Selasa, 10 Desember 2013

Sunnah-sunnah Membara

1. Kisah Bara Dalam Makanan

Suatu malam pada jamuan makan sehabis pengajian, tersuguhlah bubur jagung manis dalam sebuah mangkok putih. Meski waktu suguhan sangat saya sayangkan karena berada di ujung pengajian, saya tetap memakannya hingga tetes bubur penghabisan. Namun,,,,,,,

Sang tuan rumah berkata dengan ramahnya, "Silakan tambah pak, enak buburnya..."

Kata-kata tuan rumah yang meskipun ramah itu tetap saja bagi saya menimbulkan sedikit rasa tidak enak dalam jiwa. Sepertinya sangat kelaparan hingga tetes-tetes terakhir bubur pun dihabiskan. Tapi bisa jadi bukan seperti itu yang tuan rumah maksudkan. Namun sekali lagi meski....


Boleh jadi karena perasaan takut dikira kelaparan oleh tuan rumah inilah maka banyak masyarakat yang akhirnya menyisakan makanan atau minuman di piring dan gelasnya. Malu. Dan boleh jadi sebenarnya ia masih menyimpan nafsu membara untuk menghabiskannya, namun rasa takut disangka kelaparan itulah yang kemudian mencegahnya. Padahal sunnah Nabi mengharuskan agar makanan dihabiskan, bahkan saat ada bagian yang jatuh pun harus segera diambil lalu dibersihkan dan dimakan.

Dan suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits riwayat Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu yang artinya:

"Apabila ada sesuatu yang jatuh dari apa yang kalian makan hendaklah ia memungutnya dan membersihkan kotorannya lalu memakannya, dan jangan biarkan ia untuk setan."

Anas berkata, "Dan beliau menyuruh kita agar menghabiskan seluruh yang di piring." dan berkata,

"Sesungguhnya kalian tidak tahu ada di bagian mana barakah itu."

Dan dalam riwayat Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu beliau bersabda yang artinya,

"Sesungguhnya setan akan menyertai seseorang dari kalian pada setiap urusannya, hingga pada urusan makanannya. Maka apabila ada sesuatu yang jatuh dari makanan kalian maka hendaklah ia membersihkan kotorannya, kemudian memakannya dan jangan ditinggalkan untuk setan. Dan apabila ia telah selesai makan hendaknya ia bersihkan jari-jarinya dengan lidah, karena sesungguhnya ia tidak tahu dimana barakah yang ada pada makanan tersebut."

Alangkah benarnya saat beliau mengatakan bahwa sunnah laksana bara api. Barang siapa yang mengamalkan sunnah maka ia laksana menggenggam bara api.
Suatu saat dan bahkan di banyak saat orang meninggalkan sunnah Rasulullah karena malu, akhirnya ia lepaskan bara dari genggaman.

2. Kisah Bara Di Pintu Rumah

Dahulu waktu saya pindah rumah ke negeri Bintara ada juga peristiwa yang terasa kurang nyaman dalam jiwa. Kebetulan tempat dimana saya akan tinggal juga ada beberapa saudara-saudara dan beberapa tetangga yang sudah seperti keluarga. Dan saking kekeluargaannya sebagaimana dijumpai pada umumnya masyarakat kita yang satu sama lain juga seperti itu, maka kebiasaan "nyelonong" masuk rumah orang yang sudah dikenal "bilaa salaam walaa kalaam" alias tanpa babibu (sebenarnya memang tidak ada orang masuk rumah orang lain pakai ngucap dulu babibu...hehe) sudah biasa.

Dan saat rumah saya yang selalu terkunci inilah yang akhirnya menimbulkan persoalan. Di antara yang terdengar adalah saya tidak ingin dikunjungi oleh saudara maupun tetangga, buktinya pintu rumah yang selalu tidak bisa dibuka sendiri oleh tamunya.

Persoalan kedua adalah saat saya bertamu pakai acara ketuk pintu, lalu salam, selanjutnya menunggu dibukakan sang pemilik pintu sekalian pemilik rumahnya. Walhasil, ternyata itu adalah adat yang tak biasanya. Ibarat download sebuah file, maka cara seperti itu bukan cara download kategori premium alias gratisan. Makanya lama.

Tapi itulah bara. Boleh jadi kebiasaan nyelonong itu salah satu sebabnya adalah tidak kuat menggenggam bara. Dan bara tersebut adalah apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu anhu,

"Meminta izin itu sebanyak tiga kali, jika diizinkan silakan dan kalau tidak maka kembalilah."

Dan juga dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu anhu, bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya disyari'atkan meminta izin itu dalam rangka menjaga pandangan."

Sebab rumah adalah tempat aurat, maka dari itu kebiasaan nyelonong tanpa izin terlebih dahulu sangat berpotensi terlihatnya aurat dalam rumah. Dan itu bukan rezeki nomplok bagi sang penyelonong tapi dosa.

Bara berikutnya adalah mengucap salam sebagaimana riwayat Tirmizi dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya,

"Hai anakku, bila kamu masuk rumah keluargamu hendaknya kamu ucapkan salam, karena hal itu akan menjadi berkah atasmu dan atas keluargamu." Tirmizi mengatakan hadits hasan shahih.

Tapi bara tetaplah bara. Yang takut dan malu menggenggam bara maka akan ia lepaskan sesuka ia suka.

3. Kisah Bara Pada Sandal Di Pemakaman

Tetap memakai sandal di pedalaman pemakaman adalah pemandangan yang tidak aneh. Sebab yang aneh adalah penampakan orang yang terlihat nyeker dengan sepenuh hati. Bila akhirnya merasa tidak enak sendirian nyeker, boleh jadi ia akan memakai sandal kembali. Sebab telah hinggap padanya perasaan kurang elegan bila mulai atas mata kaki sampai puncak-puncak rambutnya terlihat rapi dan higienis, namun saat berjalan terlihat primitif. Ia tak pakai sepatu ataupun sandal. Akhirnya ia tak kuat menggenggam bara. Dan bara itu adalah perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Basyir bin Khaskhasah radhiyallahu anhu saat ia memakai sandal dan berjalan di kemakaman,

"Hai orang yang memakai sandal, lepaskan sandalmu." Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah dan lain-lain dengan sanad jayyid.

Namun bila nyeker tersebut tidak memungkinkan karena banyak duri atau batu-batu tajam, atau tanah yang panas dan lain-lain maka tidak apa-apa dia memakai sandal.

Sunnah ibarat bara. Yang menggenggamnya haruslah kuat menahan panasnya.

"Celaka bagi orang-orang Arab, disebabkan dari keburukan yang telah mendekat. (takutlah/jauhilah) fitnah-fitnah dimana ia laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita. Saat itu ada orang yang pagi harinya beriman namun di sore harinya menjadi kafir, ada kaum yang menjual agamanya dengan sedikit perhiasan dunia. Pada hari itu orang yang menggenggam kuat agamanya laksana orang yang menggenggam bara, atau duri." Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oleh syeikh Al Arna'uth.

Sedang dalam riwayat Tirmizi yang dishahihkan oleh syeikh Al Albani,

"Akan datang pada manusia suatu masa dimana orang yang sabar dalam memegang agamanya di kalangan mereka seperti orang yang menggenggam bara api."

Bara ke 4, 5, 6 dan seterusnya akan dibahas di waktu yang Allah izinkan tentunya, namun tidak tahu kapan. Yang pasti sudah banyak juga bara-bara yang telah ditulis dan dijelaskan oleh hamba-hamba Allah yang lain.

Fairuz Ahmad.

Bintara, 27 Dzulhijjah 1434 H./1 Nopember 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar