Rabu, 25 Desember 2013

Sebuah Sekolah Yang Tidak Mencetak Zombie

Rasanya sangat ingin mengapresiasi terhadap perjuangan dan kiprah Ibu Ade Pujiati, pendiri sekolah SMP gratis Ibu Pertiwi. Semua operasional sekolah di dapat dari pemerintah daerah dan pusat. Semua pengajarnya berstatus relawan alias gratis tak dibayar, sebab rata-rata sudah pada mapan. Justru disinilah sikap yang harus diapresiasi. Kemapanan yang menggerakkan jiwa-jiwa sosial. Kemapanan yang didedikasikan untuk dunia pendidikan generasi manusia.

Tapi bukan masalah gratisnya yang ingin disampaikan dalam coretan ini, namun kurikulum buatan sendirinyalah yang menjadikan sekolah tersebut mampu melahirkan generasi yang hidup, bukan generasi zombie penganut kurikulum yang telah mati kehilangan hati. Para pengajarnya adalah relawan sampai tingkat S2 dari dalam dan luar negeri dan ada yang berprofesi sebagai dosen dan pengusaha. Dan mereka relawan-relawan yang terseleksi
.

Di antara kurikulumnya adalah tidak ada jual beli kunci jawaban. Memang tidak ada sekolah mana pun yang menjadikan jual beli jawaban sebagai kurikulum, namun pada kenyataannya hal itu telah dibudayakan di negeri ini. Disebut budaya karena perbuatan itu sudah jamak diketahui oleh pihak-pihak penting di negeri ini. Walhasil, nyontek adalah adalah hal lumrah dalam lingkungan pendidikan. Maka dari itulah sekolah Ibu Pertiwi menanamkan pendidikan berani tidak naik kelas kalau memang belum saatnya naik kelas, dan murid-muridnya yang tidak naik kelas pun tetap nyaman tidak ada beban. Meski banyak sekolah yang merasa malu bila ada muridnya tidak naik kelas apalagi tidak lulus ujian negara hingga akhirnya mengkurikulumkan nyontek dari hasil membeli kunci jawaban. Inilah kurikulum yang menghasilkan generasi-generasi zombie. Belajar dan mengajarkan pendidikan agama namun hanya pada taraf untuk mengerjakan soal-soal saja, adapun urusan praktek maka beda urusan.

Di antara kurikulumnya adalah wajib membaca. Mungkin ini adalah salah satu kurikulum yang bisa dikatakan unggulan, sebab banyak sekolah yang kurang memperhatikan budaya membaca bagi anak-anaknya. Bahkan sampai sekolah-sekolah Islam pun seperti itu. Padahal para ulama dahulu menjadi ulama karena membaca.[1]

Lalu yang paling terlihat baik adalah, sekolah tersebut hanya mengajarkan ilmu yang penting-penting saja. Mungkin setelah melalui proses penelitian hingga akhirnya diketahui bahwa kurikulum yang selama ini berlaku di negeri ini adalah kurikulum yang juga mengajarkan hal-hal yang tidak penting sampai menganggapnya sebuah ilmu padahal bukan ilmu.[2]

Dan ada yang menarik dalam perjalanan pendidikan di sekolah ini yaitu kasus anak didik yang sampai dimintakan ijin dari orang tuanya untuk dikoskan oleh pihak sekolah gara-gara budaya di rumahnya yang full TV.

Akhirnya, memang kita sudah harus berbenah dan membenahi sistem pendidikan kita. Pendidikan yang berbasis agama, dan agama yang berbasis iman, ilmu dan akhlak yang semua dikemas dalam bentuk praktek nyata, contoh dan keteladanan. Maka itulah yang disebut sebagai belajar oleh Imam As Syafi'i dalam bait syairnya, dan bila proses belajar itu tak pernah dilalui oleh seseorang, maka ia laksana zombie.

ومن فاته التعليم وقت شبابه.................فكبر عليه أربعا لوفاته

Barang siapa yang kehilangan masa belajar di waktu mudanya, maka takbirkanlah empat kali buat kematiannya.

-----
Apresiasi terhadap Ibu Ade Pujiati di liputan DAAI TV tentang Sekolah SMP Gratis Ibu Pertiwi.

Fairuz Ahmad.

Bintara, 9 Muharram 1435 H./13 Nopember 2013 M.

Catatan:

[1] Kisah-kisah ulama:

Manusia-manusia Lintas Zaman
Ruang Kosong Di Kehidupan Kita

[2] Pakem Tak Penting Yang Dibuat Penting
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar