"…Dan barang siapa yang menuntut ilmu tanpa bersungguh-sungguh,
maka ia akan mendapatkannya jika telah ada burung gagak berwarna putih…"
Saat Allah Subhanahu wa
Ta'ala memberi perintah maka perintah tersebut sudah ditakar oleh-NyA. Ia pasti
dapat dilakukan. Sebab tak mungkin Zat Yang Maha Mengetahui lantas tak tahu
kemampuan yang diperintah. Mustahil itu terjadi.
Maka lihatlah saat Zat
tersebut memberikan perintahnya kepada orang-orang yang diberikan pengetahuan
padanya, yaitu ulul abshaar agar ia mengambil pelajaran. Ia berfirman,
"fa'tabiruu yaa ulil
abshaar"
"Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang diberikan
pengetahuan."
Disinilah letak i'jaaz Alquran itu. Bahwa perintah mengambil pelajaran
hanya ditujukan kepada ulul abshaar. Maka ia mengandung maksud hanya
orang-orang yang diberikan pengetahuanlah yang mampu mengambil pelajaran.
Abshaar adalah bentuk jamak dari bashar yang artinya pandangan. Dan
pandangan yang dimaksud adalah bashiirah, ilmu yang menjadikan seseorang mampu
melakukan pandangan mendalam. Sedang pandangan mendalam diperlukan untuk meraih
puncak pahala. Olehnya, maka tak semua orang mampu melakukannya. Sebagai contoh
adalah, bila saat tertimpa musibah orang lantas bersabar, maka sikap tersebut
adalah sikap yang agak lumrah dan biasa. Namun saat ditimpa musibah justru ia
bersykur, maka tak akan sanggup melakukannya kecuali orang-orang yang disebut ulul
abshaar. Dalam pandangan mendalamnya, musibah yang menimpanya adalah sarana
penghapus dosa dan kesalahan, atau penebal keimanan, atau penghindar dari
perbuatan maksiat. Disinilah ia memandang bahwa musibah yang menimpanya adalah
kebaikan baginya hingga tak ada yang patut dilakukan kecuali mensyukurinya. Ia selalu mampu melihat pelajaran penting
pada setiap perkara.
Mampu melihat lebih mendalam inilah sikap tersulit yang tidak dapat
mencapainya kecuali bila Allah telah memberikan karunia rahmat kepadanya. Dan
Allah tidak akan memberikan rahmat tersebut tanpa adanya mujahadah atau usaha
sungguh-sungguh. Mujahadah yang harus dilakukan oleh seorang mukmin ada dua,
mujahadah fi thalabil ilmi dan mujahadah fi tathbiqil ilmi, yaitu
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh dalam
mempraktekkan ilmunya. Dua hal ini
sama sekali tidak dapat dipisahkan. Sebab siapa yang memiliki ilmu tanpa pernah
mengamalkan maka ia ibarat orang-orang bani Israel yang diibaratkan seperti
keledai yang menggendong kitab. Sedang orang yang mengamalkan sesuatu tanpa ada
dasar ilmunya maka ia akan tersesat sebagaimana gambaran orang-orang nashrani.
Orang yang telah diberikan
karunia bashiirah oleh Allah maka jiwanya selalu tenang. Tak akan silau dengan
gemerlap dunia. Tak akan silau dengan pesona wanita. Tak akan silau dengan godaan
kekuasaan dan jabatan. Sebagaimana ia juga tak akan tertipu dengan kemampuannya
beribadah kepada Allah yang seakan melebihi ibadahnya orang-orang awam.
Bila ia mendapat ilmu tentang
ikhlas maka ia akan berusaha untuk ikhlas.
Bila ia mendapat ilmu tentang
sabar maka ia akan berusaha untuk sabar.
Bila ia mendapat ilmu tentang
tawakal maka ia akan berusaha untuk tawakal.
Bila ia mendapat ilmu tentang
tawadhu maka ia akan berusaha untuk tawadhu.
Bila ia mendapat ilmu tentang
wara' maka ia akan berusaha untuk wara'. Dan begitu seterusnya.
Dan semua ilmu-ilmu itu
haruslah dituntut dan dimiliki. Sebab bila kita tak pernah menuntut ilmu maka
tak akan mungkin kita mendapatkannya secara tiba-tiba. Dan benarlah apa yang
dikatakan oleh seorang penyair,
"wa man thalabal
'uluuma bighairi kaddin....sayudrikuhaa mataa syaabal ghuraabu"
Dan barang siapa yang
menuntut ilmu tanpa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya jika telah
ada burung gagak berwarna putih.
Dan jika sepanjang usia kita
tanpa pernah memiliki ilmu, maka tak ada lagi jalan untuk mendapatkan karunia
bashiirah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan kita tak akan pernah mampu
melihat segala sesuatu dengan pandangan mendalam yang dapat mengantarkan kita
meraih puncak pahala. Dan yang pasti kita bukanlah orang yang masuk dalam perintah
Allah agar mengambil pelajaran dari setiap peristiwa, karena tak mungkin kita
mampu mengambilnya sedang kita tak memilki ilmunya. Wallahu A'lam.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 15 Muharram 1435 H./19
Nopember 2013 M.