Sabtu, 28 Desember 2013

Keluarga Syuhada' (insya Allah)

Kisah Keluarga As-Syahid DR. Nezar Rayyan
-----------------------------------------------------
Oleh: Baraa Nezar Rayyan
Terjemahan: Fairuz Ahmad
-----------------------------------------------------
Cerita paling indah dari kami yang didengar oleh orang-orang adalah tentang ibunda kami rahimahallahu, dan ibunda kami yang lain yang sungguh-sungguh amat mulia, bagaimana bisa bersepakat untuk tetap tinggal* dengan ayah dan lebih memilih mati syahid dari pada harus diusir, dihina, dan hal itu akan menyebabkan pecahnya kalimah kaum muslimin di hadapan kebengisan para penjajah.

Dan yang sebenarnya adalah, ibunda-ibunda kami saling bersepakat atas keputusan ayah (tidak keluar dari rumah, penerj.), sepertinya mereka lebih bersemangat dari pada ayah untuk tetap tinggal di rumah, mereka mengatakan :

"Kami tidak akan pergi pada kematian, kami akan tetap di rumah, dan bila kematian itu datang kami tak akan lari, kami tidak akan meninggalkan rumah karena ancaman orang-orang pengecut."

Dan demi Allah sikap ibunda-ibunda kami itu tidaklah mengherankan, saya akan bercerita tentang kisah-kisah indah mereka;

Adapun ibunda kami sendiri, semoga Allah merahmatinya, maka ayah tidak pernah bercerita tentangnya kecuali sikap seorang mujahidah, ibu lahir dari rumah seorang mujahid, anak perempuan seorang mujahid dan saudari seorang mujahid yang mati syahid dengan bom syahid, dan adik beliau juga seorang mujahid.
Ibunda mendidik anak-anaknya untuk cinta kepada jihad fi sabilillah, maka syahidlah salah seorang anak lelakinya yaitu Ibrahim Nezar dengan bom syahidnya, demikian juga dengan sebagian besar anak-anak lakinya yang lain, dan itu terjadi berkali-kali.
Saya pernah menyaksikannya saat datang kabar mati syahidnya salah seorang saudaranya, yaitu Shuhaib Timraz, ketika itu kami sedang berdua di rumah, tiba-tiba datanglah sepupuku lalu membisikkan sesuatu di telinga beliau yang mana saya tak mendengarnya, ternyata itu kabar tentang saudaranya (paman saya) yang telah syahid.

Tidak ada sikap apapun kecuali ibu hanya berkata:

"Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, Ya Allah semoga Engkau berikan pahala atas musibahku ini, dan semoga Engkau berkenan menggantinya dengan yang lebih baik, innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un."

Beliau rahimahallah lalu menangis dalam diamnya, lalu memegang tanganku dan saya temani pergi ke rumah keluarganya.
Saat yang lain, saya juga menyaksikannya ketika datang kabar syahid saudara saya Ibrahim, anak kesayangan beliau, Allah menyaksikan bahwa ibunda melantunkan kalimat-kalimat yang semasa hidupku belum pernah saya dengar betapa jujur dan tingginya kalimat-kalimat itu.

Ayah saya rahimahullah adalah seorang suami yang sangat adil terhadap istri-istrinya, barangkali jarang sekali anda melihatnya yang seperti beliau, beliau membagi hari, waktu, keperluan rumah tangga, buah-buahan, waktu luang dan lain-lainnya dengan adil.

Ayah mengkhususkan untuk ibunda saya dengan beberapa hal atas keredhaan istri-istri mulianya yang lain, yang paling dikhususkan adalah sesuatu yang terkait dengan anaknya yang mati syahid yaitu Ibrahim, meskipun ia telah syahid, namun ayah tidak ingin mengurangi bagiannya untuk diberikan kepada ibunda, setiap membeli sesuatu beliau selalu menyisakan bagian untuknya (anaknya yang syahid, penerj.), seakan-akan ia masih bersama ibunda, sehingga setiap ada tamu yang datang, ibunda memberikan suguhan tamu dari bagiannya Ibrahim, dan ibu berharap pahala dari Allah dengan hal itu.

Beberapa Yayasan yang mengurusi para syuhada' ada yang memberikan hak-hak Ibrahim rahimahullah, sedikitpun ayah tidak pernah menggunakannya, ayah tinggalkan semuanya untuk ibu sebagai bentuk takziah dan pelipur lara, ibunda banyak berinfak dan bersedekah dengan itu.

Di antara bentuk perhatian dan penghargaan ayah kepada ibu adalah, tidak memberi nama anak laki-lakinya yang lain dengan nama Ibrahim, padahal ayah diberikan karunia oleh Allah berupa anak lelaki yang banyak dari selain ibu setelah syahidnya Ibrahim, pernah menyuruh saya dan Bilal untuk memberi nama Ibrahim dan ayahpun sangat ingin memberi nama itu, namun tidak beliau lakukan karena sangat menghargai ibu, yaitu agar tidak ada nama Ibrahim Nezar Rayyan di dunia ini selain anaknya ibu yang telah syahid.

Adapun ibunda, Ummu Abdir Rahman rahimahallah, maka beliau adalah seorang ibu yang sangat menonjol dalam hal kecerdasan, kefahaman, kehalusan bicara, dan luar biasa dalam kebaikan.
Sebelumnya ia adalah seorang pegawai di sebuah Yayasan dengan gaji besar, namun saat Allah memberikan rejeki anak perempuannya yang pertama, baliau lantas berhenti bekerja dan lebih fokus untuk mengurusi rumah tangganya.

Ayah pernah mengutusku untuk suatu urusan kepadanya di saat-saat terjadi pertempuran, beliau menahanku dan berkata:
"Tunggu sebentar, aku ingin mengatakan sesuatu."
Sayapun menjawab: "Katakanlah."
Ia berkata:
"Tadi aku mengirim sms kepadamu tapi kamu tidak balas, apa kamu sibuk ?"
Saya menjawab:
"Tidak, tapi Bibi kan tahu saya ini pelupa dan kurang perhatian."
Saya pun tidak buru-buru kembali, lalu saya duduk dan minum teh bersamanya, kami mengobrol beberapa saat sehingga hatinya tenang, lalu beliau menciumku dan akupun pulang.
Saat beliau syahid, saya adalah orang yang menemukan jasadnya di antara reruntuhan rumah, hijabnya menutupi wajah beliau, saat saya membukanya nampak bercahaya.

Sedangkan ibunda, Ummu 'Alaa, semoga Allah menjadi saksi, bahwa saya pikir beliau salah satu wali Allah yang sholeh dan termasuk hamba-hamba-NYA yang muqorrobin, beliau adalah ibu setelah ibu kami, sampai-sampai saudara saya, Bilal berkata:

"Andai tidak ada anjuran berbuat baik kepada ibu kandung, pasti saya memanggilnya ibu." (mereka memanggil istri-istri ayahnya yang lain dengan panggilan "khoolah" yang artinya "bibi", penerj.). Sepertinya beliau adalah di antara istri-istri yang memiliki kemiripan dengan ayah baik tabiat, akhlak, dan sifatnya.

Sedangkan ibunda, Ummu Usamah, beliau adalah wanita yang paling lain sendiri, ayah menikahinya atas dasar cinta Ummu Usamah dan redhanya, keduanya terpaut jarak usia yang jauh, bahkan orang-orang menyebutnya masih anak-anak.

Saat ayahnya menikahkannya dengan ayah saya, sebagian orang-orang bodoh berkata:
"Kamu telah menikahkannya pada lelaki yang telah memliki tiga orang istri, suaminya pun terlalu jauh usianya."

Maka paman saya (ayahnya), Abu Rami menjawab:
"Demi Allah, akupun telah menikahkan saudari-saudarinya dengan para pejuang terbaik, tidak ada satupun dari mereka yang sebaik suaminya, saya pikir tidak ada seorang gadis yang mendapatkan seorang suami sebaik suaminya (DR. Nezar Rayyan) meski hanya seperempatnya. Demi Allah, seandainya anak saya kemudian meninggal setelah menjadi istrinya, pasti saya akan menikahkan saudarinya yang lain dengannya."

Ibunda Ummu Usamah telah selesai menghafalkan Al-Qur'anul Karim di rumah kami, dan menyelesaikan kuliahnya di jurusan Ushuluddin, saat ia menyempurnakan hafalannya, ayah menyembelih kambing dan mengadakan pesta walimah keluarga di rumah untuk merayakannya.

Ummu Usamah adalah juga teman kuliah saya (Baraa Nezar), saya banyak mengajar dia, pernah saya mengajarinya di hadapan ayah, dan ayahpun tertarik dengan cara saya mengajar, ayah pun berkata:

"Kamu harus mengajar di Perguruan Tinggi.". Ummu Usamah pun memberi tahu saya tentang ucapan ayah.

Orang-orang merasa heran dengan kerukunan istri-istri ayah dan baiknya hubungan di antara mereka, saya sedikit bercerita tentang sebuah kisah yang lucu yang terjadi di antara mereka.
Saat Ummu Usamah sakit, dibawalah ia oleh Ummu 'Alaa ke Rumah Sakit, Ummu 'Alaa adalah wanita yang lembut, sehingga nampak kegelisahannya atas kondisi kesehatan Ummu Usamah, maka dokter pun berkata kepadanya:

"Sudahlah ibu tidak usah gelisah, anakmu akan baik-baik saja."
Mereka berdua pun langsung tertawa, lalu Ummu 'Alaa berkata:

"Ia bukan putriku."

"Kalau begitu saudarimu?"

"Bukan pula saudariku."

"Lalu apa hubungan kalian ?"

"Ia adalah istri suamiku juga, hanya saja ia seperti saudariku."

Sang dokterpun berkata: "Allahu Akbar."

Mereka sering berkeliling pada saat pertempuran, melakukan takziah kepada keluarga-keluarga syuhada', memberikan bantuan kepada mereka, menghiburnya, dan hal itu dilakukan sampai akhir hidup mereka.

Dan mereka ketika berbincang tentang ayah dan bahaya dari upaya pembunuhan terhadapnya, setiap dari mereka merasa yakin bahwa dirinyalah yang akan syahid menemani ayah. Dan ternyata mereka semuanya menemani ayah syahid.

Kami berdo'a kepada Allah agar mereka semua jujur dan Allah membenarkannya.

Bercerita tentang mereka akan sangat panjang dan melelahkan, saya telah berusaha sekuatnya untuk membuatnya singkat.

Bintara, 31 Desember 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar