Macet. Itulah kata yang menggambarkan kondisi yang paling dibenci para
pengguna jalan raya. Dan biasanya ia
semakin menggila saat turun hujan di waktu sore menjelang penutupan siang.
Khususnya di sebuah kota bernama Jakarta. Dan juga bertepatan dengan saat
orang-orang pulang kerja.
Pusat penyebab kemacetan yang paling utama dan hampir tak mungkin
diatasi adalah banjir. Meski kadangkala ia akibat ulah manusia yang berperilaku
setan, tapi ia tak murni hanya bisa dikendalikan oleh manusia, sebab yang membuat
dan yang mengizinkan terjadinya banjir adalah Allah Zat Yang Maha Kuasa. Jadi
bila banjir telah datang dan sulit dikendalikan maka jalan satu-satunya adalah
beristighfar dan wajib menerima takdir yang telah disuratkan buat kita.
Namun ada satu penyebab kemacetan yang murni bisa dikendalikan oleh
manusia, meski pada dasarnya semua perilaku manusia juga atas seizin Sang
Pencipta manusia. Namun ia bisa dibilang murni dalam kendali manusia, sebab manusia
bisa memilih antara menjadi penyebab kemacetan atau tidak. Sangat berbeda
dengan datangnya banjir yang siapa pun tidak mungkin untuk memilih. Penyebab
kemacetan tersebut adalah "ngetem"nya sebagian manusia-manusia di
kolong jembatan saat turun hujan. Meski tidak banjir tapi mereka tetap
"ngetem". Walhasil, "ngetem" yang menyelamatkan dirinya
dari basah air hujan itu telah mengakibatkan kondisi yang terkutuk. Macet.
Semua pengguna jalan tidak
suka dengan macet hingga mereka mengutuk. Tidak suka macet hingga mereka
mengeluarkan sumpah serapah. Tidak suka macet hingga mereka mengeluarkan
kata-kata yang tidak layak, dan sejatinya siapa pun harus waspada karena boleh
jadi kata-kata yang tidak layak tersebut adalah do'a buruk bagi siapa saja.
Bila kemacetan yang timbul
akibat ulah "ngetem" itu sangatlah buruk, maka sudah selayaknya kita
harus menjauhinya. Bukankah membuat jalanan lancar adalah sebuah kebaikan yang
boleh jadi akan dibalas oleh Allah menjadi sepuluh kebaikan?[1] Bukankah saat
kita membuat jalanan lancar adalah ciri dari sikap itsar kita kepada orang
lain?[2]
Lalu cara apakah yang bisa dilakukan
agar ketika turun hujan kita tetap dapat melanjutkan perjalanan, hingga tidak
ada kemacetan yang disebabkan oleh ulah "ngetem" kita ini? Ada dua pilihan di
antaranya adalah sedia mantel hujan yang anti air tentunya agar tidak basah.
Dan cara ini adalah cara yang sudah lumrah dan jamak diketahui oleh siapa pun. Meski terlihat remeh dan sepele, semoga
niat kita sedia mantel dicatat oleh Allah sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana
bila kita tidak punya mantel, atau lupa membawanya. Maka jawaban berikut semoga
dapat menjadi pilihan yang kedua untuk mengatasi kemacetan akibat
"ngetem":
Terjanglah hujan yang
diturunkan oleh Allah tersebut dengan sepenuh hati dan riang gembira. Karena
hujan adalah rahmat maka jangan takut menerima rahmat-NYA. Karena siapa tahu,
hujan dari Allah tersebut benar-benar rahmat yang diberikan buat kita. Dan
ketika kita menerjang hujan maka niatkanlah dengan berdo'a kepada Allah agar
hujan tersebut menjadi wasilah untuk mengusir setan-setan yang
"ngetem" dalam diri kita. Bukankah Allah berfirman yang artinya:
"...dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu
dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan..."[3]
Oleh karena itu, jangan lagi
"ngetem" di kolong jembatan saat turun hujan, kecuali bila ada alasan
yang mengharuskan "ngetem". Wassalam.
Fairuz Ahmad.
Bintara di pagi yang cerah, 10 Muharram 1435 H./14 Nopember 2013 M.
Catatan:
[1] Al An'aam : 160
[2] Al Hasyr : 9
[3] Al Anfaal : 11