Rabu, 25 Desember 2013

Kisah Petasan Dan Amar Makruf Nahi Mungkar

Semalam kajian kitab Riyadhusshalihin di sebuah masjid di tanah Bintara mengulang kembali bab Al Amru Bil Ma'ruf wa An Nahyu 'anil Munkar. Selama mengkaji kitab tersebut maka ada satu hal yang terlihat dari kepiawaian Imam Nawawi dan kedalaman pandangan beliau saat menyusun dan meletakkan bab-babnya. Seakan semua terkait hingga menjadi sebuah marahil atau tahapan-tahapan. Contohnya bab Al Ikhlas wa Ikhdharin Niyyah beliau letakkan sebagai bab pembuka. Maka setelahnya adalah bab At Taubah. Subhanallah, seakan beliau tahu persis tentang keadaan seseorang yang belum semuanya berhasil memulai amalnya dengan ikhlas hingga ia harus bertaubat atasnya. Dan bila seseorang bertaubat maka ia haruslah bersabar dalam taubatnya, maka dari itu bab As Shabr adalah bab yang ketiga. Setelahnya adalah bab Ash Shidq, lalu Al Muraqabah dan seterusnya. Walhamdulillah dahulu sudah saya sampaikan pada jama'ah tentang keterkaitan bab-bab tersebut.


Dan saat mengulang bab Al Amru Bil Ma'ruf wa An Nahyu 'anil Munkar semalam, maka sebelumnya telah mengulang juga bab An Nashihah. Saya sampaikan kembali bahwa dua bab ini pun saling terkait dan bab nasehat adalah tahapan sebelum bab amar ma'ruf nahi mungkar. Dalam bab nasehat ada beberapa hadits yang semuanya berisi kewajiban saling menasehati. Dan inti nasehat adalah amar ma'ruf nahi mungkar. Nasehat adalah berdakwah mengajak orang supaya menjalankan syari'at Allah, mulai menyingkirkan gangguan dari jalanan sampai menegakkan hukum-hukum Allah Azza wa Jalla, dan mencegah orang dari perbuatan yang menyalahi syari'at-NYA.

Di tengah asyiknya saya dan para jama'ah dalam kajian tiba-tiba.....blarrr, blarrr, blarrr, blarrr, blarrr. Ada bunyi ledakan sebanyak lima kali sebagaimana cerita kawan-kawan yang dari Suriah dimana setiap saat, tidak peduli saat makan atau saat shalat selalu terdengar bunyi ledakan. Ternyata ada orang yang menyalakan petasan besar yang sangat-sangat mengganggu. Tapi karena yang dikaji adalah bab amar ma'ruf dan nahi mungkar, maka ini adalah saat yang tepat memberikan contoh apa saja bentuk kemungkaran yang perlu dicegah. Maka dengan tetap pakai mik saya sengaja mengatakan kepada para jama'ah, dan mungkin juga orang yang berada di jalanan depan masjid yang menyalakan petasan itu juga mendengar apa yang saya ucapkan,

"Nah, orang yang menyalakan petasan ini sudah bisa kita laporkan ke pak RW kita, karena dia telah mengganggu kenyamanan."

Dalam hati, kalau sekali lagi orang tersebut menyalakan petasan maka saya sendiri yang akan mendatanginya dan kajian berhenti. Kebetulan hadir dalam kajian tersebut beberapa pak haji dan sesepuh setempat yang sudah lama juga merasa jengkel dengan adat kebiasaan menyalakan petasan yang sering dikaitkan dengan persoalan agama. Sampai bulan ramadhan pun disambut dengan petasan dengan dasar sebuah hadits palsu tentang bergembira menyambut datangnya bulan ramadhan sebagaimana riwayat Al Khubawi dalam kitabnya Durratun Nashihiin yang dikutip tanpa sanad. Dan sesuai kesepakatan para ulama hadits, maka matan tanpa sanad alias tidak bisa dilacak sumbernya dari kitab apa dihukumi sebagai hadits maudhu', yaitu palsu alias karangan. Bunyi haditsnya sebagai berikut,

"Man fariha bi bidukhuuli ramadhaan harramallahu jasadahu 'alan niiraan"

Makanya salah satu bentuk gembiranya adalah menyalakan petasan. Kalau sama-sama palsu, sepertinya yang lebih pas adalah,

"Man fariha bitafjiiril mercon yuusyiku an yuhraqa jasaduhu bin niiraan"

Walhamdulillah, suasana seperti di Suriah hanya lima kali ledakan dari satu buah petasan saja yang terdengar, selanjutnya kajian selamat sampai tujuan. Dan yang lebih patut untuk disyukuri adalah sedikit pengetahuan yang tersampaikan, bahwa para jama'ah sekarang mengerti bahwa petasan adalah perbuatan mungkar.

Insya Allah bersambung dalam pembahasan yang sama tentang bab amar ma'ruf dan nahi mungkar dimana ada bahasan tentang i'jaazul quran dan hikmah-hikmah dibalik ungkapan ayat Alquran dan hadits yang dikutip oleh Imam Nawawi. Semoga Allah mudahkan waktu dan penulisannya.

Fairuz Ahmad.

Bintara di awal pagi, 22 Shafar 1435 H./25 Desember 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar