Alangkah banyak manusia-manusia mati sekarang. Menjadi
mayat-mayat yang berserak. Jalanan, kendaraan, pasar, swalayan, sekolah bahkan
rumah-rumah ibadah. Semuanya telah berubah menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang mati. Mereka sudah tidak
lagi hanya menghuni apartemen-apartemen bawah tanah yang selama ini menjadi
hunian mereka. Sudah bosan, barangkali.
Tapi, sepertinya orang-orang mati yang sekarang
berserak di atas tanah di tengah kota maupun desa tersebut bukanlah mereka yang
tadinya menghuni apartemen bawah tanah. Bukan. Sekali lagi bukan. Mereka hanya
seakan-akan mati. Sebab mereka memang seperti mati. Nyatanya mereka masih
menyimpan nyawa. Hanya saja ia bagaikan tak punya nyawa. Bila nyawa laksana
bahan bakar, maka manusia tanpa nyawa ibarat kendaraan tanpa bahan bakar. Dan
manusia yang hidup tapi tak ada harga dalam kehidupannya maka ia ibarat
rongsokan. Ia masih bisa tampil layaknya manusia hidup, meski sejatinya ia
mati. Sesungguhnya ia telah dibunuh.
Orang-orang mati itu menjadi mati dan berserak
bukan tanpa sebab. Sekali lagi ia telah dibunuh. Dan pembunuhnya adalah sebuah
benda. Ia bukanlah manusia yang berupa tulang terbalut daging dan dialiri
darah. Justru ia tak berdarah daging. Bahkan ia sangatlah kecil. Namun daya
bunuhnya jauh lebih dahsyat dan hebat dari para sniper bersenjata otomatis. Ia
tidak memuntahkan peluru tajam yang merobek tubuh manusia, sebab membunuh
manusia tak harus dirobek dan dilukai tubuhnya. Karena cara itu sangatlah
sulit, sebab si manusia haruslah nampak di luar rumah. Sedang saat ia di dalam
rumah atau di tempat persembunyiannya, maka ia akan selamat dan tetap hidup.
Sang pembunuh tak berdarah daging ini sangat ahli
dalam melancarkan aksinya. Ia mampu membunuh manusia dimana saja, bahkan di
tempat teraman sekalipun. Sebab seringnya manusia bisa ditipu olehnya. Ia
nampak seperti kawan sejati maka ia dibawa bahkan saat sembunyi. Itulah sang
pembunuh saat ia mulai beraksi. Ia selalu mampu menjadi kawan untuk berteman.
Dan ia selalu mampu menjadi sahabat untuk mendengar curhat. Ya, ia senantiasa
dekat dengan para korbannya. Dan memang sang korbanlah yang membuatnya
senantiasa dekat dengan dirinya.
Maka lihatlah orang-orang
mati dan berserak korban pembunuhannya. Di jalanan, kendaraan, pasar, swalayan, sekolah bahkan rumah-rumah ibadah.
Manusia-manusia itu memang masih bernyawa, sebab sang pembunuh profesional
tersebut tidak menghilangkan nyawanya. Tapi yang ia hilangkan adalah hatinya.
Hati manusia yang sudah hilang dan mati itu akhirnya tak lagi berfungsi sebagai
hati. Ia menjadi manusia tak berhati. Tak ada lagi sapa lisan yang mendamaikan
hati dengan mengucap salam, sebab hatinya telah mati. Tak ada lagi gerak
tangan yang meringankan beban, sebab hatinya telah mati. Tak ada lagi langkah
kaki mengantar diri melakukan kunjungan, sebab hatinya telah mati. Dan semuanya hampir telah mati. Dan
kematian itu juga hampir menjamah seluruh kota-kota dan desa-desa.
Manusia-manusia itu telah sibuk dengan dirinya
sendiri, karenanya ia terlihat mati. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat
masih mampu mengucap salam. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat masih mampu
meringankan beban orang. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat masih mampu
melakukan kunjungan. Bahkan karena kematiannya ia tak lagi memandang
orang-orang terdekatnya masih hidup. Ia menganggap mereka telah mati. Suaminya
telah mati, istrinya telah mati, anak-anaknya telah mati, ayah ibunya telah
mati, kakek neneknya telah mati, saudaranya telah mati, tetangganya telah mati,
sahabat dan teman-temannya telah mati. Semua telah mati. Sebab ciri orang mati
adalah tiadanya kemampuan untuk berkomunikasi.
Orang-orang itu masih bernyawa, namun sepertinya
telah mati. Sebab tiada lagi kesibukan bagi orang yang telah mati kecuali dengan
dirinya sendiri, juga dengan benda kecil si pembunuh hati yang selalu menemani.
Fairuz Ahmad.
Bintara di awal pagi, 23
Dzulhijjah 1434 H./28 Oktober 2013 M.