Kamis, 12 Desember 2013

Kisah Amplop

Amplop. Benda kecil dari kertas. Berbentuk lipatan berpenutup. Memiliki fungsi yang tak banyak. Sekedar sampul surat untuk ditulis padanya si pengirim dan juga si penerima.

Tapi itu dulu. Dulu sekali. Fungsi amplop hanyalah sebagai sampul surat. Sebab surat seringnya bersifat khusus. Pengirimnya khusus dan penerimanya juga khusus. Karena itulah ia sangat pribadi. Dan saat ia bersifat pribadi maka tak boleh semua orang membacanya. Sebab surat untuk semua orang biasanya disebut surat terbuka. Dan surat terbuka tak lagi membutuhkan sampul berupa amplop.

Kini. Zaman telah berubah. Amplop tak lagi dipandang sebagai amplop.
Tak lagi sebagai sampul surat. Ia kini bisa diisi dengan kertas-kertas berharga, meski surat juga berharga. Tapi berharganya surat bila ia berupa surat cinta. Surat tentang rindu hati. Surat perihal kabar akan jiwa sang kekasih lestari. Sedang berharganya kertas-kertas berharga adalah saat ia berupa kertas bercetak angka-angka. Sehelai amplop bisa untuk selembar kertas bercetak angka. Bisa pula untuk dua lembarnya. Kadang pula berisi tiga, empat, lima dan seterusnya. Namun yang pasti, sampai seratus lembar pun ternyata bisa.

Maka sekarang, setelah amplop bisa bertambah fungsi, yaitu fungsi memuat lembaran-lembaran kertas bercetak angka, ia pun terpandang berharga laksana isi dan muatannya. Ia adalah isinya. Dan isinya adalah ia. Seakan-akan seperti itu. Namun tidaklah seperti itu. Tapi memang seakan seperti itu. Sebuah padu padan keserasian berupa manunggaling kawulo isi. Menyatu, tapi hanya dalam maksudnya. Sebab tak mungkin amplop menjadi berharga bila nyatanya ia hampa.

Sekarang. Bila tersebut kata amplop, maka yang termaksud adalah isi dan muatannya yang berupa lembaran bercetak angka. Sebab bila sekedar tulisan saja maka ia adalah surat. Dan karena yang termaksud adalah lembar bercetak angka maka amplop menjadi begitu berharga. Ia dicari dan diharap. Dicita dan diangan. Dan makin dicinta saat bertambah tebal. Begitulah sosok amplop sekarang. Kadang ketebalannya yang terlalu diangan menyebabkan muka pengangannya juga menebal.

Bila ketebalannya menjadi tolok ukur penghargaan, maka tak jarang para pencarinya pun bisa mendadak buta, meski ada amplop tipis telah nampak di depan mata. Ia justru punya kemampuan melihat jarak jauh, sebab yang jauh sangatlah nampak jelas karena ketebalannya. Bahkan dilihat dengan satu mata saja sudah cukup jelas. Sebab ia tebal. Oleh karena itulah ia lebih mengutamakan yang tebal-tebal, meski di hadapannya ada ribuan amplop tipis berserak banyak. Ia tidak mengambil yang tipis-tipis. Sebab kelas tebal sudah bukan level kelas tipis. Cukuplah yang tipis-tipis itu di-itsar-kan saja kepada yang masih berkelas tipis. Sedekah, begitulah mereka yang kelas tebal menyebutnya.

Karena ketebalannya jugalah ia disebut lebih berkelas. Kelas konser kata mereka yang tebal-tebal. Adapun yang tipis maka ia juga berkelas, namun lebih tepatnya kelas ngamen. Sebutan itu pun diriwayatkan oleh mereka yang tebal-tebal. Riwayat ini memang tak diakui oleh sebagian mereka, namun karena banyaknya jalur maka jalur-jalur itu menjadi saksi dan penguat hingga akhirnya riwayat tersebut menjadi kuat. Begitulah kalau dikaji dengan metode ilmu musthalahul amplop.

Akhirnya, riwayat shahih ini telah memahamkan kepada kita semua, bahwa para pecinta amplop tebal itu benar adanya. Namun tidak ada yang salah sebenarnya bila memang amplop tebal itu sesuai dengan yang sebenarnya. Hanya saja kelas-kelas tebal itu sangatlah sedikit. Pesertanya pun kadang sedikit. Sebab tak mungkin setiap hari dan setiap saat ada suguhan konser di setiap tempat. Yang ada adalah berserakannya kelas-kelas tipis. Kelas para pengamen. Sayangnya para pecinta pengamen itu hampir tak ada. Sebab para pengamen seringnya cuma disebut pengamen, belum sekelas pekonser. Padahal sejarah seringkali mencatat bahwa para pekonser banyak juga yang meniti karir dari kelas pengamen.

Dan yang seringkali menipu para tertipu adalah, sebenarnya nyanyian pekonser seringkali sama dengan nyanyian pengamen, nyatanya.

Bila ternyata nyanyiannya sama, maka selayaknya kita berharap dan berdo'a agar para pekonser itu berkenan kembali untuk mengamen, sebab bagaimana pun juga para pekonser itu telah punya nama. Dan tidaklah masalah bila kemudian nama itu untuk menarik massa, sebab massa memang banyaknya adalah para pengagum nama-nama. Tapi sekali lagi itu tidaklah masalah, sebab siapa tahu  setelah ia mengagumi sebuah nama kemudian Allah anugerahkan padanya cinta kepada nyanyian orang bernama. Dan selanjutnya mereka tak lagi peduli pada para pemilik nama. Siapa pun mereka, bernama atau pun tidak bernama. Sebab mereka hanya ingin untaian kata-katanya saja. Tak perlu nama.

Tapi siapakah pekonser yang telah bernama itu yang mau kembali menjadi pengamen? Mungkin kita harus bertanya pada amplop.

Fairuz Ahmad.

Kowanbisata Pulo Gadung - Cibinong, 13 Dzulhijjah 1434 H./18 Oktober 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar