Tiba-tiba jalanan mendadak macet. Seorang ibu setengah baya sedang
mengendarai motor dan membawa pisang dagangan di belakang motornya itu
berhenti. Ia memilih jalanan di sebelah kanan yang kondisinya lebih baik dari pada
yang di sebelah kiri, yang berlubang dan tergenang air bekas hujan. Tentunya
sang ibu berpikir bahwa ia memilih jalur yang salah bukan tanpa sebab, tapi
demi keselamatannya.
Pada saat yang sama ada dua mobil harus melewati jalanan tersebut. Yang
pertama dari arah yang sama dengan motor sang ibu dan tetap memilih jalanan yang
jelek dan penuh dengan air. Karena bentuknya mobil maka sang pengendara tahu
itu tidak akan berdampak apa-apa bagi keselamatannya, namun karena ia jalankan
sedikit kencang maka air kotor itupun terciprat ke pengendara motor lain. Ada yang menggerutu.
Adapun mobil kedua datangnya dari arah berlawanan dan sekarang
berhadap-hadapan dengan si ibu. Mobil itu berhenti sebagaimana ibu itu juga
berhenti dengan jarak sekitar empat meter. Si ibu akhirnya kebingungan karena
tidak berani mengambil jalur ke kiri yang penuh lobang dan air. Mungkin takut
terjatuh. Tiba-tiba mobil yang di hadapannya maju mendekati si ibu karena ia
ingin tetap pada jalurnya. Si ibu memohon agar lelaki pengendara mobil itu rela
mengambil jalanan yang tergenang air. Mungkin ibu itu berpikir, bahwa sebuah
mobil itu tetap masih berbentuk mobil meski ia harus melewati jalanan berair,
dan juga tidak akan berdampak apapun pada pengendaranya. Namun kelihatannya permohonan
ibu tadi lebih karena ia tidak dapat memundurkan motornya, karena orang yang
berakal sempurna juga pasti tahu umumnya motor tidak bisa dijalankan mundur sebagaimana
mobil. Pada saat itulah tiba-tiba pengendara mobil membuka kaca mobilnya dan
berteriak kepada si ibu:
"Ibu ke kanan dong!!"
Artinya lelaki itu meminta seorang perempuan yang sudah setengah baya
dan yang takut terjatuh dari motornya agar nyebur saja. Masalah keselamatannya emang
gue pikirin….!
Sebuah fragmen nyata dari
kehidupan kita. Terlalu sering kita jumpai di tempat bernama jalanan.
Sadar atau tidak, kehidupan kita adalah kehidupan jalanan. Hampir semua umur
kita habiskan di jalanan, meski kita punya hunian. Tidak hanya urusan pekerjaan
mencari penghasilan, namun jalanan itu hampir-hampir saja memaksa kita melewatinya
untuk menyelesaikan setiap urusan.
Lalu apa urusannya antara
surga dan jalanan?
Simaklah cerita Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits tentang jalanan. Beliau
melarang sahabatnya yang mulia agar tidak duduk-duduk di jalanan. Karena tempat
orang mulia bukanlah di jalanan. Namun karena beberapa sahabat ada yang
punya kepentingan di jalanan, maka beliau ijinkan dengan beberapa syarat yang
terkait dengan hak-hak yang harus ditunaikan saat kita berada di jalanan.[1]
Inilah isyarat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa jalanan
adalah salah satu tempat yang rawan akan gangguan setan. Ada dampak yang tidak baik jika kita
keseringan berada di jalanan. Dan dampak paling nyata adalah buruknya perilaku
orang-orang jalanan. Ia akan
menular. Karena setan sangat menyukai orang-orang yang dalam kondisi rawan. Sebagaimana
penyakit akan sangat suka berpindah kepada orang yang sedang rawan kondisi
kesehatannya.
Bukankah kerasnya jalanan sedikit banyak mempengaruhi situasi jiwa kita?
Karena cuaca panas maka seeorang bisa menggerutu. Karena situasi macet maka seseorang bisa mengumpat
dan mencaci. Karena ada yang ngebut maka kita terkejut, akhirnya kata-kata kotor
tersebut. Itulah kehidupan jalanan. Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kita agar
jangan melupakan diri dan jiwa kita termakan oleh godaan setan di jalanan.
Alangkah indah jiwa seseorang
saat ia mengalah. Bukankah kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji
orang-orang yang mampu mengalahkan kepentingan dirinya demi kepentingan
saudaranya saat berfirman:
"Dan mereka (orang-orang
Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)[2]
Bukankah Allah telah berkata
melalui lisan Nabi-NYA bahwa Ia telah menyiapkan kebaikan yang berlipat ganda
bagi kita saat kita mampu berbuat satu kebaikan?
"Dan barang siapa berniat melakukan kebaikan lalu ia
melakukannya, maka Allah menetapkan baginya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus
kebaikan dan bahkan sampai berlipat-lipat"[3]
Bukankah kita tahu bahwa
memuliakan saudara kita itu suatu saat akan berbalik kepada kita? sebagaimana
yang Allah firmankan:
"Jika kamu berbuat
baik, maka (sejatinya) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri dan jika kamu
berbuat buruk, maka (sejatinya) kamu berbuat buruk untuk dirimu sendiri"[4]
Bukankah kita harus mengerti, bahwa tidak setiap kesalahan yang
dilakukan saudara kita itu selalu murni karena ia ingin berbuat salah. Tidakkah
kita mau membuka sedikit saja pintu maaf, karena boleh jadi saudara kita bersalah
karena terpaksa sebagaimana gambaran ibu pada cerita di atas. Sungguh tepat apa
kata penyair dari Arab, Basysyar bin Burd saat bersenandung:
إذا كنت في كل الأمور
معاتبا صديقك لم تلق الذي لا تعاتبه
فعش واحدا أو صل أخام فإنه
مقـــارف ذنب مرة ومجــانبه
"Bila kau selalu
mencela saudaramu dalam keadaan apa saja, maka kau tidak akan menemukan
saudaramu yang tidak kau cela"
"Silakan hidup sendirian dan (jika tidak) maka sambunglah saudaramu,
karena ia suatu saat berbuat baik dan di saat yang lain ia berbuat salah"
Ya, sejatinya apa yang kita lakukan, baik dan buruknya, semuanya akan
berbalik kepada diri kita. Ibarat cermin, saat anda tertawa maka ia akan
menampilkan gambar kita yang tertawa. Begitu juga saat kita memecahkan cermin itu, maka ia akan menampilkan
gambar kita dalam keadaan berantakan.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 17 Rabu'il Awwal 1434 / 29 Januari 2013.
Tergoda menulis setelah
menyaksikan kejadian di sebuah terowongan jalanan yang rusak di Jl. Bintara 4.
Semoga yang bertanggung jawab atas perbaikan jalanan ini segera memperbaikinya
supaya tidak ada lagi seorang ibu yang dibentak oleh pengendara mobil yang
semprul agar nyebur di jalanan yang rusak.
Catatan:
[1] Dari Abu Sa'id Al-Khudri RA sesunggunghnya Rasulullah SAW bersabda:
"Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalanan.
Mereka berkata :
"Wahai Rasulullah, kita duduk-duduk di sini karena ada yang
perlu kita bicarakan." Maka beliau berkata :
"Jika kalian menolak dan tetap harus duduk-duduk, maka
tunaikanlah hak jalanan.
Mereka bertanya :
"Apakah hak-hak jalanan itu wahai Rasulullah ?"
Beliau bersabda :
"Menundukkan pandangan, menyingkirkan bahaya, menjawab salam,
menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. (HR. Bukhari 5875).
[2] Al-Hasyr : 9.
[3] Hadits riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Abbas (Shahih Bukhari
6126).
[4] Al-Isra' : 7.