Salah satu ilmu hadits adalah ilmu tentang thabaqaturruwaat, yaitu
mengetahui tingkatan perawi hadits. Dimulai dari thabaqah al ula atau
tingkatan pertama yang ditempati oleh para perawi dari kalangan sahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu thabaqah tsaniyah atau tingkatan
kedua yang ditempati oleh kibaarut taabi'iin, yaitu tabi'in generasi
tua, dan begitu seterusnya sampai
belasan thabaqah. Semakin ke bawah maka tingkat penelitian kredibilitas
rawi semakin kompleks, karena salah satu penyebabnya adalah semakin
jarangnya para penulis biografi yang semasa dengannya, ditambah pula
dengan jarangnya ulama jarh wa ta'dil yang memberikan keterangan tentang
status perawi tersebut.
Tiba-tiba tadi siang saat berbincang dengan seorang pak haji, ia berkata,
Tiba-tiba tadi siang saat berbincang dengan seorang pak haji, ia berkata,
"Saya dapat hadiah sorban warna hijau tapi saya tidak mau pakai."
"Lho kenapa..? saya bertanya agak kepo..hehe
"Sorban warna hijau itu tidak sembarang orang yang pakai, karena sorban tersebut khusus buat ulama. Dan saya tidak mau pakai karena kuatir kalau saya memakainya lalu tiba-tiba disuruh mimpin do'a bersama, kan saya tidak bisa, saya pura-pura saja bilang bahwa saya orang muhammadiyah." Begitu selorohnya.
Yaa Salaam…..ternyata nambah satu lagi deh thabaqah di zaman modern ini. Yaitu thabaqatul 'imaamatil khadhraa' alias tingkatan sorban hijau. Enak ya zaman sekarang, predikat ulama langsung tersemat gara-gara sorban melekat. Padahal dahulu Imam Bukhari meniti "karir" sebagai imaamul muhadditsiin sampai makan rumput selama tiga hari. Dan satu lagi enaknya zaman sekarang bila ingin menjadi ulama, selain cukup melekatkan sorban hijau, yaitu bebas dari penelitian kredibilitasnya sebab penelitian tentangnya akan langsung mentah sekali lagi hanya dengan sorban berwarna hijau.
Fairuz Ahmad.
Bintara di awal malam, 22 Shafar 1435 H./24 Desember 2013 M.