Senin, 16 Desember 2013

Pembunuh Tak Berdarah Daging

Alangkah banyak manusia-manusia mati sekarang. Menjadi mayat-mayat yang berserak. Jalanan, kendaraan, pasar, swalayan, sekolah bahkan rumah-rumah ibadah. Semuanya telah berubah menjadi tempat berkumpulnya orang-orang mati. Mereka sudah tidak lagi hanya menghuni apartemen-apartemen bawah tanah yang selama ini menjadi hunian mereka. Sudah bosan, barangkali.

Tapi, sepertinya orang-orang mati yang sekarang berserak di atas tanah di tengah kota maupun desa tersebut bukanlah mereka yang tadinya menghuni apartemen bawah tanah. Bukan. Sekali lagi bukan. Mereka hanya seakan-akan mati. Sebab mereka memang seperti mati. Nyatanya mereka masih menyimpan nyawa. Hanya saja ia bagaikan tak punya nyawa. Bila nyawa laksana bahan bakar, maka manusia tanpa nyawa ibarat kendaraan tanpa bahan bakar. Dan manusia yang hidup tapi tak ada harga dalam kehidupannya maka ia ibarat rongsokan. Ia masih bisa tampil layaknya manusia hidup, meski sejatinya ia mati. Sesungguhnya ia telah dibunuh.


Orang-orang mati itu menjadi mati dan berserak bukan tanpa sebab. Sekali lagi ia telah dibunuh. Dan pembunuhnya adalah sebuah benda. Ia bukanlah manusia yang berupa tulang terbalut daging dan dialiri darah. Justru ia tak berdarah daging. Bahkan ia sangatlah kecil. Namun daya bunuhnya jauh lebih dahsyat dan hebat dari para sniper bersenjata otomatis. Ia tidak memuntahkan peluru tajam yang merobek tubuh manusia, sebab membunuh manusia tak harus dirobek dan dilukai tubuhnya. Karena cara itu sangatlah sulit, sebab si manusia haruslah nampak di luar rumah. Sedang saat ia di dalam rumah atau di tempat persembunyiannya, maka ia akan selamat dan tetap hidup.

Sang pembunuh tak berdarah daging ini sangat ahli dalam melancarkan aksinya. Ia mampu membunuh manusia dimana saja, bahkan di tempat teraman sekalipun. Sebab seringnya manusia bisa ditipu olehnya. Ia nampak seperti kawan sejati maka ia dibawa bahkan saat sembunyi. Itulah sang pembunuh saat ia mulai beraksi. Ia selalu mampu menjadi kawan untuk berteman. Dan ia selalu mampu menjadi sahabat untuk mendengar curhat. Ya, ia senantiasa dekat dengan para korbannya. Dan memang sang korbanlah yang membuatnya senantiasa dekat dengan dirinya.

Maka lihatlah orang-orang mati dan berserak korban pembunuhannya. Di jalanan, kendaraan, pasar, swalayan, sekolah bahkan rumah-rumah ibadah. Manusia-manusia itu memang masih bernyawa, sebab sang pembunuh profesional tersebut tidak menghilangkan nyawanya. Tapi yang ia hilangkan adalah hatinya. Hati manusia yang sudah hilang dan mati itu akhirnya tak lagi berfungsi sebagai hati. Ia menjadi manusia tak berhati. Tak ada lagi sapa lisan yang mendamaikan hati dengan mengucap salam, sebab hatinya telah mati. Tak ada lagi gerak tangan yang meringankan beban, sebab hatinya telah mati. Tak ada lagi langkah kaki mengantar diri melakukan kunjungan, sebab hatinya telah mati. Dan semuanya hampir telah mati. Dan kematian itu juga hampir menjamah seluruh kota-kota dan desa-desa.

Manusia-manusia itu telah sibuk dengan dirinya sendiri, karenanya ia terlihat mati. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat masih mampu mengucap salam. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat masih mampu meringankan beban orang. Mati, sebab tak mungkin seonggok mayat masih mampu melakukan kunjungan. Bahkan karena kematiannya ia tak lagi memandang orang-orang terdekatnya masih hidup. Ia menganggap mereka telah mati. Suaminya telah mati, istrinya telah mati, anak-anaknya telah mati, ayah ibunya telah mati, kakek neneknya telah mati, saudaranya telah mati, tetangganya telah mati, sahabat dan teman-temannya telah mati. Semua telah mati. Sebab ciri orang mati adalah tiadanya kemampuan untuk berkomunikasi.

Orang-orang itu masih bernyawa, namun sepertinya telah mati. Sebab tiada lagi kesibukan bagi orang yang telah mati kecuali dengan dirinya sendiri, juga dengan benda kecil si pembunuh hati yang selalu menemani.

Fairuz Ahmad.

Bintara di awal pagi, 23 Dzulhijjah 1434 H./28 Oktober 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar