Kisah Keluarga As-Syahid DR. Nezar Rayyan
-----------------------------------------------------
Oleh: Baraa Nezar Rayyan
Terjemahan: Fairuz Ahmad
-----------------------------------------------------
Cerita
paling indah dari kami yang didengar oleh orang-orang adalah tentang
ibunda kami rahimahallahu, dan ibunda kami yang lain yang
sungguh-sungguh amat mulia, bagaimana bisa bersepakat untuk tetap
tinggal* dengan ayah dan lebih memilih mati syahid dari pada harus
diusir, dihina, dan hal itu akan menyebabkan pecahnya kalimah kaum
muslimin di hadapan kebengisan para penjajah.
Dan yang
sebenarnya adalah, ibunda-ibunda kami saling bersepakat atas keputusan
ayah (tidak keluar dari rumah, penerj.), sepertinya mereka lebih
bersemangat dari pada ayah untuk tetap tinggal di rumah, mereka
mengatakan :
"Kami tidak akan pergi pada kematian, kami
akan tetap di rumah, dan bila kematian itu datang kami tak akan lari,
kami tidak akan meninggalkan rumah karena ancaman orang-orang pengecut."
Dan demi Allah sikap ibunda-ibunda kami itu tidaklah mengherankan, saya akan bercerita tentang kisah-kisah indah mereka;
Adapun
ibunda kami sendiri, semoga Allah merahmatinya, maka ayah tidak pernah
bercerita tentangnya kecuali sikap seorang mujahidah, ibu lahir dari
rumah seorang mujahid, anak perempuan seorang mujahid dan saudari
seorang mujahid yang mati syahid dengan bom syahid, dan adik beliau juga
seorang mujahid.
Ibunda mendidik anak-anaknya untuk cinta kepada
jihad fi sabilillah, maka syahidlah salah seorang anak lelakinya yaitu
Ibrahim Nezar dengan bom syahidnya, demikian juga dengan sebagian besar
anak-anak lakinya yang lain, dan itu terjadi berkali-kali.
Saya
pernah menyaksikannya saat datang kabar mati syahidnya salah seorang
saudaranya, yaitu Shuhaib Timraz, ketika itu kami sedang berdua di
rumah, tiba-tiba datanglah sepupuku lalu membisikkan sesuatu di telinga
beliau yang mana saya tak mendengarnya, ternyata itu kabar tentang
saudaranya (paman saya) yang telah syahid.
Tidak ada sikap apapun kecuali ibu hanya berkata:
"Laa
ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, Ya Allah semoga Engkau berikan
pahala atas musibahku ini, dan semoga Engkau berkenan menggantinya
dengan yang lebih baik, innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un."
Beliau rahimahallah lalu menangis dalam diamnya, lalu memegang tanganku dan saya temani pergi ke rumah keluarganya.
Saat
yang lain, saya juga menyaksikannya ketika datang kabar syahid saudara
saya Ibrahim, anak kesayangan beliau, Allah menyaksikan bahwa ibunda
melantunkan kalimat-kalimat yang semasa hidupku belum pernah saya dengar
betapa jujur dan tingginya kalimat-kalimat itu.
Ayah
saya rahimahullah adalah seorang suami yang sangat adil terhadap
istri-istrinya, barangkali jarang sekali anda melihatnya yang seperti
beliau, beliau membagi hari, waktu, keperluan rumah tangga, buah-buahan,
waktu luang dan lain-lainnya dengan adil.
Ayah
mengkhususkan untuk ibunda saya dengan beberapa hal atas keredhaan
istri-istri mulianya yang lain, yang paling dikhususkan adalah sesuatu
yang terkait dengan anaknya yang mati syahid yaitu Ibrahim, meskipun ia
telah syahid, namun ayah tidak ingin mengurangi bagiannya untuk
diberikan kepada ibunda, setiap membeli sesuatu beliau selalu menyisakan
bagian untuknya (anaknya yang syahid, penerj.), seakan-akan ia masih
bersama ibunda, sehingga setiap ada tamu yang datang, ibunda memberikan
suguhan tamu dari bagiannya Ibrahim, dan ibu berharap pahala dari Allah
dengan hal itu.
Beberapa Yayasan yang mengurusi para
syuhada' ada yang memberikan hak-hak Ibrahim rahimahullah, sedikitpun
ayah tidak pernah menggunakannya, ayah tinggalkan semuanya untuk ibu
sebagai bentuk takziah dan pelipur lara, ibunda banyak berinfak dan
bersedekah dengan itu.
Di antara bentuk perhatian dan
penghargaan ayah kepada ibu adalah, tidak memberi nama anak laki-lakinya
yang lain dengan nama Ibrahim, padahal ayah diberikan karunia oleh
Allah berupa anak lelaki yang banyak dari selain ibu setelah syahidnya
Ibrahim, pernah menyuruh saya dan Bilal untuk memberi nama Ibrahim dan
ayahpun sangat ingin memberi nama itu, namun tidak beliau lakukan karena
sangat menghargai ibu, yaitu agar tidak ada nama Ibrahim Nezar Rayyan
di dunia ini selain anaknya ibu yang telah syahid.
Adapun
ibunda, Ummu Abdir Rahman rahimahallah, maka beliau adalah seorang ibu
yang sangat menonjol dalam hal kecerdasan, kefahaman, kehalusan bicara,
dan luar biasa dalam kebaikan.
Sebelumnya ia adalah seorang
pegawai di sebuah Yayasan dengan gaji besar, namun saat Allah memberikan
rejeki anak perempuannya yang pertama, baliau lantas berhenti bekerja
dan lebih fokus untuk mengurusi rumah tangganya.
Ayah pernah mengutusku untuk suatu urusan kepadanya di saat-saat terjadi pertempuran, beliau menahanku dan berkata:
"Tunggu sebentar, aku ingin mengatakan sesuatu."
Sayapun menjawab: "Katakanlah."
Ia berkata:
"Tadi aku mengirim sms kepadamu tapi kamu tidak balas, apa kamu sibuk ?"
Saya menjawab:
"Tidak, tapi Bibi kan tahu saya ini pelupa dan kurang perhatian."
Saya pun
tidak buru-buru kembali, lalu saya duduk dan minum teh bersamanya, kami
mengobrol beberapa saat sehingga hatinya tenang, lalu beliau menciumku
dan akupun pulang.
Saat beliau syahid, saya adalah orang yang
menemukan jasadnya di antara reruntuhan rumah, hijabnya menutupi wajah
beliau, saat saya membukanya nampak bercahaya.
Sedangkan
ibunda, Ummu 'Alaa, semoga Allah menjadi saksi, bahwa saya pikir beliau
salah satu wali Allah yang sholeh dan termasuk hamba-hamba-NYA yang
muqorrobin, beliau adalah ibu setelah ibu kami, sampai-sampai saudara
saya, Bilal berkata:
"Andai tidak ada anjuran berbuat
baik kepada ibu kandung, pasti saya memanggilnya ibu." (mereka memanggil
istri-istri ayahnya yang lain dengan panggilan "khoolah" yang artinya
"bibi", penerj.). Sepertinya beliau adalah di antara istri-istri yang
memiliki kemiripan dengan ayah baik tabiat, akhlak, dan sifatnya.
Sedangkan
ibunda, Ummu Usamah, beliau adalah wanita yang paling lain sendiri,
ayah menikahinya atas dasar cinta Ummu Usamah dan redhanya, keduanya
terpaut jarak usia yang jauh, bahkan orang-orang menyebutnya masih
anak-anak.
"Kamu telah menikahkannya pada lelaki yang telah memliki tiga orang istri, suaminya pun terlalu jauh usianya."
Maka paman saya (ayahnya), Abu Rami menjawab:
"Demi
Allah, akupun telah menikahkan saudari-saudarinya dengan para pejuang
terbaik, tidak ada satupun dari mereka yang sebaik suaminya, saya pikir
tidak ada seorang gadis yang mendapatkan seorang suami sebaik suaminya
(DR. Nezar Rayyan) meski hanya seperempatnya. Demi Allah, seandainya
anak saya kemudian meninggal setelah menjadi istrinya, pasti saya akan
menikahkan saudarinya yang lain dengannya."
Ibunda Ummu
Usamah telah selesai menghafalkan Al-Qur'anul Karim di rumah kami, dan
menyelesaikan kuliahnya di jurusan Ushuluddin, saat ia menyempurnakan
hafalannya, ayah menyembelih kambing dan mengadakan pesta walimah
keluarga di rumah untuk merayakannya.
Ummu Usamah
adalah juga teman kuliah saya (Baraa Nezar), saya banyak mengajar dia,
pernah saya mengajarinya di hadapan ayah, dan ayahpun tertarik dengan
cara saya mengajar, ayah pun berkata:
"Kamu harus mengajar di Perguruan Tinggi.". Ummu Usamah pun memberi tahu saya tentang ucapan ayah.
Orang-orang
merasa heran dengan kerukunan istri-istri ayah dan baiknya hubungan di
antara mereka, saya sedikit bercerita tentang sebuah kisah yang lucu
yang terjadi di antara mereka.
Saat Ummu Usamah sakit, dibawalah
ia oleh Ummu 'Alaa ke Rumah Sakit, Ummu 'Alaa adalah wanita yang lembut,
sehingga nampak kegelisahannya atas kondisi kesehatan Ummu Usamah, maka
dokter pun berkata kepadanya:
"Sudahlah ibu tidak usah gelisah, anakmu akan baik-baik saja."
Mereka berdua pun langsung tertawa, lalu Ummu 'Alaa berkata:
"Ia bukan putriku."
"Kalau begitu saudarimu?"
"Bukan pula saudariku."
"Lalu apa hubungan kalian ?"
"Ia adalah istri suamiku juga, hanya saja ia seperti saudariku."
Sang dokterpun berkata: "Allahu Akbar."
Mereka
sering berkeliling pada saat pertempuran, melakukan takziah kepada
keluarga-keluarga syuhada', memberikan bantuan kepada mereka,
menghiburnya, dan hal itu dilakukan sampai akhir hidup mereka.
Dan
mereka ketika berbincang tentang ayah dan bahaya dari upaya pembunuhan
terhadapnya, setiap dari mereka merasa yakin bahwa dirinyalah yang akan
syahid menemani ayah. Dan ternyata mereka semuanya menemani ayah syahid.
Kami berdo'a kepada Allah agar mereka semua jujur dan Allah membenarkannya.
Bercerita tentang mereka akan sangat panjang dan melelahkan, saya telah berusaha sekuatnya untuk membuatnya singkat.
Bintara, 31 Desember 2013 M.