Hampir tiada yang menjadi
perhatian dalam kehidupan kita sekarang ini kecuali persoalan dunia. Dan itu
kita mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali. Do'a-do'a yang
kita panjatkan, shalat-shalat yang kita dirikan, sedekah-sedekah yang kita
tunaikan, pembicaraan-pembicaraan bersama kawan hingga pertemuan-pertemuannya.
Semuanya hampir tak lepas dari harapan-harapan kita kepada Allah agar persoalan
dunia kita semakin membaik.
Tidak ada yang salah. Bahkan
perkara itu menjadi bagian penting yang juga sangat diperhatikan oleh agama.
Tak boleh kita menyepelekan, atau bahkan sama sekali meninggalkan perkara dunia.
Sebab Allah juga telah menganjurkan agar kita mengambil bagian dari nikmat
dunia.
"Dan jangan kamu lupakan
bagianmu dari kenikmatan dunia"
Namun yang menjadi celaan
adalah saat seluruh waktu kita, pikiran kita, hasrat kita, kemampuan kita,
harapan kita, cita-cita kita, dan bahkan tujuan hidup kita hanya pada
kenikmatan dunia. Lalu tak ada sedikit pun ruang yang tersisa untuk sekedar
meletakkan sedikit perasaan risau saat kelak harus bertemu Allah. Sebuah
pertemuan yang pasti terjadi. Sebab tak satu pun yang mampu bersembunyi. Dan
setelah pertemuan itulah kita akan tahu dimana posisi kita dan dalam keadaan
apa kita kelak.
Maka marilah kita simak
kisah-kisah risau para ulama kita. Ruang yang mereka sediakan untuk meletakkan
perasaan risau sangatlah besar. Dan hampir-hampir tak ada ruang lain yang
tersisa kecuali untuk itu:
Sa'id bin Al Musayyib berkata,
Abdullah bin Salam dan Salman Al Farisi bertemu, lalu salah seorang di
antaranya berkata, "Jika engkau meninggal sebelum aku maka temuailah aku
dan kabarkan bagaimana pertemuanmu dengan Tuhanmu. Dan jika aku yang meninggal sebelum dirimu maka
aku akan menemuimu dan kabarkan padamu." Yang lain berkata, "Apakah
orang mati bisa bertemu orang yang masih hidup?" Ia menjawab, "Ya,
ruh mereka ada di surga, bepergian kemana saja ia suka." Sa'id berkata,
"Maka seorang dari mereka meninggal lalu menemui temannya dalam mimpi
kemudian berkata, "Bertawakkallah dan bergembiralah, sungguh aku belum
pernah melihat sesuatu seperti tawakkal."
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
dalam kitabnya Ar Ruh menukilkan kisah antara Ghudhaif bin Al Harits saat mendatangi
Syuraih bin 'Abid Ats Tsumali,
Saat kematian menghampiri
Syuraih bin 'Abid Ats Tsumali, masuklah Ghudhaif bin Al Harits sedang Syuraih
sudah sangat dekat dengan kematiannya. Ghudhaif berkata, "Wahai Abul
Hajjaj, sekiranya engkau mendatangi kami setelah kematianmu lalu engkau
kabarkan kepada kami tentang apa yang engkau lihat maka lakukanlah." Ia
berkata, "Adapun ungkapan tersebut boleh di kalangan ahli fiqih."
Kemudian untuk beberapa waktu
yang lama Ghudhaif tidak bermimpi tentangnya. Lalu di saat ia bermimpi Syuraih,
ia bertanya, "Bukankah engkau sudah meninggal?" Syuraih menjawab,
"Betul." Ia bertanya lagi, "Lalu bagaimana keadaanmu?" Ia
menjawab, "Tuhan kami telah mengampuni dosa-dosa kami, dan tidaklah ada
yang binasa dari kami kecuali Al Ahraadh." Ia bertanya, "Siapakah Al
Ahraadh?" Ia berkata, "Mereka adalah orang-orang yang jari-jari
menunjuk kepadanya dalam suatu hal (maksudnya: orang yang tidak dapat
diharapkan kebaikannya)."
Kemudian kisah Maslamah bin
Abdul Malik saat melihat Umar bin Abdul Aziz dalam mimpinya setelah
kematiannya. Ia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, andai aku bisa tahu,
sampai dimana keadaanmu setelah kematianmu?" Umar menjawab, "Wahai
Maslamah, inilah waktu luangku. Tidaklah aku dapat beristirahat kecuali saat
ini. Maslamah bertanya, "Lalu ada dimana engkau sekarang wahai Amirul
Mukminin?" ia berkata, "Aku bersama para a-immatul huda
(pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk) di surga 'Adn."
Abdullah bin Umar bin Abdul
Aziz berkata,
"Aku melihat ayahku dalam
mimpi setelah kematiannya seakan ia ada di suatu kebun, lalu ia memberiku
beberapa buah apel. Aku mengartikan buah-buah apel itu adalah anak. Aku
bertanya kepadanya, "Amalan apakah yang engkau dapati sebagai yang paling
utama?" Maka ayah menjawab, "Istighfar, wahai anakku."
Malik bin Dinar berkata,
"Aku melihat Muslim bin
Yasar setelah kematiannya, lalu aku mengucapkan salam kepadanya tapi ia tidak
membalas salamku. Aku bertanya kepadanya, "Apa yang menghalangimu dari
membalas salamku?" Ia berkata, " Aku sudah menjadi mayit maka
bagaimana mungkin aku membalas salammu?" Aku berkata padanya, "Apa
yang engkau dapati setelah kematianmu?" Ia berkata, "Demi Allah aku
dapati hal-hal yang menakutkan dan gempa yang hebat." Maslamah bertanya,
"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" Ia berkata, "Apakah engkau
tahu apa yang dilakukan oleh Zat Yang Maha Mulia? Dia menerima
kebaikan-kebaikan kami, memaafkan keburukan-keburukan kami, dan menjamin kami
dari mendapatkan hukuman."
Tiba-tiba bergemuruhlah dada Malik bin Dinar sebab menahan tangisnya. Kemudian ia pingsan. Selanjutnya beliau
sakit beberapa hari setelahnya kemudian meninggal dunia.
Sudahkah kita risau atas diri
kita....?
Fairuz Ahmad.
Bintara, 29 Muharram 1435 H./3 Desember 2013 M.