Senin, 16 Desember 2013

Nayatanya Ia Lebih Berat Dari Gunung Batu

Alangkah ringan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Mana yang lebih berat, shalat malam ataukah berlapang dada?
Mana yang lebih sulit, bersedekah ataukah berlapang dada?
Mana yang lebih susah, berpuasa ataukah berlapang dada?
Mana yang lebih terasa payah, berhaji ataukah berlapang dada?
Mana yang lebih repot, membaca Alquran ataukah berlapang dada?

Jelaslah bagi kita bahwa ibadah-ibadah di atas adalah ibadah yang sangat berat, sulit, susah dan juga memayahkan. Namun ia tak seperti shalat fardhu yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan kecuali karena alasan hilang kesadaran semisal pingsan, gila dan ketiduran, meski pada saat sadarnya ia harus menggantinya. Yang pasti shalat fardhu adalah ibadah yang tak bisa ditinggalkan, meski sampai pada batas kemampuan yang sangat minim sekalipun, seperti halnya shalat yang tetap harus dilaksanakan meski hanya dengan isyarat hati sebab sakitnya fisik.

Tapi lihatlah ibadah shalat malam,
Allah hanya mewajibkannya sebagai ibadah tambahan dengan ungkapan "nafilah" sebagaimana di surat Al Isra ayat 79. Ya, ia hanya ibadah tambahan meski keutamaannya sangatlah besar. Tidak sembarang orang yang mampu melaksanakannya, dan Allah memang sudah tegaskan bahwa para pelakunya hanyalah orang-orang pilihan. Itulah yang Allah jelaskan pada surat Al Muzzammil. Ia diperintahkan di saat orang sedang dibuai selimut tidurnya lalu disuruh bangkit, hanya sedikit saja dari malamnya, dan boleh ia lakukan pada setengah malamnya, atau kurang dari setengah itu. Maka itulah Allah akan angkat derajat pelakunya ke tempat yang terpuji. Namun ia tetaplah shalat sunnah. Hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu saja tidak seperti shalat fardhu yang memang pada dasarnya tidak boleh ditinggalkan.

Begitu juga dengan sedekah, sewajib-wajibnya sedekah seperti zakat, tetap saja ia akan gugur dengan sendirinya jika ia tak mampu secara finansial, tidak seperti shalat fardhu.

Dan puasa pun sama, sewajib-wajibnya puasa seperti puasa ramadhan, tetap saja ia bisa diganti dengan fidyah bila sudah tak mampu lagi untuk berpuasa, baik karena sakit atau uzur usia. Begitu pula dengan haji, ia selamanya tergantung pada istitha'ah atau kemampuan, baik fisik maupun finansial, hingga ia pun gugur karena belum adanya kemampuan, tidak seperti shalat fardhu.

Namun sejatinya, beratnya shalat malam, berpuasa, bersedekah, berhaji dan tilawah Alquran suatu saat--dan kita berlindung kepada Allah dari godaan setan--akan meletupkan jiwa-jiwa ujub seseorang atau berbangga diri atas kemampuannya melakukan ibadah-badah itu. Jiwa-jiwa ujub itulah yang terwujud dengan penampilan shaleh tapi disertai meremehkan amalan orang lain yang kelihatan tak seperti dirinya. Apalagi bila ia tebar pesona penampilan shalehnya dengan iklan riya dan sum'ah.

Lalu kenapa jiwa-jiwa kerdil itu muncul seakan ia ingin agar orang tidak memandangnya berjiwa kerdil. Ia ingin diketahui sebagai orang shaleh dan bukan si kerdil yang pernah berbuat salah. Ia ingin didengar sebagai pembaca Alquran dan bukan si kerdil yang tak pernah mengaji. Ia ingin dilihat sebagai dermawan dan bukan si kerdil yang tak pernah bersedekah. Ia ingin dipandang sebagai pak haji atau bu hajah dan bukan si kerdil yang ibadah terjauhnya baru sampai masjid Istiqlal. Ia ingin diperhatikan sebagai orang yang jauh dari kemaksiatan dengan berpuasa dan bukan si kerdil yang tiap siangnya selalu terlihat makan dan minum. Inilah sejujurnya jawaban yang paling jujur.

Ya, jiwa kerdil itu muncul sebab ibadah-ibadah yang ia kerjakan semuanya hanya melibatkan diri dan Tuhannya. Dan pada dasarnya orang lain tak perlu tahu saat ia shalat malam, berpuasa, berhaji, tilawah dan bersedekah. Tapi karena tak ada yang mengetahui inilah maka suatu saat ia tergoda untuk mengatakan pada orang lain bahwa ia orang shaleh. Ia mengatakan itu karena boleh jadi sebenarnya ia merasa tidak shaleh. Ia perlu untuk mengumumkan dirinya sebagai orang shaleh agar ketidakshalehannya selama ini yang ia timpakan pada saudaranya, tetangganya, temannya, dan orang-orang lainnya dapat ia hapus, minimal dinetralisir. Ia perlu melakukan itu semua, sebab ia ingin diakui kerena ia hidup dengan orang lain. Bila ia hidup sendirian, maka tak akan perlu ia mengumumkan keshalehan dirinya.

Ternyata hidup dengan orang lain itulah problemnya. Ia dan orang lain yang sama-sama manusia. Sama-sama mampu berbuat benar dan salah. Dan sejatinya, hanya satu amalan yang paling sulit dilakukan namun ia adalah penghapus dan penetralisir dosa-dosa dan kesalahan. Ia bukan shalat malam, bukan haji, bukan sedekah, bukan puasa dan juga bukan tilawah. Sebab itu semua kadang masih bisa dilakukan bersamaan dengan perilaku buruk kita pada saudara dan tetangga. Amalan yang paling berat itu adalah berlapang dada dengan kesalahan dan kezaliman yang menimpa kita dari saudara dan tetangga kita.

Itulah mengapa Allah janjikan surga bagi orang yang mampu berlapang dada. Ya, hanya berlapang dada. Sebab, siapa dari kita yang mampu pada setiap saatnya berlapang dada pada setiap saudara dan tetangga kita yang berlaku buruk kepada kita?

Maka lihatlah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ini, ia calon penghuni surga dan itu janji Nabi secara langsung. Sebab ia mampu berlapang dada pada setiap saatnya, meski di saat yang sama ia mungkin dizalimi. Namun ia ikhlaskan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Anas bin Malik ra berkata:

"Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau bersabda:

"Akan datang kepada kalian saat ini seorang dari penghuni surga".

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kaum Anshor, bekas air wudhunya masih menetes di janggutnya, sambil menenteng kedua sandalnya dengan tangan kirinya. Keesokan harinya Nabi SAW bersabda seperti kemarin. Lalu muncul orang tersebut seperti kemarinnya. Pada hari ketiga Nabi SAW bersabda seperti itu pula, lalu muncul lagi orang tersebut persis seperti keadaannya pada hari sebelumnya.

Tatkala Nabi SAW bangkit, Abdullah bin Amru ra mengikuti orang itu lalu berkata kepadanya, :

"Aku dimarahi oleh ayahku, lalu aku bersumpah tidak akan masuk kepadanya selama tiga hari. Jika engkau izinkan, maka aku akan tinggal di rumahmu".

Orang itu menjawab:

"Ya, boleh".

Kemudian Abdullah ra bermalam bersamanya selama tiga malam berturut-turut. Anehnya ia tidak melihat orang tersebut shalat malam sedikitpun hingga datang waktu fajar. Hanya saja Abdullah berkata:

"Akan tetapi aku tidak pernah mendengar orang itu berbicara kecuali yang baik-baik saja".

Setelah berlalu tiga malam dan hampir saja aku meremehkan amal-amalnya, aku pun berkata:

"Wahai hamba Allah, sebenarnya antara aku dan ayahku tidak ada masalah, akan tetapi aku mendengar Rasulullah SAW bersabda tentang engkau selama tiga kali, "Akan muncul kepada kalian sekarang ini salah seorang dari penghuni surga". Lalu engkaulah yang muncul selama tiga kali itu. Olehnya, aku ingin tinggal di rumahmu untuk melihat amalmu agar aku dapat mencontohnya. Sayangnya aku tidak melihat engkau melakukan suatu amal yang besar, maka apa sebenarnya yang membuat Rasulullah bersabda seperti itu?".

Ia berkata:

"Amalanku seperti apa yang engkau lihat". Ketika aku berpaling darinya, ia memanggilku dan berkata: "Amalku seperti apa yang engkau lihat, hanya saja aku tidak pernah menyimpan dalam hatiku kebencian terhadap seorang pun dari kaum muslimin dan aku tidak pernah mendengki seorang pun atas nikmat yang Allah berikan kepadanya".

Maka Abdullah ra berkata:

"Nah inilah yang menyampaikanmu kepada surga tersebut'.[1]

Alangkah nikmat bila Allah Azza wa Jalla berkenan memberikan karunia kepada kita berupa kemampuan harta hingga mampu bersedekah dan berhaji. Memberikan kekuatan kepada kita hingga kita mampu menunaikan shalat malam yang berat, mampu tilawah Alquran dan mampu berpuasa, dan pada saat yang sama Allah juga karuniakan kepada kita sikap lapang dada.

Berlapang dada setiap saat pada setiap orang, siapa yang mampu?

Fairuz Ahmad.

Bintara, 25 Dzulqa'dah 1434 H./1 Oktober 2013 M.

[1] HR. Imam Ahmad, Nasai; dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al Albani.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar