bebas laksana sungai bertemu lautan. Tak satupun
halangan dapat mencegat kebebasannya mengalir ke arah yang ia suka. Ya, semua
orang ingin bebas. Bebas dari masalah keluarga, kerja, keuangan, hutang, anak,
pendidikan anak, orang tua, mertua, kakak, adik, tetangga, kepribadian, mental,
harga diri, martabat dan masih banyak lagi.
Tapi pernahkah
kita berpikir dan merenung, bahwa masalah-masalah itu muncul justru karena kita
yang memunculkannya. Kita yang menciptakannya. Dan kita juga yang mendisainnya.
Kita
sebenarnya, sadar atau tidak, mungkin telah lama melakukannya, atau sedang
melakukannya, atau akan melakukannya, mendisain sebuah masalah untuk diri kita
sendiri, menumpuknya, bahkan membuat daftar masalah yang akan dan perlu untuk
dilakukan.
Kalau dahulu
seringkali kita mendapatkan cerita para orang tua yang berpesan kapada
anak-anaknya, dengan ungkapan yang kadang terdengar sangat sederhana, “Nak,
jangan main hujan-hujanan!”, karena dia tahu betul, bahwa main
hujan-hujanan kadang bisa menyebabkan demam, flu dan lain-lain. Artinya, akan ada masalah kesehatan bila itu
dilakukan. Dan yang pasti, sakit adalah masalah bagi siapa saja. Demam
akan membuat si anak menjadi malas, rewel, dan itu akan mengganggu orang
tuanya, kakak dan adiknya, mungkin juga kakek dan neneknya, juga
tetangga-tetangganya. Sehingga betapa dahsyatnya sebuah masalah yang timbul
akibat seorang anak yang bandel main hujan-hujanan. Telah membuat atmosfir
hubungan anak dan orang tua menghangat, lalu memanas menyapa para tetangga.
Ada juga misalnya cerita
dari ulah lidah, yang ceroboh dalam berkata-kata, enteng dalam berbicara,
ceplas-ceplos tanpa tata krama, alias “asbun”. Lalu sampailah kepada kita
berita perang antar keluarga, duel antar tetangga, bentrok antar warga dan juga
pertikaian antar negara. Semua terjadi karena ulah makhluk kecil tak bertulang
kita ini. Alangkah dahsyatnya ulah lidah tatkala ia telah pahit, sehingga
menjadikan pahit semua hidangan persaudaraan.
Atau kisah
seorang laki-laki yang menikah lagi. Tidak dilarang memang. Akan tetapi karena
ada perangkat tertentu yang hilang, maka seluruh bangunan rumah tangganya pun
sedikit demi sedikit runtuh, pelan, namun pasti. Ya, karena laki-laki itu
kehilangan perangkat penting dalam dirinya. Hati jernihnya. Ia telah tidak bisa
mendeteksi siapa calon istri berikutnya itu, yang ternyata adalah bukan calon
istri yang baik. Lalu ia menikahinya, Sehingga saat-saat berikutnya adalah
episode percekcokan antar anggota keluarga, ia dan istri terdahulunya, ia dan
istri berikutnya, ia dan keluarga dari istri-istrinya, ia dan anak-anaknya, ia
dan saudara-saudaranya, ia dan orang tuanya, ia dan mertua-mertuanya, ia dan
siapa saja. Dahsyat bukan?
Bisa juga
problem yang muncul dalam hidup kita adalah kebodohan dan kemiskinan, karena
kita sadar atau tidak, telah memilih perahu kemalasan untuk mengantar kita ke
pulau itu. Lalu sampailah kita di sana
dalam kondisi bermasalah. Sehingga permasalahan kita telah menjadi masalah juga
buat anak-anak kita, istri kita, keluarga kita, tetangga kita, dan semua yang
ada di sekitar kita.
Masalah kesehatan dan waktu pun sering kita temui.
Bukan tidak sadar ketika kita menyantap makanan, menghirup udara, tidur,
menyalurkan hobi, dan bekerja. Tapi kadang kala kesadaran kita hilang tatkala
di hadapan kita sudah tersedia santapan penambah kolesterol, penumpuk lemak,
penyumbat pembuluh darah, perusak ginjal, pembunuh jantung dan paru-paru. Kita
telah menjadi lupa bila sudah terbuai kesegaran udara AC. Tidak ingat lagi
bahwa jam tidur kita hampir sama dengan tidurnya bayi. Tidak ingat lagi bahwa
permainan bulu tangkis kita sudah melebihi jam latihan para atlet bulu tangkis
sekalipun. Tidak ingat lagi bahwa urusan tanaman dan bunga di rumah kita pun
telah menjadikan kita bak seorang juru taman. Juga kita sering lupa, ternyata urusan pekerjaan kita kadang kala telah
menghabiskan 29 jam sehari. Lalu, pilihan-pilihan itu membuat waktu kita
menyempit, susah bertemu anak, susah bertemu istri, susah bertemu keluarga,
susah bertemu tetangga, susah bertemu teman-teman kita. Tapi sekali lagi, masalah itu kitalah yang telah
memilihnya, kadang.
Problem besar
kita yang lain adalah, ketidakharmonisan hubungan kita dengan Sang Pencipta
telah membuat buta mata hati, mematikan hati nurani, juga menumpulkan kreasi.
Deretan masalah telah sering kita temui, do’a yang belum terkabul, cita-cita
yang belum terpenuhi, harapan yang makin terasa jauh. Barangkali kita telah
lupa dan semakin tidak tahu, bahwa ternyata Sumber Kekuatan itu telah menjauh
dari kita. Mungkin juga sudah sangat lama menjauh dari kita, sehingga gapaian
tangan cita-cita kita pun tak lagi sampai kepada-Nya. Perjalanan do’a kita pun
tak lagi bisa menemui-Nya. Sungguh dahsyat akibat yang kita rasakan bila kita
tidak sadar memilih problem hidup seperti itu, apalagi dengan sadar kita
melakukannya. Wallahu A’lam.
Fairuz Ahmad
Bintara, 25 Desember 2008 M.
Bintara, 25 Desember 2008 M.