Suatu hari ada seorang pemuda pulang dari kota Yogyakarta.
Berangkat dari stasiun Lempunyangan dengan kereta. Ia akan turun di stasiun
Pasar Senen Jakarta. Saat ia naik kereta api siang itu, waktu menunjukkan pukul
dua, berarti saat waktu ashar tiba nanti, seluruh penumpang berada di atas
kereta, dan bukan di atas kapal api. Ah, itu sih sudah pasti.
Sang pemuda telah duduk di bangku kereta. Dan di
hadapannya duduklah seorang nenek tua. Mereka berhadap-hadapan. Seperti
dua orang sejoli yang sedang malam mingguan di sebuah restoran. Tapi mereka
bukanlah dua sejoli. Bukan pula sedang malam mingguan. Sebab sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa waktu menunjukkan pukul dua siang. Ah, masa sih lupa.
Kereta telah berangkat. Dari kota Gudeg menuju
kota favoritnya pengusaha Warteg. Tidak terasa kereta telah berjalan kurang
lebih satu jam. Sungguh berbeda dengan kendaraan semi bus warna orange
di Ibu kota. Satu menit berjalan sangat terasa, terasa
pegalnya. Dan masuklah waktu shalat ashar. Tiba-tiba, sang nenek mengeluarkan
alat kosmetik. Bedak. Wow..... nenek tersebut mau dandan. Kok ganjen
banget sih nek. Begitulah pikir sang pemuda. Rupanya sang nenek tak mau kalah
dengan artis-artis Korea,
baik yang wanitanya maupun yang banci-bancinya. Bahkan konon para pemain sepak bolanya. Tapi itu kata media, sebab turun
hujanlah penyebabnya. Ah, media bisa aja, meski benar nampaknya.
Ternyata sang pemuda salah duga! Sebab sang nenek
bukan sedang mau berdandan. Apalagi karena adanya seorang pemuda yang di
hadapan. Tidak! Sekali-kali tidak! Ternyata beliau mau bertayammum! Ah, nenek,
maaf ya nek sudah berbaik sangka....
Subhanallah, luar biasa nenek itu. Beliau tahu
perjalanannya akan memasuki waktu shalat ashar hingga membekali dirinya dengan
bedak untuk bertayammum sebagai ganti dari wudhunya.
Mungkin beliau tak bisa mengambil air wudhu di
dalam kereta, sebab mana ada kereta yang dilengkapi tempat wudhu. Darurat,
boleh.
Atau mungkin beliau tak mau berwudhu di toilet
kereta, sebab mana ada kereta yang diam tak bergoyang-goyang saat ia berjalan,
dan itu membahayakan. Darurat, boleh.
Atau mungkin saat di toilet beliau tak yakin
sepenuhnya terbebas dari cipratan najis, sebab mana ada kereta yang airnya
melimpah untuk mengguyur dan menyiram lantainya sebagaimana kamar mandi di
rumah. Darurat, boleh.
Atau mungkin saja beliau memang sama sekali tak
sanggup menuju tempat mengambil air wudhu. Ini pun darurat, boleh.
Atau mungkin beliau sudah tahu bahwa kereta
tersebut tidak ada airnya. Ah, kalau yang ini sih pasti darurat tingkat satu,
boleh.
Sang pemuda akhirnya berpikir, jangan-jangan sang
nenek ini sudah faham betul tentang sebab-sebab dibolehkannya tayammum. Mungkin
beliau telah mengerti sebab-sebab tayammum yaitu,
Air yang tidak ada. Baik secara hakikat maupun
hukumnya.
Bisa jadi beliau hanya
membawa air hanya cukup buat minumnya saja. Dan kelihatannya memang begitu,
sebab beliau tak terlihat menggotong ABG alias aqua botol gede.
Bisa jadi beliau takut
meninggalkan barang bawaannya kalau ia pergi berwudhu, dan itu pun sebab yang
diperbolehkan. Tapi nek, kalau yang ini dijamin deh, pemuda di hadapan nenek itu
pemuda shaleh bin baik-baik lho.
Atau bisa jadi karena beliau merasa sakit, atau
punya penyakit yang tidak bisa terkena air.
Atau airnya terlalu panas atau terlalu dingin
sehingga membahayakan tubuh.
Atau kerannya mampet dan
rusak sehingga air tak bisa mengalir.
Atau bisa jadi beliau takut
bila diakhirkan shalat asharnya maka waktu maghrib akan segera tiba. Berarti hebat si nenek ini, apa beliau
tahu juga bahwa itu adalah pendapat ulama Syafi'iyyah seperti dalam kitab
Mughnil Muhtaj 1/88 dan Hanabilah dalam kitab Kasysyaaful Qina' 1/206, atau
Malikiyah dalam pendapatnya yang kuat seperti dalam kitab As Syarhus Shaghir
1/182-184 dan As Syarhul Kabir 1/150, atau pendapat ulama Hanafiyah meski
dengan syarat hanya untuk shalat jenazah, ied, gerhana, sunnah rawatib, dan
sunnah fajar seperti dalam kitab Ad Durrul Mukhtar 1/223-227, Maraqil Falah
hal.19, Bada-i'us Shana-i' 1/51 dan Fathul Qadir 1/96? Ah, luar biasa dirimu
nek.
Hanya saja sang nenek
sebenarnya tidak boleh bertayammum menggunakan bedak. Sebab bedak tidak
terhitung sebagai:
Sha'id, seperti dalam ayat tentang
tayammum,
فتيمموا
صعيدا طيبا
"maka
bertayammumlah dengan sha'id yang baik (bersih)" [Al Maidah ayat 6]
Atau sebagai Al Ardhu,
seperti dalam hadits,
وجعلت
لي الأرض مسجدا وطهورا
"dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid
dan alat bersuci"
Atau sebagai At Turbah,
seperti dalam sebagian riwayat hadits yang lain,
وجعلت
لي الأرض مسجدا وجعلت لي تربتها طهورا
"dan dijadikan untukku
bumi sebagai masjid dan dijadikan untukku tanahnya sebagai alat bersuci"
Atau sebagai At Turaab,
seperti dalam hadits,
التراب
طهور المسلم ولو إلي عشر حجج ما لم يجد الماء أو يحدث
"Tanah adalah alat
bersucinya orang Islam meski sampai sepuluh tahun selama ia tidak mendapati air
atau berhadats"
Memang para ulama berselisih
pendapat dalam mengartikan "sha'id" dalam ayat tayammum, apakah ia
mutlak bermakna bumi ataukah ia muqaayyad (terbatas) pada tanah? Bila ia mutlak
maka seluruh apa yang nampak di permukaan bumi maka boleh dipakai tayammum,
sebab kata "sha'id" bila dikembalikan kepada arti secara bahasa
adalah, apa saja yang muncul dan nampak di permukaan bumi, sehingga boleh
bertayammum dengan batu, kerikil, pasir, debu bahkan batu es seperti di
kampungnya suku eskimo sana meski tak semua ulama yang memutlakkan makna sha'id
sepakat akan hal ini, yaitu tayammum dengan batu es.
Tapi bila ia muqayyad maka tayammum
hanya terbatas pada tanah saja, dan tidak termasuk yang lain walaupun debu,
karena debu bukanlah tanah. Perbedaan ini bisa diketemukan dalam kitab
Bidayatul Mujtahid pada Kitabut Tayammum, Al Babul Khamis dengan judul Fima
Tushna'u bihi Hadzihit Thaharah.
Meski begitu para ulama
sepakat bahwa bertayammum tidak boleh dengan sesuatu yang telah dibuat dan
bentuknya telah berubah seperti semen sebagai perubahan dari batu yang dibakar,
atau bedak sebagai perubahan dari bahan asli bedak. Kira-kira apa ya bahan
bedak? Mudah-mudahan nanti kalau pertandingan Timnas Indonesia
versus Korea
ada lagi, para pemainnya bisa dicegat dulu lalu ditanya apa bahan bedak kalian,
kok bisa luntur ya? Ah, itu sih
mudah-mudahan bila Timnas masih bisa tampil oke.
Dan penjelasan tentang perbedaan ulama dalam
masalah "sha'id" juga ada dalam kitab Al Fiqhul Islami karangan Prof.
Dr. Wahbah Az Zuhailiy.
Yang pasti, tidak ada satu pun dari ulama Islam yang
membolehkan bertayammum dengan debu atau tanah yang menempel pada (maaf)
kemaluan wanita sebagaimana cara bertayammumnya pemeluk agama Syi'ah sesuai
dengan pendapat Al Hilli yang menyatakan dalam kitabnya Nihaayatul Ahkaam Fii
Ma'rifatil Ahkaam Juz 1 halaman 208 seperti berikut :
ولو قلنا
أن مس الفرج حدث , لوضرب يده على فرج إمرأة عليه تراب صح التيمم
"meski kita katakan bahwasanya menyentuh farji (kemaluan)
adalah hadats (membatalkan Wudhu’), tapi bila lelaki itu menepukkan tangannya pada kemaluan seorang wanita yang
ada tanahnya maka tayammumnya sah"
Duaaaarrrrr...... pemuda itu
akhirnya tersadar dari pengembaraan pikirannya tentang para ulama dalam
membahas masalah tayammum. Seakan ia terbangun dari tidur gara-gara ingat
pendapat Al Hilli yang aneh bin ajaib itu.
Akhirnya sang pemuda tiba di stasiun Pasar Senen
dengan selamat. Tapi, kemana gerangan sang nenek? Wallahu A'lam, sepertinya
beliau turun duluan di stasiun sebelumnya. Yang pasti beliau yang sudah tua masih
sangat perhatian dengan perkara agamanya. Terutama urusan shalat agar jangan sampai
terlambat. Apalagi sengaja telat. Sebagaimana para pemuda dan pemudi yang masih
diberikan nikmat kuat. Tapi suka berlambat-lambat dan sengaja bertelat-telat.
Fairuz Ahmad, tukang cerita sang pemuda dalam
kereta itu, dan dialah pemudanya.
Panas di Alaska, 24 Muharram 1435 H./28 Nopember
2013 M.