Bukti bahwa syi'ah adalah agama tersendiri
tercermin dari definisi hadits shahih yang sangat berbeda dengan definisi
hadits shahih menurut Ulama Islam, hadits shahih menurut syi'ah:
Shahih: Apa yang tersambung sanadnya sampai
kepada Al-Ma'shum (alaihissalam) melalui imam yang adil dari imam adil lainnya
yang setara pada setiap thabaqah (tingkatan)nya.[1]
Sedang dalam Islam: Apa yang tersambung
sanadnya melalui riwayat rawi dhabith dan adil dari rawi dhabith dan adil
lainnya dari awal sampai akhirnya, tanpa ada syudzudz dan illat.[2]
Jadi hadits shahih menurut ulama Ahlus Sunnah
adalah hadits yang terpenuhi 5 syarat:
- Sanad yang tersambung
- Perawinya dhabith, yaitu sadar saat menerima dan meriwayatkan hadits, kuat hafalannya dan tidak pernah salah sehingga tahu bila ada distorsi sanad maupun matan, faham bila ia meriwayatkannya secara makna.
- Perawinya adil, yaitu lurus agamanya, akhlaknya terjaga, terbebas dari perilaku kefasikan dan perilaku yang dapat menghilangkan harga dirinya.
- Riwayatnya tidak ada syudzudz, yaitu riwayat seorang rawi tsiqah (dhabith dan adil) yang menyelisihi riwayat rawi yang lebih tsiqah.
- Riwayatnya tidak ada illat, yaitu cacat seperti riwayat hadits shahih padahal mursal atau munqathi', marfu' padahal mauquf dll.
Bila
kita melakukan muqaranah(perandingan) kedua definisi di atas, jelas
perbedaannya sangatlah tajam.
Dalam agama syi'ah, sanad yang tersambung
sampai kepada al-ma'shum ini di beberapa literatur syi'ah kadang ditulis
al-ma'shum dan setelahnya ada huruf 'ain dalam kurung yang artinya adalah
alaihis salam, dan kalimat alaihis salam ini kadang dipakai untuk Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam dan kadang dipakai untuk Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu. Namun yang sering dipakai untuk Ali adalah huruf 'ain,
sedang untuk Nabi adalah huruf siin. Yang mengherankan adalah kenapa ulama
mereka ini tidak menggunakan lafal yang sharih (jelas) siapa sebenarnya yang
dimaksud dengan al-ma'shum?
Bila yang dimaksud adalah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam maka syarat ini bersepakat dengan definisi ulama Ahlus Sunnah,
namun bila yang dimaksud adalah Ali radhiyallahuanhu maka syarat ini
berselisih.
Kalau dalam definisi Ahlussunnah terkait
syarat perawi adalah dhabith dan adil, maka dalam agama syi'ah syarat perawi
adalah harus seorang imam mereka (an yakuuna imaamiyyan) dan imam tersebut
syaratnya mamduuhan.[3]
Syarat perawi harus seorang imam inilah bukti
bahwa syi'ah itu agama tersendiri, sebab menyalahi definisi ulama Ahlus Sunnah.
Karena syarat perawi harus seorang imam mereka berdampak pada tidak diterimanya
sahabat-sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai perawi hadits. Dan bila para sahabat ini meriwayatkan
hadits maka otomatis haditsnya tertolak. Sebenarnya akar masalah ini adalah
karena dalam agama syi'ah para sahabat Nabi adalah kafir, jadi tidak mungkin
orang kafir diterima riwayatnya.
Sedangkan "mamduuh" adalah syarat
bagi imam tersebut yaitu "an yakuuna (imaamiyyan) mamduuhan". Dan
maksud dari mamduuh adalah pujian khusus. Yaitu seorang imam tersebut telah
mendapatkan pujian khusus berupa "sifat adil" meski tidak mendapatkan
pujian dalam hal keilmuan dan kejujurannya.[4] Jadi yang penting bagi mereka,
perawi hadits shahih haruslah seorang imam yang mamduuh, meski ilmu dan
kejujurannya tidak mendapat pujian alias dipertanyakan. Bila ia meriwayatkan
hadits, maka haditsnya shahih meski syadz. Maka dari itu, dalam literatur
mereka disebutkan bahwa hadits itu ada yang disebut hadits shahih syadz.[5]
Sungguh tampak sekali kerancuan dalam
definisi hadits shahih dalam agama syi'ah ini. Sebab bila syaratnya adalah 2,
yaitu sanad yang tersambung, meski kita dibuat bingung kemana sanad itu
bersambung, ke Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ataukah ke Ali
radhiyallahu anhu. Lalu yang kedua adalah perawi haruslah seorang imam mereka.
Maka yang akan terjadi adalah berserakannya hadits-hadits palsu di kitab-kitab
mereka seperti kitab Al-Kafy, Nahjul Balaghah, Biharul Anwar dan juga
kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir Al-Qummy, Al-majlisy dan lain-lain.
Sebab yang penting adalah hadits tersebut nyambung dan perawinya adalah
imam-imam mereka, tidak peduli meski matannya tidak sesuai dengan keimanan,
akal dan akhlak.[6]
Dan bila mereka secara sharih mengatakan
bahwa imam itu syaratnya adalah mamduuh, maka pertanyaan yang muncul adalah,
adakah imam mereka yang tidak mamduuh? sehingga sampai keluar syarat imam harus
mamduuh?
Fairuz Ahmad.
Bintara, 3 Sya'ban 1434 H./12 Juni 2013 M.
-----------
Catatan :
[1]
Qawa'idul Hadits oleh Muhyiddin Al-Musawy Al-Ghuraify, cet. 2 hal. 24, Darul
Adhwa' Beirut
1406 H./1986 M.
[2]
Ushulul Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu DR. Muhammad Ujaj Al-Khathib, halaman
304-305, Darul Fikr Beirut 1409 H./ 1989 M.
[3]
Buhuts Fi Ilmi Ad-Dirayah war Riwayah Syarhu Wajizatis Syaikh Al-Baha'iy oleh
Syeikh Malik Musthafa Wahby Al-'Amily, cer. 1 hal. 64, Darul Hady Beirut 1428 H./ 2007 M.
[4]
Buhuts Fi Ilmi Ad-Dirayah war Riwayah Syarhu Wajizatis Syaikh Al-Baha'iy oleh
Syeikh Malik Musthafa Wahby Al-'Amily, cer. 1 hal. 64, Darul Hady Beirut 1428 H./ 2007 M.
Dan kitab Ushulul Hadits wa Ahkamuhu Fi Ilmid Dirayah oleh Syeikh Ja'far
As-Subhany, cet. 1 hal. 48, Dar Jawad Al-Aimmah Beirut 1433 H./ 2012 M.
[5]
Buhuts Fi Ilmi Ad-Dirayah war Riwayah Syarhu Wajizatis Syaikh Al-Baha'iy oleh
Syeikh Malik Musthafa Wahby Al-'Amily, cer. 1 hal. 64, Darul Hady Beirut 1428 H./ 2007 M.
[6]
yang tidak sesuai dengan keimanan misalnya adalah pemberian sifat ketuhanan
kepada Imam Ali, dan yang tidak sesuai akal misalnya adalah Imam Mahdi mereka yang
sekarang bersembunyi dalam goa, sedang yang tidak sesuai dengan akhlak misalnya
adalah bolehnya menyetubuhi istri lewat duburnya meski itu dibenci. (semua
tertulis dalam kitab-kitab mereka)