Dahulu saat masih di Salemba sekitar tahun 94-an, ada sebuah
buku cerita judulnya "al hubbu laa yakfii", cinta saja tak cukup.
Buku ini bercerita tentang situasi-situasi kehidupan yang sepertinya nyata
pernah terjadi. Sarat pelajaran akhlak dan budi pekerti. Sebab pembaca langsung
diajak berpikir dan menelaah situasi-situasi salah dalam hidup, terutama
kesalahan kita saat mendidik dan menyiapkan generasi.
Salah satu cerita pendek yang ada dalam buku tersebut adalah
kisah seorang anak gadis desa yang akhirnya diceraikan oleh suaminya. Awalnya gadis
desa itu tumbuh sebagaimana umumnya lingkungan desa yang sangat menjaga
adab-adab dan tata karma. Budi pekertinya sangat baik. Dan itu hasil didikan
langsung ayahnya. Namun sayangnya sang gadis hanya menamatkan sekolah sampai
tingkat SMA saja. Dan kebanyakan gadis-gadis di desa mereka seperti itu. Tidak ada
yang aneh, juga tidak menjadi suatu aib dan kekurangan, sebab di desa mereka
tidak ada perguruan tinggi. Perguruan tinggi adanya di kota jauh dari desa
mereka. Ayahnya sangat mencintainya sebab budi pekerti anaknya yang sangat
baik.
Suatu hari datanglah seorang laki-laki ke desa tersebut. Seorang
yang berpendidikan tinggi. Datang dari kota yang sangat jauh dan jarak yang
ditempuh harus menggunakan pesawat. Dalam sebuah penelitian lelaki itu akhirnya
banyak bergaul dengan warga desa tersebut. Ia pun akhirnya tahu ada seorang
gadis yang sangat baik budi pekertinya. Akhlaknya sangat mempesona. Mungkin tidak
pernah ia temukan yang semisalnya di tempat ia tinggal di kota. Akhirnya ia
menemui ayahnya ingin menyampaikan suatu maksud. Ia ingin menikahinya. Akhirnya
mereka menikah.
Gadis itu kemudian diboyong oleh suaminya yang sangat
mengagumi akhlaknya. Ia sangat bangga. Mendapat gadis beradab mulia meski hanya
seorang gadis desa. Waktu pun berjalan. Seminggu. Sebulan. Setahun. Di tahun
kedua barulah muncul persoalan yang tampak semakin nyata. Mungkin sudah ada
sebelumnya, tapi ia tersimpan sebab suaminya masih bisa menerima karena
pernikahan yang baru dirasa. Persoalan yang muncul tersebut adalah tidak
setaranya wawasan gadis desa itu dengan wawasan suaminya yang berlatar belakang
pendidikan tinggi. Berkali-kali persoalan tersebut muncul sampai akhirnya sang
suami tidak nyaman hingga akhirnya ia menghubungi orang tuanya agar menjemput
anaknya.
Ayah sang gadis pun datang. Dalam perjalanan pulang di
pesawat ia berkali-kali menghibur anaknya agar tidak bersedih. Ia masih sangat
mencintainya sebagai anak yang berbudi luhur. Sang ayah pun menghiburnya dengan
mengatakan,
“Ini semua salah ayah. Ayah sangat mencintaimu dengan selalu
mendidikmu dengan budi pekerti yang baik. Namun ayah lupa bahwa cinta saja tak
cukup. Seharusnya kamu mendapatkan pendidikan yang bisa setara dengannya.”
Cerita selesai.
Sejujurnya cerita di atas sangat bernilai. Sebab ternyata
jauh-jauh sebelumnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah menyinggung
persoalan kesetaraan ini, yaitu kufu’. Meski para ulama berbeda-beda dalam memberikan
makna kufu’ antara suami istri, yang pasti ketidaksetaraan dalam hal apa saja bisa
jadi akan benar-benar menjadi persoalan. Sebab tak semua suami dan tak semua
istri mampu menerima ikhlas sepenuh hati perbedaan yang ada di antara mereka. Meski
setiap suami dan istri sejatinya harus membenamkan satu keyakinan dalam
dirinya, bahwa tidak akan mungkin ada dua orang yang sama persis dengan
dirinya. Tak mungkin. Justru kehebatan seorang suami atau seorang istri adalah
terletak pada saat ia masih sanggup berjalan bersama dengan pasangannya untuk
meraih surga meski harus banyak memberi pengorbanan. Dan tak ada cinta tanpa
pengorbanan, terlebih cinta kepada Allah Azza wa Jalla.
Bila ada seorang suami atau seorang istri yang tidak siap
atau bahkan tidak pernah terpikir olehnya bahwa pasangannya memiliki kekurangan
yang akan menimbulkan persoalan dalam rumah tangganya, maka sebaiknya ia segera
bercerai saja dan tak usah menikah dengan manusia untuk selama-lamanya. Sebab mencita
kesempurnaan hanya akan menjadikannya seekor pungguk merindu bulan. Kenapa?
Bukankah sering kali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam mengungkapkan tentang ujian yang akan diberikan
kepada orang beriman dengan ungkapan fi’l madhi atau kata kerja bentuk lampau? Dan
tahukah kita bahwa dalam bahasa Arab fi’l madhi itu menunjukkan tahaqquul fi’li,
yaitu kepastian tejadinya pekerjaan. Itu artinya bahwa ujian pasti diberikan
kepada kita. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa sabar saat
menerima ujian adalah sikap yang standar. Bila ingin lebih luar biasa dari
sekedar sikap standar maka bersyukurlah saat ditimpa musibah. Sebab dengan
diberikannya ujian berarti kita masuk pada jajaran hamba-hamba Allah pilihan. Ya,
boleh jadi kita telah dipilihnya menjadi hamba yang dicintainya.
Maka bersyukurlah saat kita mendapati ketidaknyamanan dengan
pasangan kita. Siapa tahu memang Allah sengaja akan mengguyur dan membanjiri
kita dengan pahala yang kita sendiri tak akan sanggup untuk menghitung nya. Tapi
bukankah Allah tak pernah menyuruh kita menghitung nikmatnya? Ya, Ia hanya
menyuruh kita untuk menerimanya dengan cara kita bersyukur atas apa yang telah
ditakdirkan buat kita. Sepanjang hayat bila kita berkeluh kesah maka sejatinya
kita telah sedikit demi sedikit memotong nikmat-Nya lalu membuangnya ke tempat
sampah. Maka alangkah bodohnya kita. Dan memang sebodoh-bodoh manusia adalah yang
setiap saat dengan sukarela membuang kesempatan meraih kesempurnaan pahala.
Akhirnya, saya masih sangat ingin membaca kembali buku
tersebut. Sebab dahulu belumlah tuntas semua ceritanya saya baca. Karena kalau sibuk
membaca buku itu saja bisa-bisa “mahrum” untuk “maddah” lainnya. Tapi suatu
saat saya akan mengunjungi kembali negeri Buncit Raya. Lalu mampir sebentar ke
padepokan lipia. Siapa tahu buku sakti itu masih ada.
Cinta saja tak cukup……
Fairuz Ahmad.
Bintara di awal cinta, 29 Shafar 1435 H./1 januari 2014 M.