"Ah, saya sudah malas kumpul-kumpul sama mereka. Lebih baik
saya di luar saja sekarang. Shalat pun saya sudah jarang di masjid itu."
Begitulah tetangga saya mengawali
pembicaraannya saat kami bertemu di depan tokonya. Saya pun lantas bertanya:
"Memang ada apa bapak dengan mereka
?"
"Saya kurang sreg saja, dia itu kan
sekarang ketua DKM, masa orang seperti itu jadi ketua DKM?, dulu waktu nikahan
anaknya masih pakai acara dangdutan. Apalagi, dia itu pernah minum juga, bahkan
saat acara syukuran 17 Agustus dia ikut joget dan mabuk juga."
Tampaknya bapak ini bersemangat sekali
menjelaskan ketidaksukaannya terhadap sang ketua DKM.
Padahal setahu saya,
ketua DKM ini sekarang sudah berubah, bahkan untuk ukuran jama'ah-jama'ah
masjid lainnya dia masih lebih baik. Shalat lima waktu hampir selalu ditunaikannya di masjid,
rawatibnya pun lengkap. Saya pun berkesimpulan, sepertinya bukan juga karena
beliau ketua DKM sehingga beliau rajin datang ke masjid. Sampai di sini, saya
merasa ada yang mengganjal di hati, bapak yang ngobrol dengan saya itu tak
serajin ketua DKM untuk urusan shalat lima
waktu di masjid. Bahkan masa lalu beliau sebelum menjadi ketua DKM, sama sekali
sudah tidak beliau kerjakan.
"Bukannya beliau sekarang sudah bagus
pak? Apalagi situasi masjid juga sekarang jauh lebih kondusif dari pada
beberapa tahun yang lalu. Soal qunut shubuh ribut, soal siapa yang berhak jadi
imam ribut, bahkan soal siapa yang boleh mengadakan pengajian di masjid pun
ribut." Imbuh saya untuk sedikit mengerem bapak itu.
"Tapi setidaknya dia itu kan orang
berpendidikan, sarjana dan juga seorang guru sekolah. Ngurus masjid itu jangan
setengah-setengah, bahkan kadang plin-plan. Sama orang ini menurut, sama orang
itu menurut, kita susah jadinya, dia itu sikapnya a apa b? kan buat kepentingan jama'ah masjid tidak
bisa begitu. Harus jelas !" Tukas tetangga saya itu.
Menurut saya, sikap ketua DKM itu terkadang
saya rasakan begitu. Namun yang pasti bukan tanpa alasan beliau seperti itu. Di
masjid itu ada jama'ah dari Muhammadiyah, ada dari NU, ada juga yang tidak
pernah menjelaskan dia dari mana, sebagaimana ada juga yang sikapnya mirip
jama'ah tertentu tapi lisannya tak pernah kasih tahu. Bermacam-macam golongan.
Maka dari itu sang ketua DKM, karena alasan mengakomodir aspirasi jama'ah yang
berbeda-beda itulah sehingga kesan yang kadang muncul adalah sikap yang tak
jelas posisinya, meski kita sebagai jama'ah masjid sama-sama tahu, bahwa
sikapnya yang seperti hanyalah pada perkara-perkara yang memang pintu ijtihad
diperbolehkan untuk dibuka.
Cerita seorang kawan pun selesai sampai di
sini, meski pikiran masih terbang kesana kemari.
Walhasil, pembicaraan tentang masa lalu
kadangkala memang mengasyikkan. Bila ia masa lalu yang indah maka ia laksana
pemandangan hutan yang belum terjamah oleh tangan-tangan. Masih asli dan penuh
pesona, meski ia bukanlah sebuah taman. Keaslian itulah yang senantiasa menggerakkan
setiap jiwa-jiwa yang haus akan keindahan, lalu ia bergegas menapak menelusur,
ingin lagi kembali kepada hutan, meski ia sekarang telah merubahnya menjadi
sebuah taman. Namun bila masa lalu tidaklah menawan, maka ia ibarat bangkai.
Semua membencinya karena selalu mampu merusak setiap suasana nyaman. Kadang tak
perlu melihatnya, namun hidung selalu mampu mencium aromanya. Setiap saat.
Ya, masa lalu memang ada yang layak untuk
dikenang, namun tak sedikit pula yang layak untuk dibuang. Saat ia perlu untuk
dikenang, maka itu disebabkan ia mampu melecutkan kembali semangat untuk tidak
melupakan keaslian bentuk hutan, meski kini telah berubah menjadi sebuah taman.
Dan saat ia perlu untuk di buang, itu pun karena ia sudah tak layak untuk
dijadikan kenangan.
Apa jadinya bila setiap saat seseorang selalu
melihat ke belakang. Ia bukanlah makhluk bernama undur-undur yang selalu
berjalan mundur. Tapi ia adalah makhluk Allah yang diciptakan untuk beribadah,
dan beribadah tidak mengenal jalan mundur. Meski suatu saat ia perlu mundur, tapi tidak pada setiap saatnya. Shalat
tidak mengenal mundur, puasa tidak mengenal mundur, bahkan jihad pun tak
mengenal mundur. Itulah yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an saat Allah
shallallahu alaihi wa sallam berfirman:
"Maka berlomba-lombalah kalian dalam
kebaikan."[1]
Tidak ada perlombaan yang harus mundur. Karena mundur berarti kembali ke masa
tanpa perlombaan. Sedangkan pahlawan surga haruslah seseorang yang ikut
dalam perlombaan. Bukankah itu yang dikatakan oleh Allah:
"Dialah Zat Yang Menciptakan kematian
dan kehidupan untuk menguji kalian semua, manakah yang paling baik
amalnya."[2]
Tidak mungkin seseorang menjadi juara dan meraih
amalan terbaik tanpa ikut perlombaan.
Tapi yang pasti, pahlawan surga juga perlu
sesekali melihat kebelakang. Tapi ia tak perlu mundur. Cukup mengurangi
kecepatan, atau berhenti sejenak untuk evaluasi dan selanjutnya ia bergerak maju
kembali.
Ibarat pengendara handal sebuah mobil dalam lomba
persahabatan, maka ia harus pastikan bahwa kaca depan mobilnya harus besar dan
proporsional, sebagaimana kaca spionnya cukup dengan ukuran kecil saja. Ia tak
perlu kaca spion berukuran besar untuk melihat peserta lainnya, apalagi bila
ukurannya lebih besar dari kaca depan. Ia hanya sesekali melihat ke belakang
melalui spion kecil sekiranya ada hal-hal penting yang harus dilakukan. Oleh
karena itu, apa jadinya saat seorang pengendara selalu melihat ke belakang,
apalagi ia memasang kaca spion yang sangat besar, agar selalu dapat melihat apa
yang dilakukan oleh peserta lainnya. Maka jadilah ia seorang pengendara yang
sibuk dengan urusan belakang.
Selain sibuk urusan belakang, ada hal lain
yang kadang kala menyita waktu, tenaga dan pikiran seorang pengendara dalam
perlombaan. Saat ada beberapa peserta lain yang berpacu dengan kecepatan yang
sama, atau malah mampu melewatinya, ia mulai merasa goyah, selanjutnya kadang
ia mulai sibuk berusaha membuat mereka menyingkir, atau bahkan tak bisa
melanjutkan lomba. Dan pada akhirnya, ia adalah seorang pengendara yang super
sibuk, namun pada urusan yang tak perlu.
Alangkah rugi seseorang yang selalu terpaku
pada masa lalu. Ia akan susah menjadikan dirinya maju, apalagi mampu untuk
berpacu. Bukankah berdosa saat kita mengungkit masa lalu Umar bin Khaththab
radhiyallahu anhu saat beliau masih jahiliyah?
Tentunya, kita memang tak sekelas Umar bin
Khaththab dalam hal kebaikan, namun juga tak layak menutup mata dari sedikit
kebaikan yang telah kita lakukan. Coba
kita simak ungkapan luar biasa dalam Al-Qur'an saat Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sungguh kebaikan-kebaikan itu akan
senantiasa menghapus kesalahan-kesalahan."[3]
Dan bahkan pada puncaknya, seorang mukmin
pendosa pun akan Allah masukkan ke dalam surga-NYA melalui delapan pintu yang
ia suka, saat ia berperang fi sabilillah lalu terbunuh karenanya, itulah yang
diungkapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:
"Sesungguhnya pedang itu penghapus
dosa-dosa."[4].
Akhirnya, tidak ada alasan bagi kita untuk mengusik
kembali masa lalu orang lain yang tak indah. Sebagaimana kita juga tak perlu
memasang cermin besar untuk menyibukkan diri dan menghabiskan waktu demi
melihat ke belakang.
Merubah hutan menjadi sebuah taman, lalu
merawatnya dari kerusakan jauh lebih bermanfaat dari pada merubah taman agar ia
kembali menjadi hutan.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 18 Rabu'il Awwal 1434 / 30 Januari
2013
Catatan :
[1] Al-Baqarah : 148.
[2] Al-Mulk : 2.
[3] Hud : 114.
[4] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnadnya (17204), Imam Ad-Darimy dalam Sunannya (2411), dan Imam At-Thabrani
dalam al-Mu'jam (310) semuanya melalui jalur Shafwan bin Amr dari Abul Mutsanna
Al-Amluki dari sahabat Utbah bin Abd As-Sulamy.
Imam Al-Haitsami dalam Majma' mengatakan bahwa
perawi dalam riwayat Imam Ahmad semuanya adalah perawi yang dipakai dalam
As-Shahih, kecuali Abul Mutsanna, akan tetapi ia perawi tsiqah.
Dalam tahqiqnya di kitab Zadul ma'ad,
Al-Arna'uth mengatakan bahwa hadits riwayat Imam Ahmad dan Ad-Darimy statusnya
hasan dan dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Zadul Ma'ad 3/94, Mu'assasah
Ar-Risalah-Beirut, cet. 1410 H-1990 M.