Mana yang lebih berat, shalat malam ataukah
berlapang dada?
Mana yang lebih sulit, bersedekah ataukah
berlapang dada?
Mana yang lebih susah, berpuasa ataukah berlapang
dada?
Mana yang lebih terasa payah, berhaji ataukah
berlapang dada?
Mana yang lebih repot,
membaca Alquran ataukah berlapang dada?
Jelaslah bagi kita bahwa
ibadah-ibadah di atas adalah ibadah yang sangat berat, sulit, susah dan juga
memayahkan. Namun ia tak seperti shalat fardhu yang sama sekali tidak boleh
ditinggalkan kecuali karena alasan hilang kesadaran semisal pingsan, gila dan
ketiduran, meski pada saat sadarnya ia harus menggantinya. Yang pasti shalat
fardhu adalah ibadah yang tak bisa ditinggalkan, meski sampai pada batas
kemampuan yang sangat minim sekalipun, seperti halnya shalat yang tetap harus
dilaksanakan meski hanya dengan isyarat hati sebab sakitnya fisik.
Tapi lihatlah ibadah shalat
malam,
Allah hanya mewajibkannya sebagai ibadah tambahan dengan ungkapan "nafilah"
sebagaimana di surat
Al Isra ayat 79. Ya, ia hanya ibadah tambahan meski keutamaannya sangatlah
besar. Tidak sembarang orang yang mampu melaksanakannya, dan Allah memang sudah
tegaskan bahwa para pelakunya hanyalah orang-orang pilihan. Itulah yang Allah
jelaskan pada surat
Al Muzzammil. Ia diperintahkan di saat orang sedang dibuai selimut tidurnya
lalu disuruh bangkit, hanya sedikit saja dari malamnya, dan boleh ia lakukan
pada setengah malamnya, atau kurang dari setengah itu. Maka itulah Allah akan angkat derajat pelakunya ke
tempat yang terpuji. Namun ia tetaplah shalat sunnah. Hanya bisa dilakukan oleh
orang yang mampu saja tidak seperti shalat fardhu yang memang pada dasarnya
tidak boleh ditinggalkan.
Begitu juga dengan sedekah, sewajib-wajibnya
sedekah seperti zakat, tetap saja ia akan gugur dengan sendirinya jika ia tak
mampu secara finansial, tidak seperti shalat fardhu.
Dan puasa pun sama, sewajib-wajibnya puasa seperti
puasa ramadhan, tetap saja ia bisa diganti dengan fidyah bila sudah tak mampu
lagi untuk berpuasa, baik karena sakit atau uzur usia. Begitu pula dengan haji,
ia selamanya tergantung pada istitha'ah atau kemampuan, baik fisik maupun
finansial, hingga ia pun gugur karena belum adanya kemampuan, tidak seperti shalat
fardhu.
Namun sejatinya, beratnya shalat malam, berpuasa,
bersedekah, berhaji dan tilawah Alquran suatu saat--dan kita berlindung kepada
Allah dari godaan setan--akan meletupkan jiwa-jiwa ujub seseorang atau
berbangga diri atas kemampuannya melakukan ibadah-badah itu. Jiwa-jiwa ujub
itulah yang terwujud dengan penampilan shaleh tapi disertai meremehkan amalan
orang lain yang kelihatan tak seperti dirinya. Apalagi bila ia tebar pesona
penampilan shalehnya dengan iklan riya dan sum'ah.
Lalu kenapa jiwa-jiwa kerdil itu muncul seakan ia
ingin agar orang tidak memandangnya berjiwa kerdil. Ia ingin diketahui sebagai
orang shaleh dan bukan si kerdil yang pernah berbuat salah. Ia ingin didengar
sebagai pembaca Alquran dan bukan si kerdil yang tak pernah mengaji. Ia
ingin dilihat sebagai dermawan dan bukan si kerdil yang tak pernah bersedekah.
Ia ingin dipandang sebagai pak haji atau bu hajah dan bukan si kerdil yang
ibadah terjauhnya baru sampai masjid Istiqlal. Ia ingin diperhatikan sebagai
orang yang jauh dari kemaksiatan dengan berpuasa dan bukan si kerdil yang tiap
siangnya selalu terlihat makan dan minum. Inilah sejujurnya jawaban yang paling
jujur.
Ya, jiwa kerdil itu muncul
sebab ibadah-ibadah yang ia kerjakan semuanya hanya melibatkan diri dan
Tuhannya. Dan pada dasarnya orang lain tak perlu tahu saat ia shalat malam,
berpuasa, berhaji, tilawah dan bersedekah. Tapi karena tak ada yang mengetahui inilah maka suatu saat ia tergoda untuk
mengatakan pada orang lain bahwa ia orang shaleh. Ia mengatakan itu karena
boleh jadi sebenarnya ia merasa tidak shaleh. Ia perlu untuk mengumumkan
dirinya sebagai orang shaleh agar ketidakshalehannya selama ini yang ia
timpakan pada saudaranya, tetangganya, temannya, dan orang-orang lainnya dapat
ia hapus, minimal dinetralisir. Ia perlu melakukan itu semua, sebab ia ingin
diakui kerena ia hidup dengan orang lain. Bila ia hidup sendirian, maka tak
akan perlu ia mengumumkan keshalehan dirinya.
Ternyata hidup dengan orang
lain itulah problemnya. Ia dan orang
lain yang sama-sama manusia. Sama-sama mampu berbuat benar dan salah. Dan
sejatinya, hanya satu amalan yang paling sulit dilakukan namun ia adalah
penghapus dan penetralisir dosa-dosa dan kesalahan. Ia bukan shalat malam,
bukan haji, bukan sedekah, bukan puasa dan juga bukan tilawah. Sebab itu semua
kadang masih bisa dilakukan bersamaan dengan perilaku buruk kita pada saudara
dan tetangga. Amalan yang paling berat itu adalah berlapang dada dengan
kesalahan dan kezaliman yang menimpa kita dari saudara dan tetangga kita.
Itulah mengapa Allah janjikan surga bagi orang
yang mampu berlapang dada. Ya, hanya berlapang dada. Sebab, siapa dari kita
yang mampu pada setiap saatnya berlapang dada pada setiap saudara dan tetangga
kita yang berlaku buruk kepada kita?
Maka lihatlah seorang sahabat Nabi shallallahu
alaihi wasallam ini, ia calon penghuni surga dan itu janji Nabi secara
langsung. Sebab ia mampu berlapang dada pada setiap saatnya, meski di saat yang
sama ia mungkin dizalimi. Namun ia ikhlaskan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Anas bin Malik ra berkata:
"Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau bersabda:
"Akan datang kepada kalian saat ini seorang
dari penghuni surga".
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kaum
Anshor, bekas air wudhunya masih menetes di janggutnya, sambil menenteng kedua
sandalnya dengan tangan kirinya. Keesokan harinya Nabi SAW bersabda seperti
kemarin. Lalu muncul orang tersebut seperti kemarinnya. Pada hari ketiga Nabi
SAW bersabda seperti itu pula, lalu muncul lagi orang tersebut persis seperti
keadaannya pada hari sebelumnya.
Tatkala Nabi SAW bangkit,
Abdullah bin Amru ra mengikuti orang itu lalu berkata kepadanya, :
"Aku dimarahi oleh
ayahku, lalu aku bersumpah tidak akan masuk kepadanya selama tiga hari. Jika engkau izinkan, maka aku akan tinggal
di rumahmu".
Orang itu menjawab:
"Ya, boleh".
Kemudian Abdullah ra bermalam bersamanya selama
tiga malam berturut-turut. Anehnya ia tidak melihat orang tersebut shalat malam
sedikitpun hingga datang waktu fajar. Hanya saja Abdullah berkata:
"Akan tetapi aku tidak pernah mendengar orang
itu berbicara kecuali yang baik-baik saja".
Setelah berlalu tiga malam dan hampir saja aku
meremehkan amal-amalnya, aku pun berkata:
"Wahai hamba Allah, sebenarnya antara aku dan
ayahku tidak ada masalah, akan tetapi aku mendengar Rasulullah SAW bersabda
tentang engkau selama tiga kali, "Akan muncul kepada kalian sekarang ini
salah seorang dari penghuni surga". Lalu engkaulah yang muncul selama tiga
kali itu. Olehnya, aku ingin tinggal di rumahmu untuk melihat amalmu agar aku
dapat mencontohnya. Sayangnya aku tidak melihat engkau melakukan suatu amal
yang besar, maka apa sebenarnya yang membuat Rasulullah bersabda seperti
itu?".
Ia berkata:
"Amalanku seperti apa yang engkau lihat".
Ketika aku berpaling darinya, ia memanggilku dan berkata: "Amalku seperti
apa yang engkau lihat, hanya saja aku tidak pernah menyimpan dalam hatiku
kebencian terhadap seorang pun dari kaum muslimin dan aku tidak pernah
mendengki seorang pun atas nikmat yang Allah berikan kepadanya".
Maka Abdullah ra berkata:
"Nah inilah yang menyampaikanmu kepada surga
tersebut'.[1]
Alangkah nikmat bila Allah Azza wa Jalla berkenan
memberikan karunia kepada kita berupa kemampuan harta hingga mampu bersedekah
dan berhaji. Memberikan kekuatan kepada kita hingga kita mampu menunaikan
shalat malam yang berat, mampu tilawah Alquran dan mampu berpuasa, dan pada
saat yang sama Allah juga karuniakan kepada kita sikap lapang dada.
Berlapang dada setiap saat pada setiap orang, siapa
yang mampu?
Fairuz Ahmad.
Bintara, 25 Dzulqa'dah 1434
H./1 Oktober 2013 M.
[1] HR. Imam Ahmad, Nasai;
dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al Albani.