Suatu malam pada jamuan makan sehabis pengajian, tersuguhlah bubur
jagung manis dalam sebuah mangkok putih. Meski waktu suguhan sangat saya sayangkan karena berada di ujung pengajian,
saya tetap memakannya hingga tetes bubur penghabisan. Namun,,,,,,,
Sang tuan rumah berkata
dengan ramahnya, "Silakan tambah pak, enak buburnya..."
Kata-kata tuan rumah yang meskipun
ramah itu tetap saja bagi saya menimbulkan sedikit rasa tidak enak dalam jiwa.
Sepertinya sangat kelaparan hingga tetes-tetes terakhir bubur pun dihabiskan.
Tapi bisa jadi bukan seperti itu yang tuan rumah maksudkan. Namun sekali lagi
meski....
Boleh jadi karena perasaan
takut dikira kelaparan oleh tuan rumah inilah maka banyak masyarakat yang akhirnya
menyisakan makanan atau minuman di piring dan gelasnya. Malu. Dan boleh jadi
sebenarnya ia masih menyimpan nafsu membara untuk menghabiskannya, namun rasa
takut disangka kelaparan itulah yang kemudian mencegahnya. Padahal sunnah Nabi
mengharuskan agar makanan dihabiskan, bahkan saat ada bagian yang jatuh pun
harus segera diambil lalu dibersihkan dan dimakan.
Dan suatu hari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits riwayat Muslim dari Anas bin
Malik radhiyallahu anhu yang artinya:
"Apabila ada sesuatu
yang jatuh dari apa yang kalian makan hendaklah ia memungutnya dan membersihkan
kotorannya lalu memakannya, dan jangan biarkan ia untuk setan."
Anas berkata, "Dan
beliau menyuruh kita agar menghabiskan seluruh yang di piring." dan berkata,
"Sesungguhnya kalian
tidak tahu ada di bagian mana barakah itu."
Dan dalam riwayat Muslim dari
Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu beliau bersabda yang artinya,
"Sesungguhnya setan
akan menyertai seseorang dari kalian pada setiap urusannya, hingga pada urusan
makanannya. Maka apabila ada sesuatu yang jatuh dari makanan kalian maka
hendaklah ia membersihkan kotorannya, kemudian memakannya dan jangan
ditinggalkan untuk setan. Dan apabila ia telah selesai makan hendaknya ia
bersihkan jari-jarinya dengan lidah, karena sesungguhnya ia tidak tahu dimana
barakah yang ada pada makanan tersebut."
Alangkah benarnya saat beliau
mengatakan bahwa sunnah laksana bara api. Barang siapa yang mengamalkan sunnah
maka ia laksana menggenggam bara api.
Suatu saat dan bahkan di
banyak saat orang meninggalkan sunnah Rasulullah karena malu, akhirnya ia
lepaskan bara dari genggaman.
2. Kisah Bara Di Pintu Rumah
Dahulu waktu saya pindah
rumah ke negeri Bintara ada juga peristiwa yang terasa kurang nyaman dalam
jiwa. Kebetulan tempat dimana saya akan tinggal juga ada beberapa
saudara-saudara dan beberapa tetangga yang sudah seperti keluarga. Dan saking
kekeluargaannya sebagaimana dijumpai pada umumnya masyarakat kita yang satu
sama lain juga seperti itu, maka kebiasaan "nyelonong" masuk rumah orang
yang sudah dikenal "bilaa salaam walaa kalaam" alias tanpa babibu (sebenarnya
memang tidak ada orang masuk rumah orang lain pakai ngucap dulu babibu...hehe)
sudah biasa.
Dan saat rumah saya yang
selalu terkunci inilah yang akhirnya menimbulkan persoalan. Di antara yang terdengar
adalah saya tidak ingin dikunjungi oleh saudara maupun tetangga, buktinya pintu
rumah yang selalu tidak bisa dibuka sendiri oleh tamunya.
