Kabur Gara-gara HP Nakal.
Di suatu ashar. Di sebuah masjid di tanah Bintara. Udara panas. Namun jama'ah tetap berdatangan meski
hanya satu shaf saja.
Selang beberapa menit
kemudian iqamat dibunyikan tanda shalat dimulai. Raka'at pertama sukses. Disusul
kemudian raka'at kedua. Masuk raka'at ketiga tiba-tiba kekhusyu'an terganggu. Ada
suara rington jama'ah yang berbunyi kencang. Kencang sekali. Melantunkan bacaan
dengan bahasa Arab. Entah tilawah Alquran atau qashidah. Tak ada yang tahu, sebab
saat shalat tidak boleh ada yang nyambi menyimak suara-suara aneh. Sekali
berbunyi selesai. Ternyata berbunyi lagi untuk kali kedua. Mungkin karena
kencang suaranya hingga membuat sang pemilik hp nakal itu blingsatan.
Dia
akhirnya menyerah. Melarikan diri dari medan laga. Ternyata sang pemilik hp
nakal kemudian shalat sendirian di masjid bagian belakang. Selamat dan sukses
kawan, dirimu telah membuat kawan-kawanmu terpaku dan terpalu. Itu karena
melihat tingkahmu yang sungguh teramat lugu.
HIKMAH:
Para ulama fiqih telah
merinci dan menjelaskan apa saja hal-hal yang mewajibkan seseorang membatalkan
shalatnya, dan apa saja yang dapat membatalkan shalat, serta sebab-sebab
dibolehkannya seseorang meninggalkan jama'ah lalu melanjutkan shalatnya
sendirian yang dikenal dengan istilah mufaraqah lil jama'ah.
Pada dasarnya seseorang dilarang membatalkan shalatnya kecuali dalam 2 keadaan,
1. Terjadinya kondisi darurat.
2. Adanya kemungkinan yang
besar (ghalabatudz dzan) akan terjadinya kondisi darurat.
Kondisi darurat secara umum
ada lima, yaitu bila ada kondisi yang:
1. Merusak (menghilangkan) nyawa.
Bila saat shalat ada kondisi yang mengancam nyawanya atau nyawa orang
lain, maka saat itu ia harus membatalkan shalatnya
Contoh: terjadi kebakaran
masjid saat ia shalat. Atau ada anak tenggelam dan hanya dia yang tahu.
Sedang contoh untuk
ghalabatudz dzan adalah bila ada sesuatu yang akan menyebabkan kebakaran pada
dirinya. Atau ada anak yang akan tenggelam.
2. Merusak harta.
Bila hartanya atau harta
orang lain terancam hilang baik karena ada pencuri atau karena terbakar dan
lain-lain.
3. Merusak akal.
4. Merusak kehormatan.
5. Merusak badan.
Jadi, bunyi rington apapun mulai dari suara jangkrik sampai suara
drakula yang berbunyi saat shalat tidaklah merusak apa pun dari lima hal di atas. Oleh karena itu seseorang tidak boleh
membatalkan shalatnya hanya karena ingin mematikan hp.
Selanjutnya adalah masalah pembatal shalat. Maka rincian ulama fiqih pun
sudah jelas, bahwa bunyi rington bukan termasuk pembatal shalat (dan memang
zaman dahulu juga belum ada rington).
Lalu bagaimana seharusnya sikap seseorang yang sedang shalat bila tiba-tiba
suara nakal dan tak diundang itu datang?
Maka yang harus dilakukan
adalah mematikan hpnya meski dalam kondisi shalat. Tapi apakah boleh seseorang
bergerak di luar gerakan shalat? Jelas tidak boleh bila tidak ada kondisi yang
mengharuskan dia bergerak. Sebab para ulama telah sepakat bahwa di antara yang
membatalkan shalat adalah melakukan banyak gerakan yang terus-menerus dan
bersambung. Tapi bila ada kondisi yang menyebabkan terganggunya kesempurnaan
shalat maka ia harus menghilangkan gangguan itu, sebagaimana bila saat shalat
digigit nyamuk. Bila merasa terganggu maka ia boleh mengusirnya, bahkan bila
ada binatang yang mengancam pun boleh untuk membunuhnya dan bahkan itu
diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jadi mematikan hp yang mengganggu adalah gerakan yang masuk kategori
ringan dan tidak banyak, serta tidak terus-menerus. Kebolehan melakukan gerakan
di luar shalat ini bisa didasarkan pada riwayat dimana Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam membukakan pintu buat Aisyah radhiyallahu anha, atau saat
beliau shalat sambil menggendong cucunya, Umamah, atau perintah beliau agar
membunuh al aswadain, yaitu ular dan kalajengking, atau saat beliau mencopot
sandalnya.
Tinggal masalah mufaraqah dari jama'ah. Pada dasarnya kasus di atas
bukanlah disebut mufaraqah. Karena mufaraqah adalah sekedar berhenti mengikuti
imam dan tetap melanjutkan shalatnya sendirian. Sedang kasus di atas adalah
berhenti sekaligus membatalkan shalatnya lalu memulai shalatnya kembali
sendirian. Karenanya, pembatalan ini tidak boleh.
Adapun mufaraqah sendiri maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama mazhab antara yang membolehkan dan yang melarang.
Ulama mazhab Syafi'i membolehkan baik ada alasan (udzur) maupun tidak, kecuali
dalam shalat jum'at maka tidak boleh pada raka'at pertama dan dibolehkan pada
raka'at kedua.
Ulama mazhab Hambali
membolehkan bila ada alasan. Sedang bila tidak ada alasan maka ada dua riwayat.
Riwayat yang paling shahih adalah tidak sah shalatnya, sedang riwayat kedua
tetap sah.
Ulama mazhab Maliki melarang
mufaraqah.
Ulama mazhab Hanafi hanya membolehkan saja seraya dibenci seorang makmum
mendahului salam imam, dan tidak boleh mufaraqah.
Hal-hal yang membolehkan mufaraqah di antaranya adalah, saat shalat imam
terlalu panjang, atau kondisi makmum yang sakit atau mengantuk yang dapat
merusak shalatnya.
Adapun dalil bolehnya mufaraqah adalah hadits Mu'adz bin Jabal
radhiyallahu anhu saat ia memanjangkan shalatnya hingga ada seorang sahabat
yang mufaraqah lalu mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Selanjutnya
beliau mencela Mu'adz dan tidak mencela sahabat yang mufaraqah.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 25 Muharram 1435 H./29 Nopember 2013 M.
Catatan:
Penjelasan fiqih disarikan dari kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuh
karya Prof. Dr. Wahbah Az Zuhailiy cetakan 4 pada tema:
Maa tuqtha'us shalaatu li-ajlih
2/1053.
Mubthilaatus shalaati au mufsidaatuha 2/1021.
Niyyatu mufaaraqatil imaam wa qath'il qudwah 2/1226.