Jumat, 06 Desember 2013

MANUSIA-MANUSIA LINTAS ZAMAN


Alangkah nyata kebenaran wahyu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menyebut ilmu yang bermanfaat[1] sebagai salah satu upaya melanggengkan usia seseorang. Ya, usia seseorang akan dipanjangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala oleh sebab ilmunya. Karena ilmu adalah kehidupan, maka ia akan senantiasa menghidupkan penemunya, oleh sebab Sang Pemilik Ilmu adalah Zat Yang Maha Hidup.
Di antara manusia ada yang memandang usia sebagai masa dengan batas tertentu. Ia tak jauh saat memandangnya. Bahkan tak pernah terpikir olehnya bahwa usia itu ada yang dapat dipanjangkan jauh melebihi angka tahun kematiannya. Karena ia tak cukup memiliki alat untuk memandang sejauh itu, sehingga yang ia tahu hanyalah kematian sebagai akhir dari segalanya.
Lalu, apakah gerangan sesuatu yang dapat memanjangkan usia seseorang?

Lihatlah bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala saat mengatakan dalam ayat-ayat pada surat yang pertama diturunkan. Dia turunkan melalui Malaikat-NYA yang mulia, Jibril alaihissalam lalu dibacakan kepada Nabi-NYA, "Bacalah".[2] Inilah titik tolak sebagai landasan pertama saat seseorang ingin memanjangkan usianya. Ia harus membaca, karena membaca adalah menabung, dan tabungan itu suatu saat akan menghasilkan.
Alangkah tak terhitung bila kita menelusuri sejarah orang-orang yang pandai menabung. Karena mereka tahu betul bahwa menabung akan memberikannya bekal yang tak berkesudahan. Dan yang pasti menabung akan menghidupkan dirinya dan orang-orang sesudahnya.
Ayat petama ini sejatinya menegaskan kepada kita semua, bahwa jangan sampai kita kehilangan karakter sebagai umat terbaik sepanjang masa. Oleh karena itulah Allah lantas mendidik kita agar jangan sampai kehilangan satu cirinya, yaitu membaca sebagai budaya pertama.
Lalu lihatlah surat Al-Qur'an yang turun kedua. Ia adalah lanjutan dari budaya pertama, saat Allah mengatakan:
"Nun, demi Pena dan apa-apa yang mereka tulis."[3]
Sepetinya ada isyarat bahwa seluruh tabungan itu tidak boleh hanya disimpan semata. Dan semua orang juga tahu bahwa menabung akan sia-sia bila kemudian hari tak dapat digunakan penabungnya. Bahkan bila penabungnya sendiri tak dapat manfaat dari menabungnya, maka bagaimana mungkin orang lain akan dapat memanfaatkannya. Lalu bagaimana juga keadaan orang yang selama hidupnya tak pernah menabung. Akankah ia memberikan manfaat kepada orang lain, sedang kepada dirinya pun tak bisa. Benarlah apa kata pepatah,
"Faaqidus Syai'i laa yu'thi",
bahwa orang yang tak punya apa-apa tak akan dapat memberi apa-apa.
Sungguh menabung akan membuat penabungnya dapat membeli. Saat ia menabung harta yang baik, maka ia akan membeli barang yang baik. Begitulah sejatinya membaca, bacaannya akan menuntun ia untuk menulis, dan menulis itulah budaya kedua yang telah diisyaratkan oleh Allah pada surat kedua yang diturunkan-NYA.
Alangkah indah cerita para Ulama saat dunia mengenangnya. Kebaikannya pun jadi buah bibir alam semesta. Dan memang begitulah cara ilmu memuliakan penemunya. Sampai ribuan masa ia tak akan terlupa.
Pernahkah kita mendengar kisah mereka, para salafus sholeh yang telah dimuliakan oleh ilmunya. Bahkan seakan sepanjang masa kita tak pernah lepas dari kisah-kisah indahnya. Mereka adalah orang-orang yang memuliakan ilmu. Baginya ilmu adalah tamu kehormatan yang tak setiap saat bisa datang. Namun ia adalah tamu yang membawa berkah dalam kehidupan. Karenanya mereka rela mengorbankan harta, jiwa dan waktu demi ilmu. Laksana para pejuang kehormatan agama yang rela berkorban dalam jihad fi sabilillah. Dan sejatinya, menuntut ilmu adalah jihad fi sabilillah.
Marilah kita simak beberapa penggalan kisah-kisah indah dari manusia-manusia yang sampai detik ini masih terasa hidup di sekitar kita. Ya, ilmulah yang membuat mereka masih hidup bersama kita. Maka layaklah bila kemudian kita sebut mereka sebagai manusia-manusia lintas zaman.
Kisah pertama manusia-manusia lintas zaman adalah Imam Abu Yusuf, Ya'kub bin Ibrahim Al-Kufi (113-182 H). Beliau adalah seorang murid kenamaan dari Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi Al-Farisi (80-150 H). Ia seorang mujtahid mutlak yang menyusun pokok-pokok mazhab gurunya yaitu mazhab hanafi dan terhitung sebagai ulama pertama yang menyebarkan mazhab hanafi ke berbagai penjuru negeri.
Ia bercerita bahwa anak laki-lakinya meninggal, tapi ia tidak menghadiri pengurusannya bahkan sampai penguburannya. Ia telah serahkan pada keluarga dan para tetangganya untuk mengurusnya karena sangat takut kehilangan pelajaran dari gurunya, Abu Hanifah, dimana ia akan merasa menyesal sepanjang masa.
Salah seorang muridnya yang bernama Al-Qadhi Ibrahim bin Al-Jarrah Al-Kufi menuturkan:
"Suatu hari Abu Yusuf sakit, lalu aku menjenguknya, ternyata saat itu beliau sedang pingsan. Ketika beliau terbangun langsung bertanya kepadaku: "Wahai Ibrahim, apa pendapatmu tentang masalah ini ?"
Aku pun balik bertanya:
"Apakah anda akan membahasnya dalam kondisi seperti ini?"
Ia menjawab: "Tidak apa-apa, kita bahas sekarang siapa tahu ada orang yang selamat karenanya."
Setelah kami membahasnya bersama dan mendapatkan jawaban, aku pun pamit untuk pulang, aku berdiri dan menuju pintu, saat di pintu itulah aku mendengar erangan, ternyata beliau sudah meninggal-Allahu yarhamuh."
Selanjutnya adalah Imam Muhammad bin Al-Hasan As-Syaibani Al-Kufi Al-Baghdadi (132-189 H). Beliau juga murid ternama dari Imam Abu Hanifah, seorang mujtahid muhaddits. Belajar ilmu fiqih dari Imam Abu Hanifah dan menyempurnakan belajarnya pada Abu Yusuf. Selanjutnya belajar kepada Imam Malik. Saat Abu Yusuf meninggal, beliaulah penerus ulama mazhab hanafi di Irak, dan mendapat derajat mujtahid mutlak karena kecerdasannya dalam menganalisa masalah-masalah fiqih.
Banyak menulis kitab-kitab mazhab Hanafi, di antaranya adalah kitab Dhahirur Riwayah yang disebut sebagai kitab pegangan ulama mazhab Hanafi.
Kisah menarik dari beliau adalah kebiasaannya yang tidak tidur malam. Selalu meletakkan buku-buku di sampingnya sehingga saat ia merasa jenuh dengan buku yang satu ia akan ambil buku yang lain. Beliau mengusir rasa kantuknya dengan membasuh mukanya dengan air, dan berkata sesungguhnya tidur itu berasal dari panas.
Kisah berikutnya adalah seorang guru besar dari Imam Al-Bukhari yaitu Imam Al-Muhaddits Al-Kabir Abu Muhammad Ubaid bin Ya'isy Al-Kufi Al-Mahamily (229 H).
Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A'laamin Nubala' menceritakan bahwa Ubaid bin Ya'isy adalah gurunya Imam Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana beberapa rawi juga meriwayatkan hadits darinya seperti Imam An-Nasa'i, Imam Abu Zur'ah Ar-Razi dan Muhammad bin Ayyub Al-Bajaly.
Ammar bin Raja' berkata, "Aku mendengar Ubaid bin Ya'isy berkata:
"Aku pernah tinggal selama 30 tahun dan selama itu aku tidak makan menggunakan tanganku pada malam hari, saudarikulah yang menyuapiku sedang aku menulis hadits."
Lalu simaklah kisah langka dari seorang ulama hadits yang memiliki hafalan ribuan hadits, beliau adalah Imam Abu Zakaria Yahya bin Ma'in bin Aun bin Ziyad bin Bustam (158-233 H).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa beliau adalah Syaikhul Muhadditsin. Mengambil dan mendengar hadits dari Abdullah bin Mubarak, Husyaim bin Basyir, Ismail bin Iyasy, Sufyan bin Uyainah, Abdur Razzaq As-Shan'ani, Waki' bin Al-Jarah, Yahya bin Sa'id Al-Qaththan, Abdur Rahman bin Mahdi, dan lain-lain.
Bayak perawi hadits yang meriwayatkan darinya, diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Abbas Ad-Dury, Abu Zur'ah Ar-Razi, Abu Hatim Ar-Razi, Utsman bin Sa'id Ad-Darimi, Abu Ya'la Al-Maushily, dan masih banyak lagi.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
"Setiap ada hadits yang tidak diketahui oleh Yahya bin Ma'in maka ia bukanlah hadits."
Sampai-sampai Imam Ali bin Al-Madini berkata:
"Ilmu manusia telah berhenti di Yahya bin Ma'in."
Beliau pernah berkeliling ke banyak negeri di antaranya Iraq, Syam, Jazirah Arab, Mesir dan Hijaz.
Kisah unik lain adalah seorang ulama yang sangat antusias terhadap ilmu, bahkan boleh dikatakan sebagai orang yang tamak terhadap ilmu. Simaklah kisahnya yang dituturkan oleh Syeikh Thasykubri dalam kitabnya Miftahus Sa'adah, beliau menceritakan bahwa seorang ulama mazhab Hanafi bernama Syeikh Isham bin Yusuf Al-Balkhi (215 H) rela membeli sebuah pena dengan harga satu dinar sebab takut kehilangan pelajaran yang saat itu sedang dibacakan oleh gurunya. Baginya, umur sangatlah pendek sedang ilmu yang belum diketahui sangatlah banyak.
Lebih unik lagi adalah kisah salah seorang guru Imam Bukhari yang bernama syeikh Muhammad bin Salam Al-Kindi (227 H). Saat itu beliau sedang asyik-aysiknya menulis pelajaran yang tengah dibacakan oleh gurunya, namun tiba-tiba pulpennya patah, seketika itu pula beliau berteriak : "Aku ingin beli pena seharga satu dinar..!!, Aku ingin beli pena seharga satu dinar..!!". Maka saat itu pula orang-orang di sekitarnya melemparkan pena masing-masing ke arah Muhammad bin Salam.[4]
Begitulah harga waktu di mata ulama. Ia adalah nyawa. Maka pantaslah saat mereka begitu antusias dalam melindungi nyawanya. Sekali lagi, agar mereka dapat menabung sebanyak-banyaknya, karena tabungan mereka akan mengabadikan kehidupannya. Abadi dalam amal, abadi dalam ingatan, dan tentunya abadi dalam pahala. Sebab dengan ilmulah mereka dapat mereguk banyak air pahala.
Fairuz Ahmad.
Bintara, selesai menjelang maghrib 14 Rabi'ul Awwal 1434 H. / 26 januari 2013
--------------
[1] "Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari 3 hal, shadaqah jariyah (amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa mendo'akan orang tuanya." (HR. Muslim 1631 dari Abu Hurairah RA)
[2] QS. Al-Alaq : 1
[3] QS. Al-Qalam : 1
[4] Kisah manusia-manusia lintas zaman diambil dari buku Qimatuz Zaman Indal Ulama oleh DR. Abdul Fattah Abu Ghuddah, Kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu DR. Wahbah Az-Zuhaily.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar