Pernahkan
kita membayangkan atau bahkan menginginkan kemampuan membuat hal-hal berat
menjadi ringan. Sesuatu yang besar menjadi kecil. Yang sulit menjadi mudah. Yang
tinggi menjadi rendah. Dan yang mahal menjadi murah meriah?
Tahukah kita bahwa lingkungan kadang telah mengajarkan
banyak hal kepada kita yang selanjutnya tanpa kita sadari, ternyata banyak hal
yang telah kita pelajari dari lingkungan itu telah mampu membentuk pikiran kita
menjadi sebuah benda kristal yang keras. Tanpa kita sadari bahwa pembiasaan
yang dilakukan oleh lingkungan terhadap kita telah mampu mengubah
tetesan-tetesan air perilaku kita menjadi kaku dan keras laksana batuan
stalagmit dan stalagtit. Baik benda kristal maupun batuan stalagmit, keduanya
sangatlah keras, karena kerasnya maka ia mudah pecah saat terjadi benturan.
Bila alam pikiran kita telah kehilangan sifat
lunaknya, sejatinya ia telah sering kali membuang-buang energinya. Karena
setiap kali ia berhadapan dengan sebongkah batu raksasa yang menghalangi
perjalanannya, ia langsung dan selalu terfokus untuk mengangkatnya atau
menghancurkannya sekaligus agar semuanya menjadi lancar. Tapi sering kali kemampuan kita tidak mampu untuk
melakukannya sekaligus. Karena seharusnya ia melakukannya sedikit demi
sedikit.
Ibarat pedagang obat, sering kali kita
temukan ia mengalami kesulitan, atau mungkin ia sendiri yang mempersulit
dirinya sendiri saat menyampaikan informasi kepada calon konsumen yang belum
mengerti detil dan seluk beluk sebuah produk unggulan yang ia jual. Dalam
pikirannya ia tahu, bahwa calon pembelinya ini belum mengetahui produknya dan
ia memang kelihatan sangat antusias terhadap produk itu, dan hal itulah yang
kemudian langsung diterjemahkan oleh sang pedagang bahwa calon konsumennya itu
wajib membelinya karena ia butuh.
Maka mulailah sang pedagang mengeluarkan
seluruh jurus pendekar sales yang ia pelajari dan yang ia sendiri baru tahu. Bahkan
ada beberapa jurus yang ia belum mengerti cara penggunaannya. Dalam pikirannya
hanya ada satu kata, calon konsumen itu harus beli, titik.
Lantas semua hal ia sampaikan. Ia mulai
bicara tentang merk. Kenapa produk tersebut dinamakan dengan merk itu, tentang
filosofinya, siapa pembuatnya, perbedaannya dengan merk-merk lain yang ada di
pasaran, sampai ia sebutkan siapa saja yang suka dan mencintai nama merk itu.
Berikutnya ia bicara tentang kemasan. Mulai
dari warnanya, bahannya, bentuknya, bobotnya, sampai dari mana bahan kemasan
itu berasal, dan tidak ketinggalan siapa saja yang sangat suka dan mencintai
bentuk kemasan seperti itu.
Selanjutnya ia bicara tentang kandungan produknya.
Ia mulai bercerita tentang bahan-bahan ramuannya. Satu-persatu ia jelaskan
secara rinci dari sepuluh bahan-bahan itu. Dari mana bahan itu diperoleh, cara
memperolehnya, perbedaannya dengan bahan-bahan lain yang ada di pasaran, sampai
cerita tentang siapa saja yang telah mencintai bahan-bahan itu.
Lalu cerita tentang arus distribusi produk
itu. Dari tangan pertamanya sampai konsumen terakhirnya alias pengguna. Semua
tercatat dan telah ia hafalkan seluruhnya untuk kemudian ia sampaikan pula
semuanya sebagaimana adanya kepada setiap calon pembeli, tanpa kurang dan
tambah.
Terakhir ia mengunci penjelasannya, bahwa
produk miliknya adalah yang terbaik di antara produk-produk lain yang ada di
pasaran. Dan kadang pula ia
tambahkan kata-kata awas barang palsu untuk produk lain yang bukan miliknya.
Yang
pasti, sang pedagang itu tidak salah dalam memberikan informasi, karena memang
tidak ada yang ia sembunyikan. Akan tetapi tak selamanya ia harus berjuang
seperti itu. Ya, tak selamanya ia selalu harus membuang energinya kepada setiap
calon pembeli dengan selalu mengeluarkan seluruh jurus menjualnya.
Sungguh saat kita menawarkan kebaikan agama
kepada orang-orang tak ubahnya sebagai seorang pedagang. Saat ada calon pembeli
yang membutuhkan obat sakit kepala, maka bukanlah saat yang tepat kita
mengeluarkan semua jurus pendekar sales untuk menjelaskan obat sakit kepala
dari A sampai Z-nya. Karena boleh jadi ia menjadi bosan dan bertambah sakit
kepalanya, yang pada akhirnya ia akan pindah ke lain toko yang lebih simpel dan
tak berpanjang lebar. Baginya yang terpenting adalah membeli obat lalu
membawanya pulang untuk diminum.
Lihatlah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
membimbing kita untuk menjadi penjual yang baik saat berfirman:
"Dan katakanlah kepada mereka dengan
perkataan yang ma'ruf (baik)."[1]
Ma'ruf artinya baik, diketahui dan dikenal. Maka
sebagai penjual, tidaklah tepat bila setiap saat kita bicara panjang lebar. Karena boleh jadi perkataan kita belum
diketahui dan dikenal oleh pembeli.
Dan
lihatlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat mengajarkan kita cara
menjual yang baik kepada pembeli dengan mengatakan:
"Berilah kabar gembira jangan kau
buat mereka lari, permudahlah dan jangan kau persulit." [2]
Sebuah jurus ampuh yang tak ada banding
maupun tanding. Pembeli harus merasa senang dan tenang dengan mendapatkan obat
yang tidak sulit dan menyulitkan. Dan sesuatu yang sulit dan menyulitkan adalah
mendengarkan penjelasan yang tentang obat yang berkepanjangan.
Bukankah beliau juga mengajarkan kepada kita
agar tidak menjelaskan kepada orang yang tidak memerlukan penjelasan panjang
lebar, beliau bersabda:
"Berbicaralah kepada manusia dengan
sesuatu yang mereka mengerti, apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul-NYA
didustakan?" [3]
Simaklah cerita tentang Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam saat ia mengajarkan kepada para sahabatnya yang
mulia, saat datang seseorang yang bertanya tentang perkara yang sangat besar
dari agama ini. Alangkah sederhananya beliau saat membuat orang faham dan
mengerti tentang apa itu Islam, iman dan ihsan.
Dari
Umar radhiallahuanhu dia berkata:
"Ketika kami duduk-duduk disisi
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi
lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata :
“Ya Muhammad, beritahukan aku tentang
Islam ?”
maka bersabdalah Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam :
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak
ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan
pergi haji jika mampu",
kemudian dia berkata : "anda
benar".
Kami semua heran, dia yang bertanya dia
pula yang membenarkan. Kemudian dia
bertanya lagi :
"Beritahukan aku tentang Iman".
Lalu beliau bersabda :
"Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk",
kemudian dia berkata : "anda
benar".
Kemudian dia berkata lagi :
"Beritahukan aku tentang ihsan",
Lalu beliau bersabda :
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat
engkau”.[4]
Tak selamanya kita harus menjelaskan perkara
agama lengkap dengan semua perbedaan ulama di dalamnya. Sebagaimana kadang kita
tak perlu membahas cabang-cabangnya bila yang penting adalah penjelasan tentang
pokoknya.
Ya, suatu saat kita harus mampu merubah
seekor gajah yang berat agar ia bisa seringan kapas.
Karena sebongkah batu raksasa tidaklah
mustahil, untuk kita ubah menjadi butiran pasir.
Fairuz Ahmad.
Bintara, habis shubuh 13 Rabi'ul Awwal 1434
H./25 januari 2013
---------------
Catatan :
[1] An-Nisa' : 5
[2] Shahih Bukhari dari Anas bin Malik no. 69
[3] Hadits mauquf diriwayatkan oleh Bukhari
dari Ali RA dalam kitabul ilmi bab man khashsha bil ilmi qauman duna qaumin
karahiyata an la yafhamu.
[4] Shahih Bukhari dari Abu Hurairah no.50,
dan Shahih Muslim dari Umar bin Khaththab no. 8