PELAYAT BERKOSTUM HITAM-HITAM
Tidak ada salahnya kita memakai pakaian
dengan warna-warna yang kita suka. Para Ulama pun membolehkan memakai pakaian
dengan warna apa saja kecuali merah polos dan pekat.[21]
Nabi pun pernah memakai pakaian berwarna
hijau sebagaimana dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Rimtsah Rifa'ah bin
Yatsriby At-Taimy,[22] Imam As-Syaukany bahkan menjelaskan anjuran berpakaian
warna hijau karena pakaian warna hijau adalah pakaian penduduk Surga,
sebagaimana ia sangat bermanfaat buat penglihatan dan sedap dipandang mata.[23]
Beliau juga pernah memakai baju warna merah
yang berpadu dengan warna hitam dan putih yang disebut dengan "Al-Hullatul
Hamra"[24] yaitu baju khas buatan negeri Yaman berbentuk stelan seperti
kain ihram. Saat beliau memakainya, maka sahabat Al-Barra bin 'Azib
radhiyallahu anhu berkata:
"Sungguh aku belum pernah melihat baju
seindah itu."[25]
Beliau juga pernah memakai baju warna
hitam,[26] namun yang paling beliau sukai adalah baju berwarna putih.[27]
Meskipun rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam membolehkan memakai baju dengan warna apa pun, namun beliau sering kali
menekankan anjuran agar penampilan kita menyenangkan orang lain. Tidak hanya
penampilan baju kita, bahkan penampilan fisik dan muka pun beliau perhatikan
agar tidak ada kesan menyeramkan bagi orang lain. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
telah menjelaskan panjang lebar tentang hal ini dalam kitabnya Zadul Ma'ad dan
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat menganjurkan
memakai baju berwarna putih, atau Al-Hibarah, yaitu pakaian katun dari negeri
Yaman yang ada hiasan motif atau garis.[28].
Sedang terkait dengan musibah kematian yang
menimbulkan kesedihan, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah
sangat mengerti akan hal ini. Kemengertian inilah yang menyebabkan adanya
perhatian beliau yang sangat mendalam terkait musibah kematian. Seakan-akan
beliau memberikan isyarat agar jangan menambah situasi kesedihan, dengan cara
membolehkan bagi para tetangga untuk memasakkan makanan buat keluarga mayit,
dan juga janganlah para pengunjungnya memakai baju hitam-hitam. Sebab hitam
identik dengan gelap, sedang gelap seringkali berarti hal-hal yang tidak enak,
baik maknawi maupun hakiki. Kebanyakan para preman dan penjahat, orang-orang
aliran ilmu hitam dan yang sejenisnya suka dengan warna hitam-hitam, karena
mereka ingin ditakuti sehingga harus mengesankan keseraman penampilan. Sangat
berbeda dengan sunnah Rasulullah yang tidak ingin orang-orang lari dari
hadapannya.
Maka lihatlah tuntunan beliau saat
menganjurkan memakai pakaian warna putih dengan mengatakan:
"Pakailah pakaianmu yang berwarna putih
sebab ia adalah sebaik-baik pakaianmu dan kafankanlah dengannya orang-orang
yang meninggal."[29]
Ada
banyak riwayat hadits tentang anjuran memakai baju warna putih, dimana
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering mengiringinya dengan
memakaikannya juga kepada orang-orang yang meninggal dunia sebagai kafan.
Mungkin inipun isyarat bahwa pada saat-saat musibah kematian, maka baju yang
paling baik untuk dipakai berta'ziyah adalah yang berwarna putih. Sebab warna
putih menciptakan suasana nyaman, bersih dan kelapangan, baik hati maupun
pikiran.
Oleh sebab itu, saat berta'ziyah ada baiknya
kita tinggalkan kebiasaan berperilaku yang mengesankan keseraman dan kegelapan,
dan menggantinya dengan perilaku yang mencerminkan kenyamanan dan kelapangan.
Sungguh, mengamalkan sunnah-sunnah Nabi akan mencipta pahala dan kebaikan,
meski hanya sekedar warna dalam berpakaian. Maka, "Janganlah kalian
meremehkan sedikitpun dari kebaikan…", begitulah kiranya nasehat Nabi
kita.[30]
STASIUN TV AL-KHURAFAAT
Bila kita perhatikan dengan seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya sekalipun, maka cara beragama dan berperilaku
sebagian besar masyarakat kita diperoleh dari Kyai Haji Televisi yang bermazhab
"Ala Qadrihi", yaitu ilmu yang sekedarnya, bahkan yang sekedarnya pun
kadangkala tak jelas asal-usulnya.
Di antara oleh-oleh ilmu dari Kyai Haji
Televisi tentang hal yang berhubungan dengan kematian adalah larangan menanam
pohon kamboja di pekarangan rumah. Karena pohon tersebut cocoknya di
kuburan, jadi ia dapat mengundang "tamu tanpa undangan" bernama
setan.
Ada
juga larangan melihat mayit bagi anak-anak kecil dan wanita hamil. Meski sekali
lagi bahwa larangan tersebut kalau kita telusuri riwayatnya maka kita akan
temukan keberadaannya hanya di kitab Sunan Televisi. Semuanya diriwayatkan oleh
para perawi kazdzab dan wadha' alias pendusta dan pengarang cerita.
Lalu keyakinan adanya ruh yang gentayangan
dan dapat merasuk ke tubuh seseorang. Meskipun kita jadi bertanya-tanya, kenapa
ia tidak masuk saja ke tubuhnya lagi sehingga dapat hidup kembali. Atau gantian
saja dengan tubuh orang lain sehingga tidak akan ada yang namanya kematian.
Sungguh hal-hal aneh yang hanya ada dalam
pikiran orang-orang bermazhab "Ala Qadrihi".
Maka dari itu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam sudah sejak awal mula selalu menekankan kewajiban menuntut ilmu agama
yang baik. Dan tanda kebaikan seseorang adalah saat ia difahamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala terhadap perkara agamanya.
"Barang siapa yang Allah inginkan
kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkan orang tersebut terhadap
agamanya."[31]
PROSEDUR MENGANTAR JENAZAH DENGAN
AMBULANCE
Di antara keagungan agama Islam adalah
syari'atnya yang mudah dan memudahkan dalam berbagai urusan. Nabi pun telah
menyampaikan tuntunannya dalam hal memudahkan urusan dengan mengatakan :
"Permudahlah dan jangan engkau persulit,
berilah kabar gembira dan jangan kau buat lari."[32]
Ulama pun membuat kaidah dalam rangka
memudahkan urusan yang berkaitan dengan hak-hak seorang muslim dengan ungkapan
"Ad-Dhararu Yuzaal", yaitu semua hal yang menyulitkan harus
dihilangkan.
Kadang-kadang termasuk hal yang menyulitkan
dalam mengurus jenazah adalah mengantarnya ke daerah asal mayit. Contoh dalam
hal ini adalah mengurus surat
keterangan meninggal dunia. Baik sekedar formalitas atau bukan, maka
mempersulit pengurusan surat
keterangan kematian merupakan pelanggaran terhadap hak-hak mayit yang harus
segera ditunaikan. Sebab mempersulitnya dengan alasan berbagai macam prosedur
berarti menunda hak mayit untuk segera dikuburkan. Sedangkan mempercepat
penguburannya adalah sunnah yang harus dilaksanakan. Sebagaimana hadits
muttafaq alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam bersabda :
"Percepatlah dalam mengubur jenazah.
Karena jika ia orang shaleh, maka alangkah baiknya kalian segera
mengantarkannya pada kebaikan itu. Sedangkan bila ia bukan orang shaleh, maka
untuk apa kalian membiarkan sesuatu yang buruk dalam tanggungan
kalian."[33]
Kadang ada kasus-kasus tertentu dimana ada
fihak tertentu pula yang mempertanyakan surat
keterangan kematian di tengah perjalanan. Bila kemudian tidak membawa surat "sakti"
tersebut maka pihak keluarga sendiri pun bisa saja tidak boleh melanjutkan
pengantaran jenazah keluarganya alias tidak dapat ijin masuk wilayah, seperti
turis yang belum dapat visa. Meski jenazah sudah benar-benar mati dan bukan
lagi setengah mati.
Ada juga kasus
kematian lainnya dimana perangkat desa setempat meminta pihak keluarga agar
mengurus surat
keterangan meninggal dunia ke sebuah Rumah Sakit, padahal semua orang sudah
menyaksikan bahwa orang tersebut sudah menjadi mayat, dan bukan zombie. Sungguh
aneh bin ajaib. Perangkat desa yang akal dan matanya sehat wal afiyat meminta
hal sepele yang sebenarnya dia sendiri pun bisa memberinya.
Walhasil, ternyata kita masih perlu banyak
belajar dan mempelajari tuntunan-tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam yang tak meninggalkan sedikit pun pelajaran tentang akhlakul karimah,
seraya senantiasa berdo'a "Ya Allah jauhkanlah kami dari perilaku yang mungkar
(tidak baik)".[34]
Fairuz Ahmad.
Cerita Perjalanan dari Bintara ke Wanaraja,
14-15 Rabi'ul Akhir 1434 H./25-26 Februari 2013 M.
Selesai ditulis hari kamis, 24 Rabi'ul Akhir 1434 H./7 Maret 2013 M.
----------
Catatan :
[21] Zadul Ma'ad Ibnu Qoyyim 1/137-139, 4/238
Tahqiq Syu'aib Al-Arna'uth dan Abdul Qadir Al-Arna'uth, Mu'assasah Ar-Risalah
1406 H./ 1986 M.
[22] As-Syamailul Muhammadiyyah Imam Tirmidzi
No. Hadits 42. Imam Ad-Darimy Kitabud Diyat No.2388. Imam An-Nasa'i Kitabuz
Zinah No.5319.
[23] Nailul Authar Imam As-Syaukany Kitabul
Libas Bab Ma Ja'a Fi Labsil Abyadh wal Aswad wal Akhdhar wal Muza'far wal
Mulawwanat, hadits no.567.
[24] Zadul Ma'ad Ibnu Qoyyim 1/137-138, 4/238
Tahqiq Syu'aib Al-Arna'uth dan Abdul Qadir Al-Arna'uth, Mu'assasah Ar-Risalah
1406 H./ 1986 M.
[25] Shahih Bukhari Kitabul Libas No.5510.
[26] Hadits Riwayat Muslim dari Aisyah
Kitabul Libas waz Zinah No.2081, Abu Dawud Kitabul Libas 4032, Tirmidzi Kitabul
Adab 2813.
[27] Zadul Ma'ad Ibnu Qoyyim 4/238 Tahqiq
Syu'aib Al-Arna'uth dan Abdul Qadir Al-Arna'uth, Mu'assasah Ar-Risalah 1406 H./
1986 M.
[28] Nailul Authar Imam As-Syaukany Kitabul
Libas Bab Ma Ja'a Fi Labsil Abyadh wal Aswad wal Akhdhar wal Muza'far wal
Mulawwanat, hadits no.566.
[29] Hadits Riwayat Musnad Imam Ahmad 2137
dan 3297, Ibnu Hibban 5538, Abu Dawud 3541 dan 4061, Tirmidzi 913, Thabrany
12325.
[30] Musnad Imam Ahmad 20132.
[31] HR. Bukhari dari Mu'awiyah bin Abu
Sufyan, Kitabul Ilmi No.71, Muwaththa' Imam Malik No.1667, Imam Tirmidzi dari
Abdullah bin Abbas Kitabul Ilmi No.2645.
[32] HR. Bukhari dari Anas bin Malik, Kitabul
Ilmi No.69
[33] Bukhari 1252, Muslim 1568, Ibnu Majah
1477, Tirmidzi 1015, Abu Dawud 3181.
[34] Al-Mustadrak Lil Hakim, Kitabud Du'a No.1992.