Ibadah laksana sebuah bangunan. Ia dapat
berdiri tegak dan dalam jangka waktu yang lama bila dibangun di atas pondasi
yang kuat. Saat pondasi dibuat kokoh maka bangunan yang bertumpu kepadanya juga
akan kokoh. Begitu juga sebaliknya, saat pondasi dibuat asal-asalan alias asal
jadi, atau bahkan mungkin ada sebuah bangunan yang berdiri tanpa pondasi, maka
tidak perlu menunggu waktu lama kita akan menyaksikan bangunan tersebut runtuh.
Ada
banyak orang membangun rumah dengan segala bentuk dan warna-warninya. Ia telah
merancangnya semewah dan seindah mungkin. Mampu memesonakan siapa saja yang
memandangnya, karena memang ia penuh pesona. Mampu membuat setiap orang
berangan-angan memilikinya, karena memang ia membuat nyaman siapa saja. Semua
merasakan decak kagum dalam hatinya oleh sebab mata telah jatuh dalam
pandangannya. Alangkah indah dan mewahnya rumah di hadapannya.
Namun apa jadinya bila ternyata rumah mewah
dan indah itu hanya dibangun langsung di atas tanah tanpa pondasi. Betapa
tertipunya orang-orang yang sudah kagum dengan kemewahan dan keindahannya. Dan
yang paling utama, betapa ruginya sang pemilik rumah, bila tidak lama lagi
kemewahan dan keindahan rumahnya akan segera runtuh. Dan lebih berbahaya lagi
saat reruntuhan rumahnya menimpa sang pemilik rumah. Sebuah ironi akibat tumpukan
kerugian-kerugian saat membangun rumah mewah tanpa pondasi.
Sejatinya bila kita mau jujur, ternyata
perilaku kita dalam membangun rumah, kadang tidak kita sadari telah menyapa
perilaku kita dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam beribadah
kita tak ubahnya membangun sebuah rumah.
Ada yang penuh
perhitungan matang sehingga menghasilkan bangunan rumah yang kokoh sebab ia
telah membangunnya di atas pondasi yang kokoh. Namun di antara kita ada pula
yang beribadah sebagaimana orang membangun rumah dengan tidak memperhatikan
pentingnya pondasi, bahkan ada yang tanpa pondasi.
Ada
beberapa sebab yang membuat kita membangun rumah dengan pondasi asal-asalan
atau sama sekali tanpa pondasi, di antaranya adalah:
Isti'jal / Tergesa-gesa.
Bila kita terburu-buru membangun rumah maka bisa
dipastikan sikap ketergesaan itu akan menghasilkan bangunan rumah yang kurang
sempurna. Boleh jadi kita lupa membangun pondasi atau lupa membuatnya kokoh. Sebab
tergesa-gesa akan menumpulkan akal untuk berpikir, mengeringkan jiwa yang
berakibat rumah pun akhirnya tak terasa nyaman. Begitulah gambaran kita saat
beribadah. Bila dilakukan tergesa-gesa maka bukan saja kita telah kehilangan
akal untuk sekedar berpikir bahwa ibadah itu ditujukan kepada Allah. Dan itulah
yang menyebabkan jiwa kita terasa kering saat beribadah.
Lebih Mementingkan Penampilan.
Ada
juga persoalan kita saat membangun rumah, yaitu terlalu mementingkan
penampilannya. Perhatian kita hanya terfokus pada bentuknya yang mewah, indah
dan sedap dipandang mata. Namun alangkah rugi dan berbahaya saat bangunan rumah
yang megah dan indah itu ternyata tanpa pondasi. Kemegahannya pun akan menipu
setiap orang yang memandangnya. Maka apa jadinya saat kita beribadah dengan
sangat khusyu' dan penuh penghayatan itu ternyata hanya penampilan yang
seakan-akan. Ya, seakan-akan khusyu' dan penuh penghayatan, namun sejatinya ia
hanya sebatas penampilan.
Kebodohan.
Bahwa membangun rumah membutuhkan adanya
ilmu. kita tidak sekedar membangun rumah kemudian bisa dihuni. Dan salah satu
ilmunya adalah harus membangun pondasi. Bila kita tidak tahu cara membangun
rumah yang benar, boleh jadi kita membangunnya tanpa pondasi.
Kompetisi.
Saat fokus kita adalah bersaing dalam
membangun rumah dengan para tetangga, maka boleh jadi suatu saat kita terjebak
pada hal-hal yang tidak penting. Sebab bersaing berarti harus menang dalam perlombaan.
Mungkin harus menang dalam keindahannya, mungkin juga penyelesaiannya, atau
mungkin besar fisiknya. Bila kita sadar bahwa membangun rumah pada suatu saat
tak perlu persaingan, maka kita tidak akan perduli dengan apa yang dihasilkan
dan dicapai oleh tetangga kita. Sebab yang penting kita pun membangun sebuah
rumah untuk kita huni sendiri. Betapa lelahnya kita bila setiap saat harus
melakukan persaingan dengan para tetangga.
Pada akhirnya semua tak akan bertahan lama,
sebab semuanya membutuhkan pondasi yang kokoh. Dan pondasi dalam beribadah
adalah sabar.
Dan tahukah kita bahwa saat kita beribadah,
kita diharuskan bersabar. Seperti kata para ulama, bahwa salah satu bentuk
sabar adalah sabar saat menjalankan ibadah.
Bila kita kehilangan kesabaran, bukan saja
shalat yang menjadi sebuah gerakan olah raga, namun bibir kita pun akan sulit mengulas
senyum.
Sungguh, mengurus rumah tangga adalah ibadah.
Mengurus suami adalah ibadah. Mendidik istri adalah ibadah. Mengurus anak-anak
adalah ibadah. Bergaul dengan tetangga adalah ibadah. Mencari nafkah adalah
ibadah. Dan sejatinya, semua hal bagi seorang muslim adalah ibadah. Dan
kebanyakan ibadah adalah pekerjaan yang sulit dan menyulitkan. Namun ia menjadi
ringan, bahkan sangat ringan, bila kita menunaikannya dengan penuh kesabaran.
Fairuz Ahmad.
Bintara, selesai menguburkan jenazah 16
Jumadil Ula 1434 H./ 28 Maret 2013 M.