Tahukah kita kenapa agama syi'ah rafidhah mengajarkan kepada pemeluknya
agar mencela dan mengkafirkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam?
Jawabannya adalah agar pondasi ilmu dalam agama Islam berupa ilmu sanad
itu hancur porak poranda. Bila para sahabat radhiyallahu anhum adalah generasi
pertama yang biasa disebut dalam ilmu hadits sebagai At Thabaqah Al Ula dalam
penyampaian riwayat-riwayat hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, maka apa jadinya bila mereka adalah muttahamuun bil juruuh alias
orang-orang yang tertuduh dengan celaan?
Maka setelah generasi pertama sebagai generasi terbaik itu cacat,
apalagi yang tersisa dari generasi selanjutnya? Bila generasi yang pertama saja
sudah cacat, maka tidak mungkin lagi bagi siapa pun menerima riwayat yang
disampaikan oleh generasi berikutnya.
Dan akibatnya adalah, terbukanya pintu dusta selebar-lebarnya untuk
membuat riwayat-riwayat palsu. Dan itulah yang menjadi tujuan utama ajaran
syi'ah rafidhah, mencela sahabat agar dapat menghancurkan ilmu sanad.
Akhirnya, riwayat-riwayat
dusta atas nama Nabi, Ali, Fathimah, Husein, Hasan dan lain-lain ibarat
pasir-pasir yang dimuntahkan oleh gunung Merapi. Maka adakah yang sanggup
menghitung pasir-pasir itu?
Tak usahlah kita sibuk
menghitung pasir-pasir itu. Sebab siapa pun akan merasa ada gangguan pasir di
matanya bila syaraf di matanya masih ada. Syaraf yang ada itu akan
menginformasikan ke otak agar ia memerintahkan tangan untuk membersihkan pasir
yang mengganggu mata. Maka yang terpenting adalah mempelajari ilmu sanad. Ia
laksana syaraf yang mampu memberitahu adanya pasir-pasir pengganggu. Dan bila
kita memiliki syaraf, niscaya kita selalu mendapatkan sesuatu yang bermanfaat,
bukan pasir-pasir. Kalau pun tidak memungkinkan mempelajarinya, maka cukuplah
mengetahuinya sedikit. Kalau pun masih belum memungkinkan juga, maka pastikan riwayat-riwayat
yang anda baca tersebut dikutip dan diambil dari kitab-kitab ulama yang
mengharamkan diri mereka dari mencela para sahabat, apalagi mengkafirkannya.
Jadi jangan sampai kita
seperti "Haathibu lail", yaitu pencari kayu bakar di malam hari.
Karena boleh jadi karena ketidaktahuan kita, ular pun kita bawa pulang, hingga
akhirnya nyawa kita melayang.
Fairuz Ahmad.
Bintara di awal pagi, 24 Dzulhijjah 1434 H./29 Oktober 2013 M.