Sungguh luar biasa ungkapan Allah Azza wa Jalla melalui wahyu Al-Qur'an saat Ia melarang ghibah. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak langsung melarangnya sebagaimana saat Ia melarang makan Babi. Namun Ia memulai larangan ghibah dengan melarang prasangka-prasangka. Lalu Ia lanjutkan dengan melarang Tajassus atau memata-matai dan mencari-cari aib dan kesalahan orang lain.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain." [Al-Hujuraat : 12]
Lalu
tahukah anda apa hubungan antara prasangka, tajassus dan ghibah?
Bukan
Al-Qur'an bila tidak mengandung kebenaran, dan bukan pula wahyu Ilahi bila
tidak memiliki hikmah dan pelajaran.
Salah
satu ciri tarbiyah Al-Qur'an dalam hal melarang perkara dosa adalah dengan
tindakan pencegehan dini. Bila perbuatan dosa diibaratkan sebuah pohon, maka
saat ia berupa tunas kecil sudah harus dipangkas agar tidak tumbuh membesar,
apalagi bila ia dibiarkan hidup hingga menghasilkan buahnya.
Maka
sebelum ghibah atau mengumbar aib orang lain itu dilarang, larangan pertama
adalah tidak boleh melakukan banyak prasangka. Sebab bila orang orang sudah
banyak berprasangka, maka ia akan terjebak pada larangan kedua yaitu tajassus.
Ya, saat kita memiliki prasangka-prasangka terhadap seseorang, maka akan
diikuti dengan keinginan membuktikan kebenaran prasangka-prasangka itu. Lalu
kita mencari informasi, membaca, mengorek keterangan, bahkan kita mencuri-curi
dengar dengan memasang telinga, yang dalam bahasa hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam disebut dengan "tahassus". Bila tajassus adalah
mencari-cari kebenaran aib orang lain dengan bertanya secara langsung, atau
melihat dan membaca, maka tahassus adalah pasang telinga.
Akhirnya,
bila proses tajassus sudah selesai dan ternyata ia menemukan kebenaran tentang
prasangka-prasangkanya, mulailah ia mengobral dan mengumbar hasil temuannya. Bila
ia mendapati ada orang lain yang masih dalam proses prasangka dan tajassus,
maka akan ia mantapkan dengan cara ghibah kepada orang tersebut sehingga
naiklah posisi orang tersebut menjadi satu level dengannya.
Bila
prasangka adalah tunas sebuah pohon, maka tajassus adalah batangnya, dan ghibah
adalah buahnya. Buah itu akan menggoda siapa saja yang berteduh di bawah pohon
tajassus. Bila ia tidak mendapatkan runtuhan buahnya, maka ia akan melemparnya
agar buah itu jatuh dan bisa dimakan bersama, lalu bijinya bisa ia tanam di
pekarangan rumahnya, maka lengkap sudah episode dosa-dosanya. Allahul
Musta'aan.
Fairuz
Ahmad.
Bintara,
12 Rajab 1434 H./ 22 Mei 2013 M.