"Kalian
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian
menafkahkan sebagian apa-apa yang kalian cintai. Apa saja yang kalian
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Ali Imran: 92)
Rasa-rasanya kurang pas bila kata
"ma" pada ungkapan “min maa tuhibbuun” itu diterjemahkan dengan arti
spesifik harta, karena terjemahan harta akan mempersempit cakupan makna
"ma" itu sendiri.
Tidak semua orang hanya mengarahkan cintanya
pada harta berupa uang, emas, kendaraan, rumah, sawah, tanah, aset perusahaan
dan lain-lain. Maka disinilah akan terlihat bahwa penggunaan kata
"ma" oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dalam rangka menjelaskan
kepada kita satu bukti, betapa jelinya Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap sifat
manusia. Tentu karena Dialah yang menciptakan maka Dia pula Dzat yang paling
tahu tentangnya sebagaimana dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan
di surah Al-Ma'aarij ayat 19-21, salah satu sifat yang menempel pada manusia
adalah kelu kesah. Sifat ini akan tampak nyata saat ia merasa kesulitan dan
kesempitan, lalu setelah ia merasa lapang ia pelit. Ya, pelit dengan apa-apa
yang telah Allah mudahkan baginya.
Hikmah dari ungkapan "ma" dalam
ayat 92 di surat Ali Imran adalah, bahwa semua kenikmatan yang Allah berikan
kepada manusia akan berpotensi untuk dicintai, sehingga ia merasa berat untuk
berbagi.
Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan
nikmat waktu, tapi manusia susah berbagi waktu dengan tetangganya. Sekedar
meluangkan waktu untuk mengobrol saja akan terasa berat, dan sekedar menjenguk
saudaranya yang sakit saja akan terasa menyia-nyiakan waktunya.
Kadang juga Allah memberikan nikmat akal yang
cerdas, namun akan terasa berat bila harus berbagi ide dan pikiran. Ada yang dimudahkan Allah
mendapatkan ilmu agama yang luas, namun sangat berat rasanya bila harus mengisi
pengajian yang bukan kantoran, apalagi pengajian yang hanya duduk melingkar di
suatu mushola yang juga hanya beralas tikar.
Ada juga yang Allah berikan karunia ilmu dan
pengalaman berbisnis yang handal, namun saat harus membagikan ilmu bisnisnya ia
merasa harus menabrak dinding beton setebal-tebalnya. Baginya, berbagi ilmu bisnis
dan pengalaman adalah sama saja dengan bongkar rahasia perusahaan yang telah
Allah khususkan baginya.
Allah juga kadang memberikan kepada hambanya
berupa kenikmatan wajah yang tampan dan cantik, namun pemiliknya hanya akan
tersenyum bila sesuai dengan keinginannya saja. Sangat pelit untuk urusan
senyum kepada saudara dan tetangga, namun sangat murah hati bila urusannya
adalah cemberut. Itulah kenapa senyum juga sedekah sebagaimana yang dikatakan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Atau ada orang yang dianugerahi nikmat
kesehatan dan tenaga yang kuat, namun saat diminta bantuan tenaga ia merasa
berat. Karena tenaganya sudah ia persiapkan untuk kebutuhan pribadi dan
keluarganya, untuk istri dan anak-anaknya.
Yang lebih dahsyat adalah saat Allah masih
memberikan nikmat nyawa bagi hamba-NYA, adakah ia merasa berat saat ada
panggilan nyawa alias jihad fi sabilillah?
Ya, ternyata Allah Subhanahu wa Ta'la adalah
Dzat Yang Maha Tahu tentang hamba-hamba-NYA. Dia tahu kelemahan hamba-NYA lalu
Dia menguatkannya. Dia tahu kebodohan hamba-NYA lalu Dia mengajarinya.
Dialah Dzat yang tahu tentang semua sifat
hamba-hamba-NYA. Saat seorang hamba memiliki sifat pelit, maka Dia mengajarkannya
sedekah. Kalaupun bersedekah masih belum mampu mengikis sifat pelitnya atau ia
masih merasa terpaksa dalam bersedekah, maka Allah pun masih ingin menjadikan
hamba tersebut agar tetap bersedekah. Bersedekah dengan apa saja yang ia punya
dan ia cintai, lalu Dia mengatakan,
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang
kalian cintai."
Bila masih terasa berat bersedekah dengan apa
yang ia cintai berupa harta, tenaga, waktu, pikiran dan ide, maka hendaklah ia
lihat dan dengar, bahwa Allah akan memberikan balasan "al-birr",
yaitu kebaikan bagi yang mampu mengalahkan kecintaannya terhadap apa yang ia
miliki, lalu dengan segenap keikhlasan hati ia mau bersedekah. Bukankah kita
pernah mendengar, bahwa Abu Bakar As-Shiddiq pernah bersedekah dengan seluruh
hartanya saat ada panggilan jihad? Apakah Beliau tidak mencintai hartanya
sehingga tanpa melalui rembukan dan diskusi dengan keluarganya beliau langsung
menghabiskan semua hartanya? Atau jangan-jangan Beliau tidak menggolongkan
harta-bendanya itu kedalam daftar apa-apa yang beliau cintai? Karena kemudian beliau
menjawab "Aku tinggalkan Allah dan Rasul-NYA untuk keluargaku" saat
ditanya oleh Rasulullah "lalu apa yang engkau tinggalkan buat keluargamu?".
Atau beliau juga tetap mencintai hartanya itu namun ia lebih memilih untuk
mendapatkan “al birr” dengan cara menginfakkan seluruh hartanya.
Tahukah kita, bahwa kata "al-birr"
yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 92 itu adalah SURGA
sebagaimana pendapat para ahli tafsir.
Jadi, apa lagi yang kita tunggu agar dapat
meraih SURGANYA…?????
Fairuz Ahmad.
Bintara, 2 Shafar 1434 H./ Desember 2012 M.