Amplop.
Benda kecil dari kertas. Berbentuk lipatan berpenutup. Memiliki fungsi yang tak
banyak. Sekedar sampul surat untuk
ditulis padanya si pengirim dan juga si penerima.
Tapi itu dulu. Dulu sekali. Fungsi
amplop hanyalah sebagai sampul surat.
Sebab surat
seringnya bersifat khusus. Pengirimnya khusus dan penerimanya juga khusus.
Karena itulah ia sangat pribadi. Dan saat ia bersifat pribadi maka tak boleh
semua orang membacanya. Sebab surat untuk semua
orang biasanya disebut surat
terbuka. Dan surat
terbuka tak lagi membutuhkan sampul berupa amplop.
Kini.
Zaman telah berubah. Amplop tak lagi dipandang sebagai amplop.
Tak lagi sebagai
sampul surat.
Ia kini bisa diisi dengan kertas-kertas berharga, meski surat juga berharga. Tapi berharganya surat bila ia berupa surat
cinta. Surat
tentang rindu hati. Surat
perihal kabar akan jiwa sang kekasih lestari. Sedang berharganya kertas-kertas
berharga adalah saat ia berupa kertas bercetak angka-angka. Sehelai amplop bisa
untuk selembar kertas bercetak angka. Bisa pula untuk dua lembarnya. Kadang pula berisi tiga, empat, lima dan seterusnya.
Namun yang pasti, sampai seratus lembar pun ternyata bisa.
Maka
sekarang, setelah amplop bisa bertambah fungsi, yaitu fungsi memuat
lembaran-lembaran kertas bercetak angka, ia pun terpandang berharga laksana isi dan muatannya. Ia adalah isinya. Dan
isinya adalah ia. Seakan-akan seperti itu. Namun tidaklah seperti itu. Tapi
memang seakan seperti itu. Sebuah padu padan keserasian berupa manunggaling
kawulo isi. Menyatu, tapi hanya dalam maksudnya. Sebab tak mungkin amplop
menjadi berharga bila nyatanya ia hampa.
Sekarang.
Bila tersebut kata amplop, maka yang termaksud adalah isi dan muatannya yang
berupa lembaran bercetak angka. Sebab bila sekedar tulisan saja maka ia adalah surat. Dan karena yang
termaksud adalah lembar bercetak angka maka amplop menjadi begitu berharga. Ia
dicari dan diharap. Dicita dan diangan. Dan makin dicinta saat bertambah tebal.
Begitulah sosok amplop sekarang. Kadang ketebalannya yang terlalu diangan
menyebabkan muka pengangannya juga menebal.
Bila
ketebalannya menjadi tolok ukur penghargaan, maka tak jarang para pencarinya
pun bisa mendadak buta, meski ada amplop tipis telah nampak di depan mata. Ia
justru punya kemampuan melihat jarak jauh, sebab yang jauh sangatlah nampak
jelas karena ketebalannya. Bahkan
dilihat dengan satu mata saja sudah cukup jelas. Sebab ia tebal. Oleh karena
itulah ia lebih mengutamakan yang tebal-tebal, meski di hadapannya ada ribuan
amplop tipis berserak banyak. Ia tidak mengambil yang tipis-tipis. Sebab
kelas tebal sudah bukan level kelas tipis. Cukuplah yang tipis-tipis itu
di-itsar-kan saja kepada yang masih berkelas tipis. Sedekah, begitulah mereka
yang kelas tebal menyebutnya.
Karena
ketebalannya jugalah ia disebut lebih berkelas. Kelas konser kata mereka yang tebal-tebal. Adapun yang tipis maka ia juga
berkelas, namun lebih tepatnya kelas ngamen. Sebutan itu pun diriwayatkan oleh
mereka yang tebal-tebal. Riwayat ini memang tak diakui oleh sebagian mereka,
namun karena banyaknya jalur maka jalur-jalur itu menjadi saksi dan penguat
hingga akhirnya riwayat tersebut menjadi kuat. Begitulah kalau dikaji dengan
metode ilmu musthalahul amplop.
Akhirnya, riwayat shahih ini telah
memahamkan kepada kita semua, bahwa para pecinta amplop tebal itu benar adanya.
Namun tidak ada yang salah sebenarnya bila memang amplop tebal itu sesuai
dengan yang sebenarnya. Hanya saja kelas-kelas tebal itu sangatlah sedikit.
Pesertanya pun kadang sedikit. Sebab tak mungkin setiap hari dan setiap saat
ada suguhan konser di setiap tempat. Yang ada adalah berserakannya kelas-kelas
tipis. Kelas para pengamen. Sayangnya para pecinta pengamen itu hampir
tak ada. Sebab para pengamen seringnya cuma disebut pengamen, belum sekelas
pekonser. Padahal sejarah seringkali mencatat bahwa para pekonser banyak juga
yang meniti karir dari kelas pengamen.
Dan
yang seringkali menipu para tertipu adalah, sebenarnya nyanyian pekonser
seringkali sama dengan nyanyian pengamen, nyatanya.
Bila
ternyata nyanyiannya sama, maka selayaknya kita berharap dan berdo'a agar para
pekonser itu berkenan kembali untuk mengamen, sebab bagaimana pun juga para
pekonser itu telah punya nama. Dan tidaklah masalah bila kemudian nama itu
untuk menarik massa, sebab massa memang banyaknya adalah para pengagum
nama-nama. Tapi sekali lagi itu tidaklah masalah, sebab siapa tahu setelah ia mengagumi sebuah nama kemudian
Allah anugerahkan padanya cinta kepada nyanyian orang bernama. Dan selanjutnya mereka tak lagi peduli pada para
pemilik nama. Siapa pun mereka, bernama atau pun tidak bernama. Sebab mereka hanya
ingin untaian kata-katanya saja. Tak perlu nama.
Tapi siapakah pekonser yang telah bernama
itu yang mau kembali menjadi pengamen? Mungkin kita harus bertanya pada amplop.
Fairuz Ahmad.