Persoalan kedua adalah saat
saya bertamu pakai acara ketuk pintu, lalu salam, selanjutnya menunggu
dibukakan sang pemilik pintu sekalian pemilik rumahnya. Walhasil, ternyata itu
adalah adat yang tak biasanya. Ibarat download sebuah file, maka cara
seperti itu bukan cara download kategori premium alias gratisan. Makanya lama.
Tapi itulah bara. Boleh jadi
kebiasaan nyelonong itu salah satu sebabnya adalah tidak kuat menggenggam bara.
Dan bara tersebut adalah apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu
anhu,
"Meminta izin itu
sebanyak tiga kali, jika diizinkan silakan dan kalau tidak maka
kembalilah."
Dan juga dari Sahl bin Sa'd
radhiyallahu anhu, bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya disyari'atkan
meminta izin itu dalam rangka menjaga pandangan."
Sebab rumah adalah tempat
aurat, maka dari itu kebiasaan nyelonong tanpa izin terlebih dahulu sangat
berpotensi terlihatnya aurat dalam rumah. Dan itu bukan rezeki nomplok bagi
sang penyelonong tapi dosa.
Bara berikutnya adalah
mengucap salam sebagaimana riwayat Tirmizi dari Anas bin Malik radhiyallahu
anhu bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya,
"Hai anakku, bila
kamu masuk rumah keluargamu hendaknya kamu ucapkan salam, karena hal itu akan
menjadi berkah atasmu dan atas keluargamu." Tirmizi mengatakan hadits
hasan shahih.
Tapi bara tetaplah bara. Yang
takut dan malu menggenggam bara maka akan ia lepaskan sesuka ia suka.
3. Kisah Bara Pada Sandal Di Pemakaman
Tetap memakai sandal di pedalaman
pemakaman adalah pemandangan yang tidak aneh. Sebab yang aneh adalah
penampakan orang yang terlihat nyeker dengan sepenuh hati. Bila akhirnya merasa
tidak enak sendirian nyeker, boleh jadi ia akan memakai sandal kembali. Sebab
telah hinggap padanya perasaan kurang elegan bila mulai atas mata kaki sampai
puncak-puncak rambutnya terlihat rapi dan higienis, namun saat berjalan
terlihat primitif. Ia tak pakai
sepatu ataupun sandal. Akhirnya ia tak kuat menggenggam bara. Dan bara itu
adalah perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Basyir bin Khaskhasah
radhiyallahu anhu saat ia memakai sandal dan berjalan di kemakaman,
"Hai orang yang
memakai sandal, lepaskan sandalmu." Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah
dan lain-lain dengan sanad jayyid.
Namun bila nyeker tersebut tidak
memungkinkan karena banyak duri atau batu-batu tajam, atau tanah yang panas dan
lain-lain maka tidak apa-apa dia memakai sandal.
Sunnah ibarat bara. Yang
menggenggamnya haruslah kuat menahan panasnya.
"Celaka bagi
orang-orang Arab, disebabkan dari keburukan yang telah mendekat. (takutlah/jauhilah)
fitnah-fitnah dimana ia laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita. Saat
itu ada orang yang pagi harinya beriman namun di sore harinya menjadi kafir, ada
kaum yang menjual agamanya dengan sedikit perhiasan dunia. Pada hari itu orang
yang menggenggam kuat agamanya laksana orang yang menggenggam bara, atau duri." Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya
dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oleh syeikh Al Arna'uth.
Sedang dalam riwayat Tirmizi
yang dishahihkan oleh syeikh Al Albani,
"Akan datang pada
manusia suatu masa dimana orang yang sabar dalam memegang agamanya di kalangan
mereka seperti orang yang menggenggam bara api."
Bara ke 4, 5, 6 dan seterusnya
akan dibahas di waktu yang Allah izinkan tentunya, namun tidak tahu kapan. Yang
pasti sudah banyak juga bara-bara yang telah ditulis dan dijelaskan oleh
hamba-hamba Allah yang lain.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 27 Dzulhijjah 1434
H./1 Nopember 2013 M.