Jumat, 06 Desember 2013

MENEBANG POHON GHIBAH


Sungguh luar biasa ungkapan Allah Azza wa Jalla melalui wahyu Al-Qur'an saat Ia melarang ghibah. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak langsung melarangnya sebagaimana saat Ia melarang makan Babi. Namun Ia memulai larangan ghibah dengan melarang prasangka-prasangka. Lalu Ia lanjutkan dengan melarang Tajassus atau memata-matai dan mencari-cari aib dan kesalahan orang lain.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain." [Al-Hujuraat : 12]
Lalu tahukah anda apa hubungan antara prasangka, tajassus dan ghibah?

Bukan Al-Qur'an bila tidak mengandung kebenaran, dan bukan pula wahyu Ilahi bila tidak memiliki hikmah dan pelajaran.
Salah satu ciri tarbiyah Al-Qur'an dalam hal melarang perkara dosa adalah dengan tindakan pencegehan dini. Bila perbuatan dosa diibaratkan sebuah pohon, maka saat ia berupa tunas kecil sudah harus dipangkas agar tidak tumbuh membesar, apalagi bila ia dibiarkan hidup hingga menghasilkan buahnya.
Maka sebelum ghibah atau mengumbar aib orang lain itu dilarang, larangan pertama adalah tidak boleh melakukan banyak prasangka. Sebab bila orang orang sudah banyak berprasangka, maka ia akan terjebak pada larangan kedua yaitu tajassus. Ya, saat kita memiliki prasangka-prasangka terhadap seseorang, maka akan diikuti dengan keinginan membuktikan kebenaran prasangka-prasangka itu. Lalu kita mencari informasi, membaca, mengorek keterangan, bahkan kita mencuri-curi dengar dengan memasang telinga, yang dalam bahasa hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam disebut dengan "tahassus". Bila tajassus adalah mencari-cari kebenaran aib orang lain dengan bertanya secara langsung, atau melihat dan membaca, maka tahassus adalah pasang telinga.
Akhirnya, bila proses tajassus sudah selesai dan ternyata ia menemukan kebenaran tentang prasangka-prasangkanya, mulailah ia mengobral dan mengumbar hasil temuannya. Bila ia mendapati ada orang lain yang masih dalam proses prasangka dan tajassus, maka akan ia mantapkan dengan cara ghibah kepada orang tersebut sehingga naiklah posisi orang tersebut menjadi satu level dengannya.
Bila prasangka adalah tunas sebuah pohon, maka tajassus adalah batangnya, dan ghibah adalah buahnya. Buah itu akan menggoda siapa saja yang berteduh di bawah pohon tajassus. Bila ia tidak mendapatkan runtuhan buahnya, maka ia akan melemparnya agar buah itu jatuh dan bisa dimakan bersama, lalu bijinya bisa ia tanam di pekarangan rumahnya, maka lengkap sudah episode dosa-dosanya. Allahul Musta'aan.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 12 Rajab 1434 H./ 22 Mei 2013 M.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar