Rabu, 25 Desember 2013

Modal Pas-pasan Bernama Mulut

Menjadi pemain bola profesional itu berat. Tiap saatnya harus menyedia waktu, tenaga dan pikiran yang tak sedikit. Tapi ia akhirnya sangat layak mendapat apresiasi karena kepiawaiannya menampil keahlian.

Dan pemain profesional sangatlah terlihat beda dengan penonton. Bila ia menendang bola maka ia tendang menggunakan kaki, sedang penonton menggunakan mulutnya. Bila ia menyundul bola maka ia sundul memakai kepala, sedang penonton menggunakan mulutnya. Bila ia mencetak gol maka setelahnya ia merubah skor, sedang penonton tak mampu mencetak gol apalagi merubah skor
.

Kakinya sangatlah berharga, demikian juga kepalanya, tumitnya, lututnya, dadanya, sepatunya, larinya, nafasnya dan keseluruhannya. Sedang hal yang paling berharga yang dimiliki oleh penonton hanyalah: MULUT.

Sepatu emas hanya bisa diraih dengan banyak mencetak gol.
Bola emas hanya bisa diraih dengan kepiawaiannya bermain bola dan membawa timnya juara.
Topi khusus hanya bisa diraih dengan banyak menyandang cap.

Tapi penonton tak akan pernah meraih apapun, sebab memang tak akan pernah ada penghargaan yang layak diberikan kepada orang yang modalnya hanya mulut.

Demikian juga dengan sebutan:

Ulama, tak mungkin karena modal mulut.
Syaikhul Islam, tak mungkin karena modal mulut.
Al Imam Al Hafidz, tak mungkin karena modal mulut.
Al Allamah, tak mungkin karena modal mulut.
Al Faqih, tak mungkin karena modal mulut.
Al Muhaddits, tak mungkin karena modal mulut.

Sungguh telah jelas perbedaan antara pemain profesional dengan para penonton.

"Wa hal yakubbun naasa fin naari 'alaa wujuuhihim illaa hashaa-idu alsinatihim"

Dan bukanlah yang menyungkurkan muka-muka manusia ke dalam api neraka kecuali ulah mulut-mulutnya. (HR.Tirmidzi)

Fairuz Ahmad.

Bintara, 10 Shafar 1435 H./13 Desember 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar