Alangkah nyata kebenaran wahyu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menyebut ilmu yang bermanfaat[1] sebagai salah satu upaya melanggengkan usia seseorang. Ya, usia seseorang akan dipanjangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala oleh sebab ilmunya. Karena ilmu adalah kehidupan, maka ia akan senantiasa menghidupkan penemunya, oleh sebab Sang Pemilik Ilmu adalah Zat Yang Maha Hidup.
Di
antara manusia ada yang memandang usia sebagai masa dengan batas tertentu. Ia
tak jauh saat memandangnya. Bahkan tak pernah terpikir olehnya bahwa usia itu
ada yang dapat dipanjangkan jauh melebihi angka tahun kematiannya. Karena ia
tak cukup memiliki alat untuk memandang sejauh itu, sehingga yang ia tahu
hanyalah kematian sebagai akhir dari segalanya.
Lalu, apakah gerangan sesuatu yang dapat memanjangkan
usia seseorang?
Lihatlah bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala saat
mengatakan dalam ayat-ayat pada surat yang pertama diturunkan. Dia turunkan
melalui Malaikat-NYA yang mulia, Jibril alaihissalam lalu dibacakan kepada
Nabi-NYA, "Bacalah".[2] Inilah titik tolak sebagai landasan pertama
saat seseorang ingin memanjangkan usianya. Ia harus membaca, karena membaca adalah menabung, dan tabungan
itu suatu saat akan menghasilkan.
Alangkah
tak terhitung bila kita menelusuri sejarah orang-orang yang pandai menabung. Karena
mereka tahu betul bahwa menabung akan memberikannya bekal yang tak
berkesudahan. Dan yang pasti menabung akan menghidupkan dirinya dan orang-orang
sesudahnya.
Ayat
petama ini sejatinya menegaskan kepada kita semua, bahwa jangan sampai kita
kehilangan karakter sebagai umat terbaik sepanjang masa. Oleh karena itulah
Allah lantas mendidik kita agar jangan sampai kehilangan satu cirinya, yaitu
membaca sebagai budaya pertama.
Lalu
lihatlah surat
Al-Qur'an yang turun kedua. Ia adalah lanjutan dari budaya pertama, saat Allah
mengatakan:
"Nun,
demi Pena dan apa-apa yang mereka tulis."[3]
Sepetinya
ada isyarat bahwa seluruh tabungan itu tidak boleh hanya disimpan semata. Dan semua orang
juga tahu bahwa menabung akan sia-sia bila kemudian hari tak dapat digunakan
penabungnya. Bahkan bila penabungnya sendiri tak dapat manfaat dari
menabungnya, maka bagaimana mungkin orang lain akan dapat memanfaatkannya. Lalu
bagaimana juga keadaan orang yang selama hidupnya tak pernah menabung. Akankah
ia memberikan manfaat kepada orang lain, sedang kepada dirinya pun tak bisa. Benarlah apa kata pepatah,
"Faaqidus
Syai'i laa yu'thi",
bahwa orang yang tak punya apa-apa tak akan dapat memberi
apa-apa.
Sungguh menabung akan membuat penabungnya dapat membeli.
Saat ia menabung harta yang baik, maka ia akan membeli barang yang baik. Begitulah sejatinya membaca, bacaannya akan
menuntun ia untuk menulis, dan menulis itulah budaya kedua yang telah
diisyaratkan oleh Allah pada surat
kedua yang diturunkan-NYA.
Alangkah
indah cerita para Ulama saat dunia mengenangnya. Kebaikannya pun jadi buah
bibir alam semesta. Dan memang begitulah cara ilmu memuliakan penemunya. Sampai
ribuan masa ia tak akan terlupa.
Pernahkah kita mendengar kisah mereka, para salafus
sholeh yang telah dimuliakan oleh ilmunya. Bahkan seakan sepanjang masa kita
tak pernah lepas dari kisah-kisah indahnya. Mereka adalah orang-orang yang memuliakan ilmu. Baginya ilmu
adalah tamu kehormatan yang tak setiap saat bisa datang. Namun ia adalah tamu
yang membawa berkah dalam kehidupan. Karenanya mereka rela mengorbankan harta,
jiwa dan waktu demi ilmu. Laksana para pejuang kehormatan agama yang rela berkorban
dalam jihad fi sabilillah. Dan sejatinya, menuntut ilmu adalah jihad fi
sabilillah.
Marilah
kita simak beberapa penggalan kisah-kisah indah dari manusia-manusia yang
sampai detik ini masih terasa hidup di sekitar kita. Ya, ilmulah yang
membuat mereka masih hidup bersama kita. Maka layaklah bila kemudian kita sebut
mereka sebagai manusia-manusia lintas zaman.
Kisah
pertama manusia-manusia lintas zaman adalah Imam Abu Yusuf, Ya'kub bin Ibrahim
Al-Kufi (113-182 H). Beliau adalah seorang murid kenamaan dari Imam Abu Hanifah
An-Nu'man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi Al-Farisi (80-150 H). Ia seorang mujtahid
mutlak yang menyusun pokok-pokok mazhab gurunya yaitu mazhab hanafi dan
terhitung sebagai ulama pertama yang menyebarkan mazhab hanafi ke berbagai
penjuru negeri.
Ia
bercerita bahwa anak laki-lakinya meninggal, tapi ia tidak menghadiri
pengurusannya bahkan sampai penguburannya. Ia telah serahkan pada keluarga dan
para tetangganya untuk mengurusnya karena sangat takut kehilangan pelajaran
dari gurunya, Abu Hanifah, dimana ia akan merasa menyesal sepanjang masa.
Salah
seorang muridnya yang bernama Al-Qadhi Ibrahim bin Al-Jarrah Al-Kufi menuturkan:
"Suatu
hari Abu Yusuf sakit, lalu aku menjenguknya, ternyata saat itu beliau sedang
pingsan. Ketika beliau terbangun langsung bertanya kepadaku: "Wahai
Ibrahim, apa pendapatmu tentang masalah ini ?"
Aku
pun balik bertanya:
"Apakah
anda akan membahasnya dalam kondisi seperti ini?"
Ia menjawab: "Tidak apa-apa, kita bahas sekarang siapa
tahu ada orang yang selamat karenanya."
Setelah
kami membahasnya bersama dan mendapatkan jawaban, aku pun pamit untuk pulang,
aku berdiri dan menuju pintu, saat di pintu itulah aku mendengar erangan,
ternyata beliau sudah meninggal-Allahu yarhamuh."
Selanjutnya
adalah Imam Muhammad bin Al-Hasan As-Syaibani Al-Kufi Al-Baghdadi (132-189 H). Beliau
juga murid ternama dari Imam Abu Hanifah, seorang mujtahid muhaddits. Belajar
ilmu fiqih dari Imam Abu Hanifah dan menyempurnakan belajarnya pada Abu Yusuf.
Selanjutnya belajar kepada Imam Malik. Saat Abu Yusuf meninggal, beliaulah
penerus ulama mazhab hanafi di Irak, dan mendapat derajat mujtahid mutlak
karena kecerdasannya dalam menganalisa masalah-masalah fiqih.
Banyak
menulis kitab-kitab mazhab Hanafi, di antaranya adalah kitab Dhahirur Riwayah
yang disebut sebagai kitab pegangan ulama mazhab Hanafi.
Kisah
menarik dari beliau adalah kebiasaannya yang tidak tidur malam. Selalu
meletakkan buku-buku di sampingnya sehingga saat ia merasa jenuh dengan buku
yang satu ia akan ambil buku yang lain. Beliau mengusir rasa kantuknya dengan
membasuh mukanya dengan air, dan berkata sesungguhnya tidur itu berasal dari
panas.
Kisah
berikutnya adalah seorang guru besar dari Imam Al-Bukhari yaitu Imam
Al-Muhaddits Al-Kabir Abu Muhammad Ubaid bin Ya'isy Al-Kufi Al-Mahamily (229
H).
Imam
Adz-Dzahabi dalam Siyar A'laamin Nubala' menceritakan bahwa Ubaid bin Ya'isy
adalah gurunya Imam Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana beberapa rawi juga
meriwayatkan hadits darinya seperti Imam An-Nasa'i, Imam Abu Zur'ah Ar-Razi dan
Muhammad bin Ayyub Al-Bajaly.
Ammar
bin Raja' berkata, "Aku mendengar Ubaid bin Ya'isy berkata:
"Aku
pernah tinggal selama 30 tahun dan selama itu aku tidak makan menggunakan
tanganku pada malam hari, saudarikulah yang menyuapiku sedang aku menulis
hadits."
Lalu
simaklah kisah langka dari seorang ulama hadits yang memiliki hafalan ribuan hadits,
beliau adalah Imam Abu Zakaria Yahya bin Ma'in bin Aun bin Ziyad bin Bustam
(158-233 H).
Imam
Adz-Dzahabi mengatakan bahwa beliau adalah Syaikhul Muhadditsin. Mengambil dan
mendengar hadits dari Abdullah bin Mubarak, Husyaim bin Basyir, Ismail bin
Iyasy, Sufyan bin Uyainah, Abdur Razzaq As-Shan'ani, Waki' bin Al-Jarah, Yahya
bin Sa'id Al-Qaththan, Abdur Rahman bin Mahdi, dan lain-lain.
Bayak
perawi hadits yang meriwayatkan darinya, diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Abbas Ad-Dury, Abu Zur'ah Ar-Razi, Abu Hatim
Ar-Razi, Utsman bin Sa'id Ad-Darimi, Abu Ya'la Al-Maushily, dan masih banyak
lagi.
Imam
Ahmad bin Hanbal berkata:
"Setiap
ada hadits yang tidak diketahui oleh Yahya bin Ma'in maka ia bukanlah
hadits."
Sampai-sampai
Imam Ali bin Al-Madini berkata:
"Ilmu
manusia telah berhenti di Yahya bin Ma'in."
Beliau
pernah berkeliling ke banyak negeri di antaranya Iraq, Syam, Jazirah Arab, Mesir dan
Hijaz.
Kisah
unik lain adalah seorang ulama yang sangat antusias terhadap ilmu, bahkan boleh
dikatakan sebagai orang yang tamak terhadap ilmu. Simaklah kisahnya yang
dituturkan oleh Syeikh Thasykubri dalam kitabnya Miftahus Sa'adah, beliau
menceritakan bahwa seorang ulama mazhab Hanafi bernama Syeikh Isham bin Yusuf
Al-Balkhi (215 H) rela membeli sebuah pena dengan harga satu dinar sebab takut
kehilangan pelajaran yang saat itu sedang dibacakan oleh gurunya. Baginya, umur
sangatlah pendek sedang ilmu yang belum diketahui sangatlah banyak.
Lebih
unik lagi adalah kisah salah seorang guru Imam Bukhari yang bernama syeikh Muhammad
bin Salam Al-Kindi (227 H). Saat itu beliau sedang asyik-aysiknya menulis
pelajaran yang tengah dibacakan oleh gurunya, namun tiba-tiba pulpennya patah, seketika
itu pula beliau berteriak : "Aku ingin beli pena seharga satu dinar..!!,
Aku ingin beli pena seharga satu dinar..!!". Maka saat itu pula
orang-orang di sekitarnya melemparkan pena masing-masing ke arah Muhammad bin
Salam.[4]
Begitulah
harga waktu di mata ulama. Ia adalah nyawa. Maka pantaslah saat mereka begitu
antusias dalam melindungi nyawanya. Sekali lagi, agar mereka dapat menabung
sebanyak-banyaknya, karena tabungan mereka akan mengabadikan kehidupannya.
Abadi dalam amal, abadi dalam ingatan, dan tentunya abadi dalam pahala. Sebab
dengan ilmulah mereka dapat mereguk banyak air pahala.
Fairuz
Ahmad.
Bintara,
selesai menjelang maghrib 14 Rabi'ul Awwal 1434 H. / 26 januari 2013
--------------
[1] "Apabila
seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari 3 hal, shadaqah
jariyah (amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa
mendo'akan orang tuanya." (HR. Muslim 1631 dari Abu Hurairah RA)
[2] QS. Al-Alaq
: 1
[3] QS.
Al-Qalam : 1
[4] Kisah
manusia-manusia lintas zaman diambil dari buku Qimatuz Zaman Indal Ulama oleh
DR. Abdul Fattah Abu Ghuddah, Kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu DR. Wahbah
Az-Zuhaily.