Topeng, biasanya berupa benda kecil seukuran
kepala orang. Dan biasanya juga berbentuk muka manusia atau binatang. Kadang ia
dicipta dengan bentuk muka yang seram, meski banyak juga bentuknya yang enak
dipandang.
Ia
dipakai untuk menutup muka asli sang pemakai, sebagaimana ia dipakai untuk
ragam tujuan. Ada yang memakainya agar terpandang menawan. Ada juga yang
memakainya agar nampak derwaman. Lalu ada pula yang memakainya agar ditakuti
laksana preman.
Hampir
semua yang memakai topeng adalah manusia-manusia yang sangat membutuhkannya. Ia
butuh untuk diterima. Ia butuh untuk didengar. Ia butuh untuk dipandang. Sebab
itu ia memakai topeng. Karena dengan topenglah ia akan diterima, didengar dan
dipandang.
Dengan
makin menguatnya tekanan akan kebutuhan diterima, didengar dan dipandang pada
saat-saat ini, maka kebutuhan akan topeng pun semakin membesar. Dan yang pasti,
kebutuhan itu semakin komplek. Bahkan tak jarang ada orang menderita komplikasi
kebutuhan akan topeng. Tak cukup satu topeng bila ia ingin sekedar
didengar. Tak cukup satu topeng bila ia ingin sekedar diterima dan dipandang.
Sebab itu ia mengoleksi banyak topeng. Sehingga suatu saat ia bertampang seorang
pemberani. Di saat lain ia bertampang seorang dermawan. Sedang saat-saat lainnya ia bisa bertampang seorang
preman. Kadang pula ia bertampang laksana seorang ajengan.
Dan
di masa sekarang, topeng telah banyak mengalami perubahan bentuk dan tampang. Bahkan
sampai sebuah nama pun akan dipilih untuk bertampang. Lihatlah nama-nama
kendaraan, semua seakan berlomba memilih nama-nama binatang agar nampak gagah
dan sangar. Ada nama Panther meski sang sopir bukanlah seseram Panther. Ada
nama jaguar meski sang empunya tak segalak Jaguar. Lalu ada Tiger, Byson,
Kijang, Kuda dan lain sebagainya meski sekali lagi sang pemilik kendaraan
tersebut tidaklah seperti pemilik asli nama-nama itu.
Ada
pula topeng yang berbentuk rumah mewah dan istana megah dengan berbagai macam
tampangnya. Ada
tampang Mediteranian agar nampak Timur Tengahnya. Ada tampang Eropa agar nampak Belandanya,
atau Parisnya, atau Italianya, atau juga tampang Amerikanya.
Lalu
topeng lainnya adalah tempat dimana ia menyantap makanannya. Sebab
warung kecil sangat tak cocok dengan warna dan lambaian dasinya. Tak sesuai
dengan tampang mobilnya, apalagi dibandingkan dengan tongkrongan istana megahnya.
Namun yang tak kalah saingnya ada topeng
berbentuk sorban, peci, jubah lengkap dengan tasbihnya. Topeng-topeng ini menampakkan kesalehan
pemakainya. Kadang juga menampakkan kandungan ilmunya. Hingga banyaklah para
pengagumnya.
Saat
topeng-topeng tersebut dapat menghadirkan rasa diterima, didengar dan
dipandang, maka ada manusia-manusia yang segera berlomba-lomba untuk
memilikinya. Bila memungkinkan ia akan mengoleksi semuanya. Sebab ia memang
sangat membutuhkan banyak kesempatan untuk diterima, didengar dan dipandang
oleh manusia.
Betapa
tersiksanya jiwa manusia-manusia bertopeng itu. Ia tak sanggup bila hanya
menampakkan wajah aslinya. Sebab ia berpikir bahwa tampang serigala akan
diterima oleh komplotan serigala. Tampang singa akan diterima oleh kawanan
singa. Tampang musang akan diterima oleh gerombolan musang. Sebagaimana tampang
manis kelinci maka akan diterima oleh tampang-tampang manis kelinci lainnya.
Manusia-manusia
ini hanya hidup untuk memakai topeng. Hampir tiap saatnya ia memakai topeng.
Saat bicaranya, saat mendengarnya, saat makannya, saat berdiri dan berjalannya,
dan bahkan mungkin saat ia melaksanakan shalatnya, puasanya, zakat dan hajinya.
Sungguh
sangat tersiksa bila ada manusia yang selalu tampak topengnya. Padahal
sesungguhnya ia tak harus bertopeng seram agar disegani orang. Lihatlah cara
sederhana Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar kita diterima, didengar dan
dipandang orang saat beliau berkata yang artinya:
"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepadaku agar kalian semua saling bertawadhu' (merendahkan hati) sehingga tidak
ada orang yang berbangga diri atas orang lain, dan tidak ada orang yang menzalimi
orang lain" [HR. Muslim dari 'Iyadh bin Himar.]
Hadits
di atas mengajarkan kepada kita bahwa bukan keseraman dan kesangaran muka yang
membuat orang lain segan, namun cukup dengan kerendahan hatilah kita mampu
menawan hati orang.
Ia
pun tak perlu bertopeng agar nampak
seperti ulama yang ilmunya melimpah hingga berkesan wibawa dan orang lain menjadi
segan. Cukuplah ia takut kepada Allah Azza wa Jalla bila ia memang berilmu.
Sebab ciri ulama hanyalah rasa takut kepada Allah sebagaimana Dia firmankan dalam
Al-Qur'an yang artinya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah Ulama." [Fathir : 28.]
Dan cukuplah hanya Allah yang memberinya penghargaan
sebagai orang berilmu dengan mengangkat derajatnya. Tak perlu ia berharap ada
orang yang menghargai dan memberikan kekaguman padanya hingga naiklah
derajatnya di mata mereka. Sebab manusia-manusia tak akan mampu mengangkat
derajatnya.
"…niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat."[]Al-Mujadilah : 11.
Dan nasehat terakhir dari Rasulullah Tauladan
kita adalah, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak memandang topeng-topeng
manusia, sebab yang Dia nilai adalah kejujuran hati dan kesuciannya, maka lihatlah
cara beliau menasehati kita:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat
pada fisik-fisik kalian, tidak juga pada penampilan-penampilan kalian. Akan tetapi Dia melihat hati-hati
kalian" [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.]
Dan
kita pun tahu bahwa pada kenyataannya di dunia, ternyata hati itu berwarna
coklat dan berbau amis. Dan ini pun mengisyaratkan hal lain yaitu, untuk apa
kita bertopeng mewah dan bersorban bila ternyata asal kita adalah makhluk yang
hina dan berbau amis. Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, di tengah kepungan topeng-topeng. 4
Rajab 1434 H./ 14 Mei 2013 M.