Ada dua kenyang yang
dua-duanya mampu menggerakkan manusia. Menggerakkan mulutnya, kakinya,
tangannya, atau malah menggerakkan hampir semua anggota badannya juga jiwanya.
Kenyang yang pertama adalah
kenyang yang bersemayam di dalam perutnya, sedang yang kedua adalah kenyang
yang bermukim dalam hatinya. Adapun kenyang yang bersemayam dalam perutnya
adalah makanan dan minuman, sedang kenyang yang bermukim dalam hatinya adalah
ilmu. Kedua kenyang
inilah yang selama ini menggerakkan manusia. Meski ada kalanya kenyang hati
belum juga mampu menggerakkan seseorang kecuali bila ia juga kenyang perutnya,
dan itu seburuk-buruk manusia.
Betapa banyak orang yang mampu menggerakkan jiwa dan raganya setelah
kenyang perutnya. Meski banyak pula yang menggerakkan keduanya karena kenyang
hatinya. Yang pasti kenyang memang mampu menggerakkan.
Adapun gerak yang dihasilkan dari kenyangnya perut adalah selemah-lemah
gerakan. Sebab umumnya, kekuatan raga hanya disuplai oleh apa yang bersemayam
di dalam perut, dan perut memang tak bisa menerima suplai selain apa yang
sesuai dengannya. Itulah kenapa ia
selemah-lemah gerakan, sebab hanya makanan dan minuman yang mampu untuk
menggerakkannya.
Sedang gerak yang dihasilkan dari kenyangnya hati, maka ia sekuat-kuat
gerakan. Sebab bahan penggeraknya bukanlah makanan dan minuman, tapi ilmu. Karena itulah ia sekuat-kuat gerakan, sebab
kosongnya perut tak membuatnya diam. Alangkah menakjubkan kisah para Nabi dan
Ulama salafus shaleh yang jiwa dan raganya mampu bergerak namun bukan lantaran
kenyangnya perut, tapi karena ilmulah mereka bergerak. Mereka berjihad dan
mujahadah dalam gerakan-gerakan yang mencakup ibadah, akhlak, ilmu, hukum,
muamalah, politik, ekonomi dan lain-lain. Maka bukalah lembaran-lembaran cerita
emas mereka saat bergerak meski dengan sedikit makanan.
Lihatlah sepenggal kisah emas
Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardazbah Al Bukhari saat tidak ada makanan yang beliau makan,
namun ia tetap bergerak menuntut ilmu. Sungguh jiwanyalah yang menggerakkan
seluruh raganya agar tetap sabar mencari ilmu, dan sejatinya ilmu itulah yang
menggerakkan jiwanya. Muhammad bin Abi Hatim bercerita, bahwa ia pernah
mendengar Al Bukhari berkata,
"Aku pernah pergi menuju Asqalan untuk bertemu Adam bin Abi Iyas
namun perbekalan makananku telah habis, maka aku putuskan untuk memakan
rerumputan yang ada dan aku tidak bercerita tentang itu kepada siapa pun.
Hingga pada hari ketiga datanglah seseorang yang tidak aku kenal dan memberiku
sekantong berisi beberapa uang dinar, lalu ia berkata, "Belanjakanlah uang
ini untuk keperluan dirimu."[1]
Sungguh betapa malu diri kita bila dibanding Imam Al Bukhari. Hampir tak
pernah kita memakan rerumputan sebagaimana beliau pernah memakannya. Bahkan mungkin kita tak pernah saat
sekurang-kurangnya makanan kita lantas terpaksa memakan rumput. Namun beliau
masih mau menuntut ilmu meski hanya dengan memakan rumput. Sangat berbeda
dengan kita yang baru merasa bisa mendapat ilmu bila hidangannya adalah steak
atau tongseng dengan ruangan nyaman penuh udara segar.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 27 Dzluqa'dah 1434 H./ 3
September 2013 M.
--------
Catatan:
[1] DR. Muhammad bin 'Azuz, Shafahaat Musyriqah Min 'Inayatil Mar'ah Bi
Shahihil Imam Al Bukhari hal.18, dikutip dari kitab Thabaqaat Asy Syafi'iyah
2/227 dan kitab Hadyus Sari hal.195.